Bahasa Daerah

Tembung Lingga dan Tembung Andhahan dalam Bahasa Jawa

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Tembung atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan “kata” memiliki bentuk dasar atau kata dasar dan juga bentuk kata yang sudah berimbuhan.

Dalam bahasa Jawa kata dasar dikenal sebagai tembung lingga. Selain tembung lingga, ada juga yang disebut dengan tembung andhahan.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai tembung lingga dan tembung andhahan serta bagaimana pembentukannya.

Tembung Lingga

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tembung lingga adalah kata dasar. Tembung lingga bisa diartikan sebagai tembung (kata) yang belum mengalami perubahan dari asal atau dasar katanya.

Dalam tata bahasa Jawa, tembung lingga dibedakan menjadi 3, yaitu:

  1. Tembung lingga (kata dasar) yang hanya terdiri dari 1 suku kata (1 wanda). Tembung lingga jenis ini disebut juga dengan nama tembung wod. Contohnya adalah:
    • Wis (sudah)
    • Mung (hanya)
    • Sing (yang)
  2. Tembung lingga (kata dasar) yang terdiri dari 2 suku kata (2 wanda). Contohnya adalah:
    • Tuku (beli)
    • Lara (sakit)
    • Abang (merah)
  3. Tembung lingga (kata dasar) yang terdiri dari 3 suku kata (3 wanda). Contoh:
    • Gamelan (alat musik gamelan)
    • Samodra (Samudera)
    • Segara (lautan)

Tembung Andhahan

Tembung andhahan adalah tembung (kata) yang sudah berubah dari bentuk asalnya atau dari kata dasarnya. Perubahan tembung lingga (kata dasar) menjadi tembung andhahan bisa terjadi karena 3 keadaan, yaitu:

  • Karena mendapat imbuhan (wuwuhan)
  • Karena diulang (dirangkep)
  • Karena digabung dengan kata lainnya (dicambor)

Berikut adalah penjelasan dan masing-masing contohnya:

1. Wuwuhan (Imbuhan)

Tembung lingga (kata dasar) yang mendapat imbuhan (wuwuhan) maka akan berubah bentuknya dan biasa diistilahkan dengan kata berimbuhan.

Imbuhan atau wuwuhan dalam bahasa Jawa dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

Ater-Ater atau Awalan

Ater-ater yaitu imbuhan yang berada di depan tembung lingga (kata dasar). Ater-ater sendiri dibedakan menjadi 5 jenis, yaitu:

  • Ater-Ater Anuswara, yakni ater-ater yang menggunakan awalan ny, m, ng, dan n. Kegunaan ater-ater anuswara adalah untuk mengubah tembung lingga menjadi tembung kriya tanduk (kata kerja aktif).
    Contohnya adalah sebagai berikut:
    • Nyapu (menyapu) è ny + sapu
    • Mecah (memecah) è m + pecah
    • Ngumbah (mencuci) è ng + umbah
  • Ater-Ater Tripurusa, yakni ater-ater yang menggunakan awalan dak, ko/kok, dan di. Kegunaan ater-ater tripurusa adalah untuk mengubah tembung lingga menjadi tembung kriya tanggap (kata kerja pasif). Contohnya adalah:
    • Dakpangan (kumakan) è dak + pangan
    • Kokjupuk (kamu ambil) è kok + jupuk
    • Dibalang (dilempar) è di + balang
  • Ater-Ater: sa, pa, pi, pra, tar, dan ka. Kegunaan ater-ater ini adalah untuk mengubah tembung lingga menjadi tembung adhahan. Contohnya:
    • Sadina (sehari) è sa + dina
    • Piwulang (pelajaran) è pi + ulang
    • Katendang (tertendang) è ka + tendang
  • Ater-Ater: kuma, kami, dan kapi. Kegunaan ater-ater ini adalah untuk mengubah tembung lingga menjadi tembung kahanan (kata sifat). Contohnya:
    • Kumayu (cantik sekali) è kuma + ayu
    • Kamigilan (sangat gila) è kami + gila + an
    • Kapieneng (diam saja) è kapi + meneng
  • Ater-Ater: a dan ma. Kegunaan ater-ater ini adalah untuk mengubah tembung lingga menjadi tembung pepaesan/endah atau memperindah kata dalam sastra. Contohnya:
    • asipat (bersifat) è a + sipat/sifat
    • malumpat (melompat) è ma + lumpat

Seselan atau Sisipan

Seselan adalah imbuhan yang berada di tengah-tengah tembung lingga (kata dasar). Seselan ada 4 bentuk, yaitu: in, um, er, dan el.

Contohnya adalah sebagai berikut:

  • Tinumbas (membeli) è seselan in disisipkan pada kata tumbas
  • Sumebar (menyebar) è seselan um disisipkan pada kata sebar
  • Kerelip (berkelip) è seselan er disisipkan pada kata kelip
  • Gelebyar (meriah) è seselan el disisipkan pada kata gebyar

Panambang atau Akhiran

Yaitu imbuhan yang berada di akhir tembung lingga (kata dasar). Bentuk panambang dalam bahasa Jawa adalah: a, i, e, en, an, ana, ake, ne, na, ku, dan mu.

