Daftar isi
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, beragam suku dan budaya tinggal di dalam satu kesatuan. Budaya yang sangat beragam ini menjadi salah satu kekayaan Indonesia, bahasa daerah termasuk salah satu unsur yang penting dalam tiap-tiap suku dan budaya di Indoenesia.
Indonesia tercatat memiliki 742 bahasa daerah, namun tidak semua bahasa daerah dapat bertahan di tengah kemajuan negara memasuki era global. Penelitian oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI di tahun 2017, melaporkan sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah.
Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi juga mencatat ada 25 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah. Penyebabnya karena penutur bahasa daerah yang semakin sedikit, usianya juga di atas 20 tahun, sedangkan generasi tua juga tidak menggunakan bahasa daerah tersebut kepada keturunannya.
UNESCO pada tahun 2003 mengkategorikan tingkat keadaan bahasa berdasarkan penilaian daya hidup bahasa, penilaian pada tingkatan punah diartikan sebagai bahasa yang sudah tidak memiliki penutur.
Bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah didominasi oleh bahasa daerah dari Maluku, antara lain bahasa Hulung, bahasa Bobat, dan bahasa Samasuru. Provinsi Maluku adalah provinsi yang paling banyak mengalami degradasi bahasa daerah.
1. Bahasa Tandia
Salah satu bahasa daerah yang sudah punah berasal dari Pulau Papua, tepatnya Papua Barat. Bahasa Tandia merupakan bahasa yang dahulu digunakan oleh masyarakat di Kampung Tandia, Distrik Rasie, Kabupaten Teluk Wondama yang berada di provinsi Papua Barat.
Bahasa Tandia tercatat sebagai bahasa daerah yang sudah punah karena penutur bahasa tersebut telah meninggal dunia di tahun 2002, sedangkan keturunannya sudah tidak menggunakan Bahasa Tandia. Anak-anak dari penutur yang terakhir memiliki kosakata yang sangat sedikit, dari 1089 kosakata bahasa Tandia, mereka hanya mengetahui 34 kosakata.
Dari 34 kosakata yang diketahui mereka, hanya 23 kosakata dasar Swades, 11 kosakata budaya dasar dan 7 buah kata bilangan saja yang dimengerti oleh mereka. Anak-anak dari para penutur terakhir rupanya tidak lagi menurunkan transisi bahasa Tandia ke keturunannya.
Adanya perkawianan campur antar kampung atau bahkan perpindahan tempat tinggal juga menjadikan bahasa ini semakin memudar dari waktu ke waktu. Kampung Tandia juga berdekatan dengan kampung lain yang menggunakan bahasa Wandamen, seperti kampung Wondi Boy, Sasirei dan Webi. Bahasa Wandamen digunakan oleh seluruh masyarakat di Kabupaten Wondama.
2. Bahasa Mawes
Bahasa Mawes juga merupakan bahasa daerah Papua yang sudah punah, bahasa Maweswares digunakan oleh masyarakat di kampung Maweswares, distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi yang berada di Provinsi Papua.
Kampung Maweswares diapit oleh kampung di sebelah timur yang berbahasa Podena dan di sebelah barat berbahasa Biriduwa. Sebenarnya bahasa Mawes ini ada juga yang yang disebut dengan bahasa Mawesdey, yang dituturkan oleh penduduk di kampung Mawes Mukti dan Maweswares.
Kampung yang berbahasa Mawesdey ini dikelilingi oleh beberapa kampung yang menggunakan bahasa berbeda, di sebelah barat ada kampung Sumasawe yang menututkan bahasa Orya, di utara ada kampung Kapitaw dan di selatan ada kampung Tarawasi yang menuturkan bahasa Maremgi.
3. Bahasa Kajeli
Maluku menjadi wilayah di Indonesia yang banyak kehilangan bahasa daerahnya, Bahasa Kaleyi adalah salah satunya. Bahasa Kajeli atau ada yang juga menyebutnya Kayeli, berasal dari daerah di Maluku Tengah, Pulau Buru Utara dan Teluk Namlea.
Bahasa Kajeli adalah bahasa Austronesia, di tahun 2011 diketahui penutur terakhir bahasa Kajeli tersisa satu orang dan tidak tinggal di desa Kajeli. Di desa Kajeli sendiri, bahasa Kajeli sudah tidak digunakan sebagai bahasa sehari-sehari, karena tidak ada keturunan dari penutur terdahulu yang menguasainya.
4. Bahasa Piru
Bahasa Piru adalah bahasa daerah yang dituturkan penduduk di desa Piru, kecamatan Seram Barat yang terletak di pulau Seram, Provinsi Maluku. Bahasa Piru juga dinyatakan sebagai bahasa daerah yang telah punah bersama beberapa bahasa daerah lain dari Maluku.
Desa Piru ini berbatasan dengan desa Eti di sebelah Timur dan sebelah selatan dengan desa Murkaw, ke-2 desa ini menuturkan bahasa Alune. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Luhu yang menuturkan bahasa Luhu.
Perhitungan dialektometri yang tercatat, isolek Piru memiliki presentase perbedaan sekitar 90% dibandingkan dengan bahasa Loon dan bahasa Samaru dan 91 % dibandingkan dengan bahasa Kajeli.
5. Bahasa Moksela
Bahasa Moksela adalah bahasa daerah yang tadinya dituturkan oleh penduduk di Pulau Sula, Maluku Utara. Bahasa ini adalah bahasa daerah yang merupakan campuran budaya Melayu dan Polinesia. Sayangnya bahasa Moksela telah punah akibat sudah tidak ada penuturnya.
6. Bahasa Hukumina
Selain bahasa Kajeli, bahasa Hukumina juga merupakan bahasa Austronesia yang sudah punah di wilayah Indonesia. Bahasa ini tadinya dituturkan oleh penduduk di barat laut Pulau Buru, salah satu kepulauan di Maluku.
7. Bahasa Hoti
Bahasa Hoti merupakan bahasa daerah di Provinsi Maluku, tepatnya di desa Hote, Kecamatan Bula Barat yang berada di Kepulauan Seram bagian Timur. Bahasa Hoti dinyatakan telah punah karena sudah tidak ditemukan penutur bahasa ini.
8. Bahasa Nila
Bahasa Nila adalah salah satu bahasa daerah dari Maluku yang dituturkan oleh penduduk di desa Kokroman, desa Usliapan, Desa Kuralele, desa Ameth, desa Bumey, desa Sifluru, dan desa Wotay, semua desa tersebut berada di wilayah kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah.
Bahasa Nila memiliki 2 dialek yaitu dialek Kokroman dan dialek Bumey, namun sayangnya bahasa ini sudah tidak dituturkan di desa-desa tersebut. Hal ini bisa jadi karena keturunan terdahulu tidak meneruskan bahasa tersebut ke anak-anaknya.
9. Bahasa Serua
Satu lagi bahasa yang sudah punah dan berasal dari Provinsi Maluku. Bahasa Serua adalah bahasa yang dututurkan oleh penduduk desa Waru. Bahasa ini dituturkan juga oleh penduduk di timur, barat dan selatan desa waru yang berbatasan dengan desa yang penduduknya berbahasa Saparua.
Selain ke-9 bahasa daerah tersebut, ada juga bahasa Palumata yang berasal dari Maluku dan bahasa Ternateno yang berasal dari Maluku Utara, ke dua bahasa ini juga merupakan bahasa yang dinyatakan telah punah oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Republik Indonesia.