Daftar isi
Perjanjian Linggarjati atau biasa dikenal Perundingan Linggarjati adalah perjanjian yang membahas status kemerdekaan Indonesia antara Indonesia dengan Belanda.
Perjanjian Linggarjati ditandatangani secara sah bersama pihak Indonesia, Inggris dan Belanda pada 25 Maret 1947.
Perjanjian Linggarjati dilakukan pada 11-15 November 1946. Namun, perundingan yang telah disepakati ini justru dilanggar oleh pihak Belanda.
Latar Belakang Perjanjian Linggarjati
Menurut buku A History of Modern Indonesia since c. 1300 (2008) yang ditulis M.C Ricklefs, Perjanjian Linggarjati terjadi karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia.
Penetapan status quo ini menyebabkan konflik antara Indonesia dengan Belanda.
Konflik dua negara tersebut ditandai Peristiwa 10 November di Surabaya, Jawa Timur.
Pemerintah Inggris pun mengambil inisiatif untuk meredakan konflik tersebut.
Pemerintah Inggris mengundang Indonesia dan Belanda untuk sebuah perundingan di Hooge Veluwe.
Namun, perjanjian itu gagal karena Indonesia ingin meminta kedaulatan atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura dari Belanda.
Sementara itu, Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Pulau Madura dan Jawa saja.
Pada Agustus 1946, pemerintah Inggris memerintahkan Lord Killearn ke Indonesia untuk misi perundingan antara Indonesia dengan Belanda.
Pada 7 Oktober 1946, Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta membuka perjanjian antara Indonesia dengan Belanda.
Dalam perundingan tersebut, akhirnya menghasilkan keputusan terhadap persetujuan gencatan senjata pada 14 Oktober.
Kemudian, perundingan pun dilanjutkan kembali pada 11 November 1946 lewat Perundingan Linggarjati.
Sutan Syahrir memilih Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan tanpa alasan spesifik.
Namun menurut buku “Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume 1” (2004) yang ditulis Rosihan Anwar, pihak Republik tidak bersedia mengadakan perundingan di Jakarta, karena sudah dikuasai sekutu.
Sementara Yogyakarta sudah menjadi ibukota (sementara) Republik Indonesia, dan itu tidak dikehendaki Belanda. Sehingga Linggarjati menjadi lokasi pertengahan untuk diakses.
Perjanjian Linggarjati berlangsung dari 11-14 November 1946. Perjanjian ini menghasilkan 17 pasal yang dianggap merugikan.
Hasil perjanjian tersebut yakni Indonesia harus menerima wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera sebagai wilayah kedaulatan dan mengikuti aturan persemakmuran.
Tokoh yang terlibat dalam Perjanjian Linggarjati
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam Perjanjian Linggarjati, diantaranya:
1. Pemerintah Indonesia
- Sutan Syahrir selaku ketua.
- A.K. Gani atau Dr. A.K. Gani, bagian dari kesatuan kabinet Syahrir dan menjabat sebagai anggota konstituante.
- Muhammad Roem, saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir III. Beliau juga menjadi delegasi dalam Perundingan Linggarjati.
- Susanto Tirtoprojo pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri pada enam kabinet yang berbeda.
2. Pemerintah Inggris
- Lord Killearn selaku mediator dan penanggung jawab pada saat perundingan ini terjadi.
3. Pemerintah Belanda
- Wim Schermerhorn selaku ketua.
- Max Von Poll.
- H. J. Van Mook.
- F. De Baer.
4. Saksi Tamu
- Amir Sjarifudin.
- Dr. J. Leimena.
- Dr. Sudarsono.
- Ali Boediardjo.
- Presiden Soekarno.
- Mohammad Hatta.
Kronologi Perjanjian Linggarjati
Linggarjati merupakan sebuah daerah di Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan.
Sebagaimana dijadikan lokasi perjanjian, ada sebuah rumah bekas hotel yang eksis pada tiga zaman yang dilansir dari Majalah Dharmasena, Bagian 15 (1989).
Pada masa penjajahan Belanda, hotel tersebut bernama Hotel Rustoord (1930).
Saat penjajahan Jepang, dinamai Hokai Ryokai. Setelah proklamasi, dinamakan Hotel Merdeka.
Hotel Merdeka pernah menjadi markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 1945.
Pada saat itu, bangunan tersebut dalam pengawasan Residen (Bupati) Cirebon yang bernama Hamdani, kawan Sutan Syahrir saat AMS.
Karena bangunan tersebut dijadikan tempat Perjanjian Linggarjati, maka Cirebon pun menjadi kota yang sibuk. Termasuk Kabupaten Kuningan. Penjagaan daerah itu diperketat.
