Daftar isi
Selain Belanda, Jepang juga merupakan salah satu negara yang pernah menguasai Indonesia. Meski tidak selama Belanda, namun dalam 3,5 tahun pendudukannya, Jepang juga meninggalkan banyak kisah kekejaman dan penderitaan bagi bangsa Indonesia.
Jejak-jejak pendudukan Jepang di Indonesia masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Beberapa bangunan peninggalan Jepang masih berdiri dan menjadi saksi bisu sepak terjang pemerintah pendudukan Jepang dahulu kala.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peninggalan Jepang di Indonesia, berikut adalah daftar dan penjelasannya.
Salah satu bangunan peninggalan Jepang adalah berupa tugu perdamaian yang terletak di dalam hutan di Kota Balikpapan. Tugu ini dibangun sebagai simbol perdamaian dan makan simbolis bagi para pasukan Jepang, Australia, dan Indonesia yang gugur dalam masa Perang Dunia II.
Pada tugu perdamaian tersebut, terdapat tulisan kanji yang berbunyi “Monumen Perdamaian dan Persahabatan Untuk Mengenang Orang Jepang, Indonesia, Australia Yang Gugur di Daerah Balikpapan Tersebut Semasa Perang Dunia Ke II”. Tulisan ini ditulis oleh Bapak Towa Kai pada 15 Agustus 1990.
Bangunan peninggalan Jepang di Indonesia lainnya adalah berupa bunker yang berada di Barak Prajurit Batalyon Infanteri (yonif) 600/Raider. Di lokasi ini terdapat dua bunker dengan jarak yang agak berjauhan. Pada masa perang dunia II, barak ini digunakan sebagai tempat pertahanan bagi para pasukan Jepang.
Bunker pertama memiliki ukuran yang cukup besar, sementara bunker kedua ukurannya lebih kecil dan saat ini hanya tersisa reruntuhannya saja.
Selain bangunan tugu dan bunker, peninggalan Jepang lainnya adalah berupa gua. Salah satunya adalah Gua yang terdapat di Kabupaten Klungkung, Bali, sehingga disebut dengan nama Gua Klungkung. Gua ini merupakan tempat yang sangat strategis untuk digunakan sebagai markas perlindungan pasukan tentara Jepang.
Gua Klungkung dibuat di dinding sebuah tebing yang ada di tepi Jalan Denpasar –Semarapura. Di bagian atas tebing, terdapat sungai Tukad Bubuh. Gua yang memiliki kedalaman 14 meter ini memiliki 16 cabang yang dihubungkan dengan lorong-lorong memanjang. Serta ada 2 cabang lain yang tidak saling berhubungan.
Selain Guna Klungkung, ada satu lagi Gua Jepang yang berlokasi di dalam Taman Panorama, wilayah Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Lokasinya tidak jauh dari tempat bersejarah Jam Gadang, sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.
Di dalam gua ini terdapat sekitar 21 lubang menuju ruangan-ruangan tertentu yang masih terhubung satu sama lain. Selain itu, di dalam gua ini juga terdapat ruang penyiksaan yang dulunya kerap digunakan untuk menginterogasi musuh. Ada pula ruang penjara yang dijadikan kuburan massal, serta ruangan mengerikan yang disebut Dapur.
Dapur yang dimaksud disini bukanlah ruangan untuk memasak, namun sebagai tempat eksekusi manusia, seperti romusha yang sakit-sakitan maupun musuh yang menjadi tawanan. Setelah di eksekusi, maka mayat maupun potongan tubuh mereka yang dimutilasi akan dibuang melalui salah satu lubang yang terhubng ke sebuah sungai.
Kejamnya sejarah yang terekam di gua ini membuat suasana gua masih terasa mistis dan horor hingga saat ini.
Bandara Frans Kaisiepo merupakan salah satu bangunan yang menjadi peninggalan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Bandara yang dibangun pada tahun 1943 ini dulunya pernah menjadi bandara internasional untuk transit pesawat dari Jakarta dan juga beberapa negara Asia lainnya sebelum menyebrangi Samudera Pasifik menuju Amerika Serikat.
Bandara dengan panjang runway mencapai 3.570 meter dan lebar 40 meter ini dibangun pada masa pendudukan Jepang guna menunjang pesawat tempur Jepang pada perang Pasifik.
Pada Juli 1944, bandara ini kemudian diambil alih oleh pasukan sekutu di bawah pimpinan Letnan Jenderal L Eichelburger dan sempat dijadikan pangkalan militer Australia, sampai beberapa tahun selanjutnya diserahkan kepada Belanda dan dinamai Bandara Mokmer.
Saat Papua diserahkan kembali kepada Indonesia, Bandara Mokmer diubah namanya menjadi Bandara Frans Kaisiepo untuk menghormati salah satu pahlawan nasional asal Papua, Frans Kaisiepo.
Selokan Mataram adalah saluran irigasi primer yang dibangun di masa pendudukan Jepang. Pembangunan selokan ini memang atas perintah dari Sultan Hamengkubuwono IX, namun dibiayai oleh pemerintah militer Jepang pada tahun 1942.
Sultan Hamengkubuwono IX membuat saluran irigasi tersebut untuk mengalirkan air dari Kali Opak dan Progo ke Sleman yang kala itu seringkali dilanda kekeringan. Sultan beralasan bahwa saluran irigasi tersebut diperlukan untuk mendukung suplai makanan bagi pemerintah militer Jepang. Hal tersebut membuat pemerintah Jepang menyetujui dan mau mendanai pembangunan selokan Mataram yang dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro.
Bandara Leo Wattime adalah bandara peninggalan militer Jepang yang terletak di Morotai, Maluku Utara. Bandara ini dibangun oleh Jepang pada tahun1942 dan awalnya hanya memiliki dua landasan pacu.
Pada saat tentara sekutu berhasil merebut Morotai dari kekuasaan Jepang, maka dibangunlah lima landasan pacu tambahan yang tiga landasannya difungsikan sebagai lahan parkir pesawat-pesawat militer. Saat dikuasi oleh pasukan sekutu, bandara ini juga sempat menjadi markas Sekutu di bawah Jenderal Douglas McArthur. Dan setelah kemerdekaan Indonesia, landasan udara ini diambil alih pemerintah Indonesia dan diubah namanya menjadi Leo Wattimena yang merupakan nama pejuang asal Morotai.