Daftar isi
Kita dapat mengetahui sejarah selain dari bukunya tentunya dari gambar sejarah. Namun, pernah berpikir, siapa yang mengabadikan momen pada saat itu? Mereka adalah para jurnalis yang bekerja di kantor berita Domei.
Mereka yang membantu menyebarluaskan informasi mengenai kemerdekaan sehingga rakyat Indonesia mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Mereka pula yang memotret peristiwa penting bagi perjalanan sejarah Indonesia.
Lalu, bagaimana peran jurnalis dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia? Selengkapnya di bawah ini.
Proses menyebarluaskan berita proklamasi dilakukan melalui pembacaan berita di radio, media cetak hingga menyebarkan utusan ke daerah. Dalam hal menyebarluaskan di radio terdapat peran Joesoef Ronodipoero.
Joesoef Ronodipoero merupakan seorang penyiar serta jurnalis di radio Hoso Kyoku sebuah radio milik Jepang yang ada di Jakarta. Saat itu, ia belum mendapatkan kabar mengenai kemerdekaan. Sebab, mulai dari tanggal 15 Agustus 1945, sebuah pegawai radio Hoso Kyoku tidak diizinkan untuk keluar masuk.
Radio dijaga ketat oleh polisi militer Jepang yang bernama Kempetai. Namun, berkat Syahrudin yang berhasil masuk ke radio, ia mengabarkan mengenai proklamasi kemerdekaan dengan memberikan selembar kertas yang diketik oleh Adam Malik berupa teks proklamasi.
Setelah mengetahui kabar tersebut Joesoef berniat untuk menyiarkan kabar ke seluruh dunia. Sayangnya, saat akan menyiarkan kabar bahagia ini terdapat kendala karena radio yang dijaga ketat oleh Kempetai. Hingga akhirnya Josoef ingat ada sebuah studio siaran mancanegara yang tidak digunakan.
Kondisi studio itu tidak terhubung dengan pemancar kemudian ia meminta bantuan pada teknisi untuk menghubungkannya dengan pemancar. Pada pukul 19.00 setelah semuanya siap, ia menyebarkan kabar mengenai kemerdekaan Indonesia dengan membacakan teks proklamasi kemerdekaan.
Kabar ini disebarkan ke seluruh mancanegara dengan bahasa Inggris selama dua puluh menit. Hal ini dilakukan agar radio mancanegara seperti BBC, radio Amerika, Singapura serta lainnya dan dapat diteruskan ke seluruh dunia. Mengetahui upaya penyebarluasan proklamasi membuat Jepang geram.
Semua orang yang terlibat dalam menyebarluaskan proklamasi termasuk Joesoef mendapatkan hukuman fisik. Namun, siksaan yang didapatkan Joesoef jauh lebih berat bahkan ia akan dipenggal kepalanya. Beruntungnya, ia dapat selamat berkat letkol Tomo Bachi yang ketika itu menjadi pemimpin Hako Kyoku.
Ia memerintahkan untuk membebaskan Joesoef. Saat itu, kondisi Joesoef sudah cukup parah dengan terdapat gigi yang lepas, pincang dan baju robek. Perjuangan yang dilakukan Joesoef serta kawan-kawan jurnalis lainnya tidak sia-sia.
per satu negara lain memberikan pengakuan kedaulatan Indonesia. Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia yakni Mesir pada tahun 1946. Kemudian, dilanjut dengan pengakuan negara timur tengah lainnya seperti Palestina dan India.
Peristiwa bersejarah sangat sayang jika tidak diabadikan. Oleh sebab itu di sinilah peran para jurnalis saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Seperti yang dikatakan Sudiri dalam bukunya bahwa menjelang proklamasi, ia melihat seseorang yang duduk di depan rumah bung Karno.
Namun, sosok itu tak dikenalinya. Awalnya, mereka mengira sosok tersebut adalah mata-mata yang dikirimkan militer Jepang. Namun ternyata ia adalah Suroto sosok wartawan Domei. Kemungkinan Suroto inilah yang menjadi perantara pembuatan berita mengenai proklamasi yang dilanjutkan ke redaksi Domei.
Menurut Sidik kertapati, ketika mendapatkan berita proklamasi, ia langsung menyuruh dua orang pegawai domei untuk membuat siaran. Oleh karena itulah, militer Jepang marah atas pemberitaan tersebut. Ia memerintahkan para pegawai domei untuk membuat berita yang membantah adanya proklamasi.
Namun, karena sebagian besar para pegawai setuju dengan kemerdekaan bangsa, alhasil berita tersebut tidak disiarkan. Selain melaporkan berita, Domei pun mengirimkan fotografer untuk mengabadikan momen proklamasi.
Bahkan mereka mengutus langsung kepala bagian fotonya yakni Alex Mendoer. Tidak hanya berangkat seorang diri, Alex mengajak adiknya yang merupakan fotografer harian Asia Raya. Berdasarkan buku Alexius Impurung Mendur karya Wiwi Kuswiah mengatakan bahwa Alex pertama kali mendapatkan berita proklamasi dari Zahrudi rekannya di Domei.
