4 Jenis Gaya Kelekatan dan Relasi yang Terbentuk

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Tanpa disadari, perilaku dan cara seseorang membangun sebuah relasi baik dalam keluarga, pertemanan, ataupun hubungan romantis dipengaruhi oleh gaya kelekatan yang dimilikinya.

Menurut psikoanalisis dan psikiater Inggris John Bowlby (1950), kelekatan (attachment) didefinisikan sebagai sebuah keterkaitan secara psikologis antarmanusia yang berlangsung lama.

Hubungan ini terbentuk sejak seseorang masih bayi dan dipengaruhi bagaimana bentuk respon yang orang tua berikan terhadap kebutuhannya.

Dalam perkembangannya, gaya kelekatan terbagi menjadi empat jenis, yaitu insecure, anxious, avoidant, dan disorganized. Berikut penjelasannya:

  • Gaya Kelekatan Aman (Secure Attachment Style)

Gaya kelekatan ini dinilai paling berhasil karena adanya ikatan cinta yang kuat dan relasi yang hangat antara anak dengan orang tuanya. Orang tua yang peka, responsif dan selalu “hadir” untuk anak adalah ciri gaya kelekatan aman.

Adanya sikap menerima dari orang tua, sehingga menumbuhkan rasa percaya dalam diri anak bahwa setiap ia mengalami hal buruk atau emosi negatif, akan ada orang yang membantunya untuk tetap merasa aman.

Seorang anak yang kebutuhan emosionalnya sudah tercukupi, ketika dewasa ia akan tumbuh dengan perasaan aman dan percaya diri dalam menjalin relasi dengan orang lain. Mereka cenderung memiliki tingkat penerimaan terhadap diri sendiri yang baik sehingga tidak membutuhkan validasi apapun dari orang lain.

  • Gaya Kelekatan Cemas (Anxious Attachment Style)

Dalam gaya kelekatan ini, anak cenderung merasa dunia di sekitarnya adalah tempat yang mengerikan dan penuh dengan ancaman. Takut akan ditinggalkan dan selalu mencari persetujuan dari orang tuanya selalu mendominasi perasaan anak.

Terkadang orang tua akan bertindak sangat responsif terhadap kebutuhan anak, namun di lain waktu orang tua akan abai terhadap kebutuhan anak sekalipun itu merupakan kebutuhan yang mendesak dan beresiko.

Inkonsistensi orang tua dalam pengasuhan menyebabkan anak berpikir bahwa orang tua bukanlah orang yang dapat diandalkan saat anak membutuhkan. Alhasil, anak akan tumbuh dengan perasaan rendah diri, selalu menyalahkan diri sendiri dan sulit memiliki kepercayaan terhadap lingkungan baru. Hingga akhirnya memunculkan potensi seorang anak menjadi pribadi yang banyak menuntut, manja, dan mudah marah.

  • Gaya Kelekatan Penghindaran (Avoidant Attachment Style)

Gaya kelekatan penghindar terbentuk karena gagalnya orang tua dalam membangun relasi dengan anak akibat tidak adanya keintiman fisik maupun emosional.

Orang tua sering menganggap remeh kebutuhan emosi anak, menolak membantu anak saat kesulitan, dan lambat dalam menanggapi kebutuhan dasar anak. Alhasil, anak akan terus menerus menghindari keintiman baik secara fisik maupun emosional, terutama dengan orang tua.

Anak yang tumbuh dengan gaya kelekatan penghindaran, cenderung lebih memilih untuk belajar kuat, mandiri dan tidak menunjukkan perasaanya meski sedang dalam kesusahan sekalipun, dikarenakan memiliki bayangan adanya penolakan dari orang tua.

Dalam hubungan romantis, mereka cenderung lebih memilih menghindari keintiman secara emosional dengan pasangan dan lebih banyak menghabiskan waktu sendiri daripada berinteraksi dengan pasangan.

  • Gaya Kelekatan yang Tidak Diatur (Disorganized Attachment Style)

Dalam beberapa kasus, anak-anak dengan gaya kelekatan ini tak jarang merupakan korban dari kekerasan orang tuanya, baik secara fisik, verbal, maupun seksual.

Orang tua dengan terang-terangan menunjukkan penolakan terhadapa anak, ditambah sikap yang selalu mencemooh dan merendahkan anak. Alih-alih menjadi menjadi sumber rasa aman, orang tua justru menjadi momok paling menakutkan bagi anak-anaknya.  

Anak yang tumbuh dalam gaya kelekatan ini cenderung memiliki kasus yang lebih pelik dibanding gaya kelekatan lain. Saat bertumbuh, mereka akan mencari sosok yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional yang tidak ia dapatkan, namun mereka sendiri pula yang akan mendorong sosok itu menjauh karena rasa takut akan disikiti.

Mereka hampir sama seperti orang-orang avoidant yang menghindari keintiman, namun bedanya, mereka masih memiliki kemauan untuk dicintai.

fbWhatsappTwitterLinkedIn