NTB sebenarnya mempunyai banyak pejuang yang ikut serta merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Namun hingga saat ini baru tercatat ada satu orang saja pahlawan yang mendapat gelar resmi sebagai pahlawan nasional dari pemerintah RI yakni Tuan Guru K.H Abdul Madjid.
Beliau merupakan seorang pejuang yang lahir kampung Bermi, desa Pancor, Kecamatan Rarang, Lombok Timur. Ia lahir pada 19 April 1908 dengan nama kecilnya yaitu Muhamad Saggaf. Asal-usul Zainuddin Abdul Madjid tidak dapat diketahui secara lengkapnya akibat dari peristiwa kebakaran yang menyebabkan dokumen keluarganya hilang.
Ada pendapat bahwa ia merupakan keturunan dari sultan kerajaan Salaparang ke 17. Ayahnya bernama Tuan Guru Abdul Masjid sedangkan ibunya adalah Hj. Halimatus Sa’diyah.
Pada saat usianya menginjak angka 9 tahun, Ayahnya mengubah namanya menjadi Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Hal tersebut dimaksudkan agar mendapat keberkatan dai seorang ulama besar dari Sarawak yaitu Muhammad Zainuddin.
Dua tahun sebelum TGKH Zainuddin lahir, peraturan Agraria Lombok diberlakukan. Peraturan tersebut dibentuk oleh pertahanan kolonial. Pada saat itu lah awal mula penjajahan Hindia Belanda dengan ditaklukkannya puri Cakranegara serta ratu agung dengan raja Lombok diasingkan ke Batavia. Dengan adanya kebijakan tersebut kondisi ekonomi dan pangan Bali memburuk.
TGKH Zainuddin sudah menunjukkan kecerdasannya dan sifat jujurnya sejak ia kecil. Beliau menempuh pendidikan fomalnya di sekolah rakyat hingga tahun 1919. Kemudian di lanjut belajar dengan para Tuan Guru seperti TGH Syarifuddin, TGH Muhammad Said, dan TG Abdullah.
Ketika remaja ia melanjutkan pendidikan dengan memperdalam ilmu agama di Mekkah. Tuan Guru Bajang berhasil menempuh pendidikan hanya dalam waktu 6 tahun dari yang seharusnya 9 tahun. Setelah adiknya yaitu Muhammmad Faisal menyelesaikan pendidikannya, TGKH Zainuddin kembali ke Indonesia dan melakukan syiar agama Islam di Lombok.
Ajarannya meluas dan diterima oleh masyarakat umum. Sejak sat itulah julukan “Tuan Guru Bajang” melekat dalam dirinya. Zainuddin kemudian mendirikan pesantren al-Mujahiddin dan sekolah khusus untuk perempuan yaitu Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah pada tahun 1934.
Sekolah yang didirikannya tersebut merupakan sekolah pertama yang ada di Lombok sekaligus menjadi cikal bakal berdirinya sekolah madrasah yang berada dibawah naungan Nahdlatul Wathan di seluruh Indonesia.
Sekolah TGKH Zainuddin Abdul Madjid tersebut dijadikan sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Sekolah tersebut bahkan bergabung dengan gerakan rakyat lain yang ada di Lombok untuk mempertahankan NKRI. Gerakan gabungan ini pernah menyerang pangkalan militer NICA yang bermarkas di Selong pada 7 Juli 1946. Sayangnya sang adik Guru Bajang harus gugur dalam perang tersebut.
Setelah bangsa Indonesia merdeka, beliau kembali mengembangkan sekolah dengan mendirikan sekolah-sekolah lain seperti yayasan pendidikan, sekolah tinggi, hingga universitas. Ia bahkan terlibat dalam bidang politik. Beliau menjadi ketua dari Badan Penasihat Masyumi untuk Lombok.
Selain itu beliau juga menjadi anggota Konstituante RI pada tahun 1955, Peserta Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) PADA TAHUN 1964, Anggota MPR tahun 1972 sampai 1982, dan sebagainya. Atas kegigihannya tersebut, beliau dianugerahi piagam penghargaan dan medali perjuangan dan pembangunan oleh pemerintah RI.
Pada tahun 1996, TGKH Zainuddin harus menggunakan kursi roda karena kondisi fisiknya yang kian melemah. Ia banyak menghabiskan waktu untuk berbaring dan beristirahat selama satu tahun. Pada 21 Oktober 1997 Tuan Guru Bajang menghembuskan nafas terakhir di kediamannya yaitu di kawasan pondok pesantren Darunnahdlatain Pancor, Lombok Timur.
Pada tahun 2018 pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, TGKH Zainuddin Abdul Madjid akhirnya resmi mendapatkan gelar tertinggi pahlawan yaitu pahlawan nasional.