Ia mengetahui betul betapa pentingnya peristiwa tersebut bagi sejarah Indonesia. Maka dari itu, ia berangkat pagi buta bersama Frans dengan cara mengendap-endap agar tidak ditangkap militer Jepang. Sesampainya di rumah Soekarno, kondisi susah sangat ramai dengan para pemuda dan pemudi yang sudah tidak sabar menyaksikan proklamasi.
Sembari menunggu persiapan proklamasi dibacakan, Alex beserta adiknya menyiapkan kamera untuk memotret momen bersejarah. Ia juga memilih angle yang pas untuk mengambil gambar. Ketika upacara pembacaan proklamasi dimulai, kedua orang tersebut segera memotretnya. Sampai penghujung acara, Alex dan Frans terus mengabadikan momen.
Setelah acara selesai mereka berpisah. Alex kembali ke kantornya sedangkan adiknya pulang ke rumah. Begitu sampai di kantor Domei, Alex segera mencetak foto yang ada di kameranya. Sayangnya, saat foto tersebut sedangkan dikeringkan, datanglah para militer Jepang dan Alex tidak ada di tempat.
Mereka lalu mengambil foto hasil jepretan Alex. Padahal banyak foto yang telah dipotret Alex dibandingkan Frans namun harus musnah karena dirampas Jepang. Untungnya, ketika sampai di rumah, Frans segera menyembunyikan kameranya.
Ia mengubur kamera tersebut di halaman depan rumahnya. Berkat penyelamatan ini, kita dapat menikmati foto-foto sejarah yang kini beredar. Sebenarnya banyak sekali lembar negatif film yang Frans sembunyikan. Sayangnya, hanya sedikit foto yang dapat diamankan oleh tim Arsip Departemen Penerangan dan Arsip Nasional Republik Indonesia.
Sisanya foto-foto tersebut entah hilang kemana. Menurut seorang sejarawan yang bernama Rushdy Hoesein, foto-foto yang beredar saat proklamasi itu memiliki dua kemungkinan. Pertama, foto tersebut berasal dari negatif film punya Frans yang hilang atau justru berasal dari negatif film milik Alex yang diambil oleh militer Jepang.
Salah satu tujuan adanya jurnalis pada saat kemerdekaan adalah ikut dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan dan para pengkhianat bangsa. Setelah Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan dengan berbagai saluran media seperti Radio Hoso Kanri Kyoku, perjuangan Indonesia tidak berhenti begitu saja.
Satu bulan setelah publikasi kabar tersebut pada tanggal 17 September, Kolonial Belanda kembali datang ke tanah air. Mereka tak terima atas pernyataan proklamasi yang dilakukan dan berniat merebut kembali wilayah Indonesia.
Melihat hal itu tentu saja bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Dalam hal ini, para jurnalis turut serta mempertahankan kemerdekaan yang telah didapatkan. Mereka menggaungkan semangat perjuangan melalui publikasinya. Seperti surat kabar Fadjar Asia, Koran Soeara Asia, Harian Sedio Tomo, Majalah Daulat Rakyat dan lainnya.
Tidak hanya serangan dari Belanda, muncul pula para pengkhianat bangsa karena kecewa dengan isi perjanjian Linggarjati. Di mana isi perjanjian tersebut membuat wilayah kekuasaan Indonesia semakin sedikit. Melihat hal itu, para jurnalis terus menggelorakan semangat perjuangan untuk terus mempertahankan kemerdekaan Air.
Seperti yang dilakukan oleh Surat Kabar Fadjar Asia. Pada tanggal 24 Mei 1930, surat kabar pendirian Cokroaminoto ini menerbitkan konsep hijrah sang pemilik dengan tujuan sebagai strategi perjuangan yang di dalamnya terdapat 4 pasal, 12 ayat, 3 bagian dan 1 keterangan dengan ditambah 7 anak poin.
Catatan tersebut menjadi pembakar semangat untuk terus berjuang setelah kemerdekaan dan kedatangan kembali Belanda. Arus informasi yang begitu cepat merupakan buah dari peran para jurnalis. Berkat hal itu, membuka jalan bagi bangsa ini untuk terus berjuang.
Pada saat itu, meskipun sebagian besar rakyat pindah ke Yogyakarta namun sebagian besar lainnya tetap mempertahankan tanah yang dipijaknya. Seperti yang dilakukan oleh Laskar Islam. Melihat hal itu, Jendral Sudirman yang semula hendak pindah, kemudian mengurungkan niatnya.
Ia melihat bagaimana para laskar-laskar Islam khususnya yang da di Jawa bagian barat masih terus melakukan gencatan senjata kepada Belanda. Oleh karena itu, Jendral Sudirman terus memberikan pasokan senjata untuk mereka. Hingga akhirnya ia ikut melakukan gerilya sampai ke hutan belantara.