Contohya:

  • Tukua (belilah) è tuku + a
  • Tulisake (menuliskan) è tulis + ake
  • Jupukna (ambilkan) è jupuk + an

2. Tembung Rangkep (Kata Ulang)

Pembentukan tembung andhahan selanjutnya adalah dengan merangkap atau mengulang tembung lingga (kata dasar) sehingga menjadi tembung rangkap. Tembung rangkap sendiri adalah tembung atau kata yang diulang pengucapannya.

Dalam bahasa Jawa, tembung rangkep ada 3 bentuk sebagai berikut:

Dwipurwa

Yaitu kata yang diulang pada bagian awal suku kata pada kata dasarnya. Pada tembung dwipurwa, suku kata awal yang diulang akan selalu berubah menjadi swasa pepet (bunyi vokal “e” pada kata “apel”).

Contohnya adalah sebagai berikut:

  • Jejuluk (dipanggil) è Je + Juluk (Je merupakan pengulangan dari suku kata “ju” pada kata dasar juluk. Jadi bukan jujuluk tetapi jejuluk)
  • Nyenyuwun (meminta) è Nye + Nyuwun ( suku kata “nyu” diulang jadi “nye”)
  • Gegodhong (daun-daun) è Ge + Godhong (suku kata “go” diulang menjadi “ge”)

Dwilingga

Tembung rangkep dwilingga adalah kata yang diulang kata dasarnya (tembung lingganya). Tembung dwilingga ada 4 jenis, sebagai berikut:

  • Dwilingga Wantah. Yaitu pengulangan pada kata dasarnya secara utuh.
    Contohnya: omah-omah (rumah-rumah), buku-buku, sapu-sapu, dan selainnya.
  • Dwilingga Andhahan. Yaitu pengulangan pada kata dasarnya secara utuh, namun pada kata kedua ada akhiran yang disertakan.
    Contohnya: oyot-oyote (akar-akarnya), pangan-panganan (makan-makanan), sopir-sopire (supir-supirnya), dan selainnya.
  • Dwilingga Saling Swara. Yaitu pengulangan pada kata dasarnya dimana salah satu katanya berubah.
    Contohnya: mikar-mikir (berpikir-pikir), tolah-toleh (menoleh-noleh), mloya-mlayu (berlari-lari).
  • Dwilingga Semu. Yaitu kata yang nampak seperti kata ulang tetapi sebenarnya bukan.
    Contohnya: andheng-andheng (tahi lalat), ali-ali (cincin), alun-alun.

Dwiwasana

Dwiwasana adalah jenis tembung rangkep yang mengulang wanda atau suku kata terakhirnya.

Contohnya adalah:

  • Ndepipis (mojok atau merepet ke tembok) è kata dasarnya ndepis
  • Ndengangak (mendongak) è kata dasarnya ndegak
  • Njedhidhil (muncul) è kata dasarnya njedhil

Sebagai catatan, ada beberapa kata yang nampak seperti tembung rangkep dwiwasana padahal sejatinya bukan karena kata-kata tersebut adalah kata dasar.

Misalnya: cekakak (tertawa terbahak-bahak), mecucu (merengut), cengenges (tertawa-tawa), mekangkang (membuka kaki), dan selainnya.

3. Tembung Camboran

Yang dimaksud dengan tembung camboran adalah dua kata dengan arti berbeda yang digabungkan dan membentuk arti kata baru. Ada dua jenis tembung camboran, yaitu:

Camboran Wutuh

Tembung camboran wutuh adalah dua kata utuh yang digabung atau digunakan bersamaan.

Contohnya: Semar mendem (nama kue). Semar aslinya merupakan nama tokoh pewayangan dan mendem artinya adalah mabuk. Ketika dua kata itu digabungkan maka digunakan untuk arti lain yang tidak ada hubungannya dengan arti kata masing-masingnya.

Contoh lain dari tembung camboran wutuh adalah sebagai berikut:

  • Sawo mateng (warna coklat tua). Sawo adalah nama buah dan mateng artinya matang.
  • Naga sari (nama kue tradisional. Naga adalah nama makhluk mitologi dan sari biasa digunakan sebagai nama orang.
  • Sapu tangan (kain kecil).

Camboran Tugel (Wancah)

Tembung camboran tugel atau wancah adalah tembung camboran yang menggabungkan dua kata, tetapi yang digabungkan hanya salah satu suku katanya.

Sebagai contoh kata “abang” (merah) dan “pucuk” yang digabung menjadi “bangcuk”.

Contoh lainnya:

  • Barbeh è bubar kabeh (bubar semua)
  • Dhekmu è endek lemu (pendek gemuk)
  • Gaji wakma è sega siji iwak lima (nasi satu lauk lima)
  • Lunglit è balung kulit (tulang kulit)

Camboran tugel tidak memiliki arti baru, dia digunakan hanya sebagai akronim saja.