Daftar isi
Sebagai masyarakat Indonesia, kita memang harus mengetahui sejarah perjuangan para pejuang yang berperan penting terhadap kemerdekaan Indonesia salah satunya adalah Achmad Soebardjo. Achmad Soebardjo merupakan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, beliau juga adalah seroang diplomat dan pahlawan nasional Indonesia.
Mr. Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo atau sering disapa dengan Achmad Soerbardjo lahir pada 23 Maret 1986 di Teluk Jambe, Kota Karawang, Jawa Barat. Beliau merupakan anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf yang merupakan keturunan bangsawan Aceh dari Pidie dan Wardinah yang merupakan keturunan dari Jawa-Bugis. Ibunya adalah anak dari Camat di Telukagung, Cirebon. Kakek dari ayahnya bernama Ule Balang, seorang ulama di wilayah Lueng Putu, Aceh. Ayah beliau bekerja sebagai pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi.
Awalnya, beliau diberikan nama oleh ayahnya yaitu Teuku Abdul Manaf kemudian ibunya memberikan nama Achmad Soebardjo. Dan untuk nama belakang Djojoadisoerjo, beliau tambahkan sendiri ketika usianya dewasa. Sebagai anak bungsu, Achmad Soebardjo sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Beliau diajarkan oleh kedua orang tuanya tentang kenyataan hidup yakni perilah pentingnya menahan diri, berpikir dua kali sebelum bertindak atau mengeluarkan pendapat. Sehingga ajaran tersebutlah yang paling berpengaruh pada perkembangan kejiwaannya. Kemudian dia menikahi wanita cantik yang bernama Raden Ayu Pudji Astuti atau yang sering dikenal dengan Poedji Soebardjo.
Beliau memulai pendidikannya di sekolah rendah Eropa III namun tidak lama beliau pindah ke sekolah rendah pertama B (ELS) di Kramat, Jakarta. Ketika beliau duduk di bangku kelas enam tersebut, untuk pertama kalinya Soebardjo merasakan kebangsaan yang masih tergolong samar-samar. Rasa ini telah muncul karena di sekolahnya tersebut merupakan sekolah heterogen yang berasal dari berbagai bangsa seperti China, Indo, Arab, Belanda, dan banyak lagi. Meskipun mereka bermain bersama, namun hal ini telah memperlihatkan pada Soebardjo bahwa dari warna kulitnya dia merupakan bangsa pribumi yang berbeda dengan teman lainnya. Bahkan hal ini telah diperkuat oleh tingkah laku dari kepala sekolah tersebut yang merupakan orang Belanda bernama Vleming di mana sering sekali melampiaskan kemarahannya dengan mencemooh orang-orang pribumi.
Atas kejadian tersebut, akhirnya mendorong Soebardjo dengan bersumpah untuk membuktikan bahwa perkataan dari Vleming tersebut tidak benar. Beliau membuktikannya dengan kelulusannya dari ujian masuk Sekolah Pan Pangeran Hendrik. Kemudian beliau melanjutkannya ke jenjang SMA di Hogere Burger School (HBS) pada tahun 1917. Setelah lulus, beliau kuliah di Universitas Leiden, Belanda dan mendapatkan ijazah Master in de Rechten yang saat ini setara dengan Sarjana Hukum pada bidang UU tahun 1933.
Di negara Belanda inilah, Soebardjo mulai aktif dalam organisasi belanda yang bernama Indische Vereeeninging dan mampu memperoleh jabatan sebagai ketua untuk masa periode 1919-1921. Bahkan beliau telah aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di sana selama menjadi mahasiswa.
Pada Februari 1927, Soerbadjo menjadi perwakilan Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli dari gerakan Indonesia lainnya untuk menghadiri persidangan antar bangsa yakni “Liga Menantang Imperialisme dan Penindasan Penjajah” yang dilaksanakan pertama kali di Brussels dan selanjutnya di Jerman. Di persidangan yang pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin nasional lainnya yang berasal dari Asia dan Afrika.
