Dullah, mungkin namanya tak seterkenal Affandi ataupun Basuki Abdullah. Namun tak dapat dipungkiri bahwa karya-karyanya telah memperkaya koleksi seni lukis Indonesia. Dullah seolah terpinggirkan dari dunia seni lukis Indonesia sejak masa orde lama dan dikarenakan kecenderungannya sebagai pelukis revolusioner. Dullah tak hanya mengedepankan keindahan alam ataupun objek, tapi ia juga akan melukis sisi-sisi gelap yang terpinggirkan dari pandangan orang banyak seperti melukis daerah kumuh.
Dullah lahir di Kota Surakarta pada tanggal 17 September 1919. Ia berasal dari keluarga yang berprofesi sebagai pembatik. Ciri khas dari lukisan Dullah adalah realistik dan gemar menggambar wajah (portrait) dengan menampilkan lebih dari satu orang.
Dullah memperoleh ilmu tentang seni dengan belajar kepada pelukis ternama sekelas Affandi dan Sudjojono. Ia belajar pada mereka saat tergabung dalam organisasi SIM (Seniman Indonesia Moeda). Namun, gaya lukisan Dullah pun sedikitpun tidak meniru gaya para pelukis kebangggan Indonesia tersebut.
Selain dikenal sebagai pelukis realis, Dullah juga seorang pelukis revolusi. Ia seringkali melukis tema-tema perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah dan merebut kemerdekaan. Setelah terjadi Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949, ia bersama anak-anak didiknya pun melukis langsung peristiwa mencekam yang terjadi di Yogyakarta tersebut. Karyanya saat itu pun menarik perhatian masyarakat luas hingga diulas di berbagai media. Bahkan Affandi tak ragu mengatakan bahwa lukisan dokumentasi itu sebagai karya tunggal di dunia.
Pada masa mudanya, Dullah pernah tergabung sebagai anggota Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), pada masa penjajahan Jepang. Setelah kemerdekaan, Dullah mendirikan HBS (Himpunan Budaya Surakarta). Selanjutnya, Dullah merupakan seorang pelukis istana selama sepuluh tahun sejak tahun 1950-an. Dullah juga dikenal memiliki hubungan dekat dan baik dengan Presiden masa Orde Lama, Soekarno.
Tugas Dullah saat menjadi pelukis istana adalah memperbaiki lukisan-lukisan yang sudah tak layak dipajang dan ikut serta dalam penyusunan buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Tak hanya sebagai pelukis istana, Dullah juga berkontribusi untuk rancangan Garuda Pancasila karya Sultan Hamid II dibawah arahan langsung dari Presiden Soekarno.
Dullah adalah seorang seniman tapi jarang melakukan pameran. Tapi sekali menggelar pameran, atensi masyarakat pun tak terbendung yang bisa dilihat pada tahun 1978. Saat itu di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogyakarta), Dullah bersama anak-anaknya mengadakan pameran dengan jumlah pengunjung puluhan ribu orang.
Karena banyaknya pengunjung, pintu utara pun sempat jebol oleh ribuan pengunjung yang ingin masuk dan menyaksikan langsung karya sang maestro. Pameran pun berlanjut pada tanggal 20 Desember 1979 dan terakhir pada 2 Januari 1980. Saat pameran, banyak pengunjung yang ingin membeli lukisan karya Dullah, namun sayang Dullah tidak menjual lukisan-lukisannya tersebut.
Selain melukis, Dullah juga berkarir sebagai penulis sajak. Beberapa karya sajak Dullah pernah dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang dihimpun oleh penulis H.B Jassin. Bahkan karyanya pernah diterjemahkan dan kemudian terbit di Pakistan.
Pada tahun 1970-an, Dullah mendirikan museum pribadi di Kota Solo dan sekarang dikelola oleh pemerintah Kota Surakarta yang bertujuan untuk melestarikan warisan sejarah khususnya sejarah seni. Lukisan-lukisan Dullah banyak diminati dan menjadi koleksi pribadi tokoh-tokoh penting seperti Presiden Soekarno, Rudolf Menzies yang merupakan mantan Perdana Menteri Australia dan juga dikoleksi museum di luar negeri yaitu Museum seni lukis Ceko.
