Daftar isi
Selama ini pajak diartikan sebagai kewajiban rakyat untuk membayar iuran kepada kas Negara untuk pembiayaan umum Negara menurut peraturan yang telah diatur yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan tanpa balas jasa langsung (Soemitro, 1992). Berlandaskan pengertian tersebut, terdapat dua kepentingan yang berbeda dari pihak yang terlibat dalam sistem perpajakan.
Wajib pajak selaku pembayar pajak tentunya mengharapkan agar jumlah pajak yang dibayarkan kecil. Sedangkan di sisi lain, pemerintah tidak wajib untuk memberikan balas jasa secara langsung kepada wajib pajak dan berupaya mengoptimalkan penerimaan pajak sebagai sumber terbesar pendapatan negara.
Hal inilah yang menimbulkan tarik ulur kepentingan, dan cenderung kepada wajib pajak yang menjadi obyek yang dikenai pajak. Oleh karena wajib pajak menjadi obyek yang dikenai pajak (membayar pajak), maka wajib pajak akan berusaha agar jumlah pajak yang dibayarkan kecil atau jika memungkinkan, wajib pajak akan melakukan penggelapan atau bahkan penghindaran pajak (Rahman, 2013).
Hal-hal yang berkaitan dengan penggelapan atau penghindaran pajak inilah yang biasanya disebut dengan penyimpangan pajak. Perilaku penyimpangan pajak banyak menimbulkan kerugian kepada negara. Menurut para ahli, kecenderungan wajib pajak untuk melakukan penyimpangan pajak adalah dikarenakan faktor-faktor berikut ini.
1. Nilai pajak yang harus dibayar cukup tinggi
Semakin tinggi nilai pajak yang harus dibayar oleh para wajib pajak, mengakibatkan kemungkinan penyimpangan pajak semakin besar.
2. Persepsi Keadilan tentang Pajak
Ardi, Trimurti dan Suhendro (2016) dalam catatannya menyatakan bahwa rasa keadilan akan manfaat pajak yang dirasakan oleh masyarakat yang masih rendah dapat menjadi pemicu rendahnya pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.
Opini mengenai pdana pajenyimpangan pajak yang berkembang di masyarakat menyebabkan timbulnya persepsi keadilan tentang adanya manfaat pajak yang rendah. Dari sisi regulasi, banyaknya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu semakin memperburuk persepsi keadilan yang berkembang pada para wajib pajak.
3. Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan yang dianut Indonesia saat ini, yaitu self asessment yang menuntut peran aktif wajib pajak. Sistem pajak yang baik diperlukan sebagai payung untuk menjamin peran aktif wajib pajak.
Pemerintah melalui sistem perpajakan yang dianutnya (self assessment system) bermaksud untuk memberikan keleluasaan yang bertanggung jawab kepada wajib pajak.
4. Religiusitas
Untuk menekan dan meminimalisir perilaku penggelapan pajak, kepatuhan saja tidak cukup. Perlu variabel lain yang bersumber dari dalam diri yang mampu memberikan ikatan.
Variabel religiusitas hadir, sebagai variabel yang berperan dalam memperkuat atau memperlemah tindakan penggelakan pajak. Tingkat religiusitas yang tinggi akan menekan individu untuk jujur dan akhirnya tidak melakukan tindakan penggelapan pajak.
Hal ini karena tingkat religiusitas memungkinkan terjadinya kontrol diri (self control) untuk menegakkan perilaku bermoral.