Semasa pendudukan Jepang di Indonesia, Soebardjo bekerja sebagai pembantu kantor penasihat angkatan darat yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Selain itu, beliau juga menjadi Kepala Biro Riset Angkatan Laut Jepang Pimpinan Admiral Maeda.
Di masa-masa akhir pendudukan Jepang di Indonesia, yakni pada masa itulah BPUPKI dibentuk. Beliau kemudian aktif dalam organisasi Jong Java untuk melanjutkan perjuangannya dengan berperan sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sehari sebelum Indonesia merdeka, para pemuda pejuang kemerdekaan termasuk juga Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Shundanco Singgi dan pemuda lainnya berhasil membawa Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Hal ini bertujuan supaya Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Pada peristiwa inilah mereka akhirnya kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang sudah menyerah dan para pejuang juga sudah siap untuk melawan Jepang dengan apa pun reskonya.
Di Jakarta terdapat dua golongan yakni golongan muda yang diketuai oleh Wikana dan golongan tua oleh Achmad Soebarjo berunding. Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Kemudian diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar beliau menuju Rengasdengklok. Beliau akhirnya berhasil untuk meyakinkan para pejuang untuk tidak terlalu terburu-buru untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Dengan memberikan jaminan nyawanya, beliau menetapkan bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada 17 Agustus 1945 paling lambat pukul 11.30. karena jaminan tersebut, akhirnya Komandan Kompi Peta Rengasdenglok yakni Cudanco Subeno juga bersedia melepaskan Soekarno dan Moh. Hatta untuk kembali ke Jakarta dan menetap di rumah Laksamana Tadasi Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 untuk menjamin keselamatan mereka.
Achmad Soebardjo juga berperan penting dalam penyusunan naskah atau teks proklamasi. Penyusunan tersebut dilaksanakan setelah periswia Rengasdengklok dan bertempat di ruang makan Laksamana Maeda. Tidak hanya Soebardjo, dalam menyusun naskah proklamasi beliau juga bersama dengan Soekarno dah Hatta serta disaksikan oleh Sukarni, Sudiro, Miyoshi dan B.M. Diah.
Naskah proklamasi yang disusun memuat tentang pernyataan tegas dan keinginan bangsa Indonesia untuk menjadi negara merdeka. Kalimat pertama naskah proklamasi dicetuskan oleh Achmad Soebardjo dan kalimat terakhir oleh Moh. Hatta. Setelah penyusunan naskah, teks proklamasi diserahkan ke Sayuti Melik untuk diketik dan ditandatangai oleh Soerkarno-Hatta. Kemudian naskah proklamasi tersebut disebarluaskan kepada masyarakat.
Sidang PPKI diselenggarakan pada 18 Agustus 1945 tepat setelah Indonesia merdeka. Dilaksanakannya sidang tersebut untuk membahas mengenai penetapan UUD 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI dan Achmad Soebarjod yang sebagai anggota tambahan. Beliau banyak mengusulkan gagasan salah satunya usulan pada mengenai Bab XVI pasal 37 tentang mengubah UUD. Beliau mengusulkan bahwa jumlah minimal suara yang bisa memutuskan apakah suatu UUD dapat diubah atau tidak.
Adapun peranan lain beliau dalam sidang PPK I ini yaitu sumbangan gagasannya di dalam sidang 19 Agustus 1945. Bersama dengan anggota lainnnya, bertugas membuat rancangan dpeartemen apa saya yang dibutuhkan.
Achmad Soebardjo meninggal dunia pada 15 Desember 1978 di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta. Beliau wafat dalam usia 82 tahun. Meninggalnya beliau karena sakit flu yang menimbulkan komplikasi. Kemudian beliau dimakamkan di rumah peristirahatanya di Cipayung, Bogor. Karena perjuangan hebatnya selama hidup untuk kemerdekaan Indonesia akhirnya pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.