Tidak hanya itu, Linggarjati dijadikan lokasi yang pas atas saran ibu Maria Ulfah, anak Residen Cirebon, Hamdani.
Lokasinya berada di lereng Gunung Ciremai, udara sejuk dan pemandangan indah. Sehingga cocok dijadikan lokasi untuk berunding.
Kedua negara yang terlibat dalam perundingan tersebut, yakni Indonesia dan Belanda mengutus Komisi Jenderal Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia.
Wakil utusan tersebut hadir secara tulus untuk memperbaiki hubungan baik antara Indonesia dan Belanda.
Perjanjian Linggarjati pun menghasilkan 17 pasal. Pihak Indonesia baru menandatangani perjanjian ini pada 25 Maret 1947, karena kesalahpahaman tafsir antara Indonesia dengan Belanda.
Isi Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati menghasilkan beberapa pasal dan poin penting, antara lain:
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura. Belanda wajib meninggalkan wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Januari 1949.
- Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari Republik Indonesia (RI), Timur Besar dan Kalimantan.
- Belanda dan Republik Indonesia Serikat sepakat untuk membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
Dampak dari Perjanjian Linggarjati
Perundingan Linggarjati menghasilkan dampak positif dan negatif sebagai berikut.
1. Dampak Positif
Dampak positif yang dihasilkan dari perjanjian ini, adalah:
- Citra Indonesia diakui di mata dunia melalui pengakuan Belanda.
- Belanda mengakui Republik Indonesia secara de facto atas kuasa Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.
- Konflik Belanda dan Indonesia mereda.
- Kontribusi pemerintah Indonesia lewat jalur diplomasi, selain jalur perang.
2. Dampak Negatif
Selain dampak positif dari adanya perjanjian ini, dampak negatif pun banyak ditemukan. Berikut diantaranya:
- Indonesia hanya memiliki wilayah kekuasaan kecil.
- Indonesia harus mengikuti aturan Uni Indonesia-Belanda atau aturan persemakmuran.
- Kesempatan Belanda untuk melancarkan agresi militer semakin tinggi.
- Menghasilkan Agresi Militer 1 akibat perbedaan penafsiran terkait status kemerdekaan Republik Indonesia.
- Perundingan Linggarjati ditentang Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Sosialis.
- Sutan Syahrir dianggap memberi dukungan pada Belanda, sehingga membuat anggota Partai Sosialis dan KNIP menarik dukungannya pada 26 Juni 1947.
Pelanggaran Perjanjian Linggarjati
Meski Perundingan Linggarjati telah disahkan, namun hasil perundingan ini dianggap merugikan Indonesia.
Pihak Indonesia dan Belanda menganggap, Perundingan Linggarjati merupakan cara damai untuk menghindari jatuhnya korban jiwa.
Hal ini dikarenakan kemampuan militer Indonesia masih jauh dibandingkan Belanda.
Di sisi lain, Perundingan Linggarjati dapat memanggil simpati dari dunia internasional.
Meski pun pihak Belanda saat itu juga menyiapkan strategi untuk menyerang wilayah Indonesia lewat agresi militer.
Namun Belanda menyatakan tidak lagi terikat dengan hasil perundingan tersebut.
Empat bulan setelah Perundingan Linggarjati selesai, tepatnya pada 20 Juli 1947, Belanda memisahkan diri dari ikatan perundingan tersebut.
Pernyataan tidak lagi terikat pada hasil perundingan tersebut dikemukakan oleh H.J. Van Mook, anggota delegasi Belanda dalam Perundingan Linggarjati.
Sehingga pada 21 Juli 1947, Belanda menyerang wilayah Indonesia. Penyerangan ini adalah awal mula Agresi Militer Belanda 1. Akibatnya, konflik Indonesia-Belanda kembali memanas.
Penyerangan ini merupakan bagian dari operatie-product, yakni aksi militer atau operasi militer yang dilakukan setelah Indonesia merdeka.
Gencatan senjata pada Agresi Militer Belanda 1 dimulai dengan sasaran Pulau Jawa dan Sumatera.
Pada 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) pun mengeluarkan resolusi. Tujuannya agar konflik Indonesia-Belanda yang memanas kembali mereda.
Pemerintah RI pun mengadukan pada PBB bahwa Belanda dinilai melanggar Perundingan Lingarjati.
Untuk mengurangi ancaman dari PBB, Belanda pun menyatakan akan menerima resolusi DK PBB untuk menghentikan agresi pada 15 Agustus 1947.
Namun, penyerangan kembali dimulai dan Agresi Militer Belanda II kembali terjadi.
Konflik antara Indonesia-Belanda kembali diselesaikan lewat jalur perundingan, yakni Perjanjian Renville. Namun, hasil Perjanjian Renville banyak merugikan pihak Indonesia.