Berikut adalah karya-karya terkenal Dullah:
Lukisan berukuran 199 cm x 137 cm ini dibuat pada tahun 1949 dengan media cat minyak di atas kanvas. Pada lukisan itu tampak empat orang mengenakan pakaian warna hijau dengan sepatu boots warna hitam, topi pet di atas kepala mereka dan bergaya seperti tentara dengan senjata laras panjang di tangan. Tampak juga sesosok perempuan berpakaian kebaya putih dipadukan dengan kain jarik motif batik dengan warna coklat. Selain itu juga ada anak laki-laki dan seorang pria dewasa yang keduanya memakai baju warna putih.
Suasana mencekam jelas tampak dalam lukisan itu. Seorang wanita sedang jatuh tertunduk, rambutnya dijambak oleh tentara yang dari wajahnya tampak sedang marah. Sang perempuan dengan wajah ketakutan dengan dada yang setengah terbuka, tangan kirinya berusaha meraih kebaya untuk menutupi dada dan tangan kanan di rambutnya untuk menahan jambakan sang tentara. Dari depan seorang tentara pun mengarahkan senjata laras panjangnya ke dada perempuan tersebut. Lainnya, seorang pria yang memakai baju putih terjungkl dari kursi dan tentara lainnya memegang kepala anak kecil.
Lukisan yang dibuat pada tahun 1947 ini merupakan salah satu mahakarya dari Dullah. Tema yang diangkat pada lukisan ini memiliki sedikit kemiripan dengan lukisan Praktik Pendudukan Tentara Asing. Lukisan ini bertema kekejaman para tentara asing dan semangat untuk melawan penjajah. Dari lukisan ini terlihat kepiawaian Dullah dalam penguasaan teknik realistik yang sangat tinggi.
Lukisan berukuran 102 cm x 83 cm ini dibuat pada tahun 1953 dengan media cat minyak diatas kanvas. Lukisan ini menjadikan keindahan sosok wanita sebagai tema. Melalui lukisan istriku ini, ia seolah ingin menampilkan sisi romantis dalam karyanya, tak hanya tentang kemanusiaan, nilai-nilai lokal maupun tema kerakyatan. Pada lukisan ini tampak seorang wanita yang sedang duduk di kursi. Ia mengenakan kebaya dengan kipas di tangan kanannya. Sang wanita pun tersenyum dengan tipis dengan wajah ayu dan anggun dengan sanggul di kepalanya.
Lukisan berukuran 130 cm x 180 cm ini dibuat pada tahun 1953. Pada lukisan dengan media cat minyak di atas kanvas ini digambarkan pemandangan Gunung Lawu yang diberi sentuhan warna biru dan tampak langit cerah dengan awan yang bersih putih. Tampak juga jalan menuju gunung yang bersih berwarna kecoklatan dengan tambahan sungai-sungai kecil yang mengalir.
Lukisan berukuran 68 cm x 54 cm ini dibuat dengan medium cat minyak diatas kanvas. Pada lukisan bertahun 1969 ini tampak sebuah pura yang disampingnya ada pohon-pohon besar dan tinggi. Didepan pura ada dua orang wanita terpisah. Wanita pertama tepat berada di depan pintu mausk pura dengan tangan kirinya memegang semacam bakul di kepalanya. Wanita kedua berkostum hitam tampak sedang berjalan melewati depan pura tersebut.
Dullah menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 1 Januari 1996 di Rumah Sakit Panti Rapih Kota Yogyakarta dalam usia 77 tahun. Dullah dimakamkan di Kota Surakarta tepatnya di Pemakaman Umum Purwoloyo. Ia dimakamkan tepat disebelah makam sang istri, Jan Jaerabby Fatima.
Kita dapat menyaksikan keindahan lukisan-lukisan karya Dullah di Museum Dullah yang terletak di kota Surakarta yang resmi dibuka untuk umum pada tahun 2016. Disana terpajang seluruh karya dullah sejak tahun 1939 hingga tahun 1993.