Social Facilitation: Pengertian – Latar Belakang dan Implikasinya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Seringkali kita melihat seseorang mengalami perubahan kinerja, bisa baik atau buruk, ketika sadar akan kehadiran individu lain yang memerhatikan. Fenomena tersebut disebut dengan Social Facilitation. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.

Pengertian

Social Facilitation atau fasilitasi sosial adalah suatu fenomena berupa peningkatan kinerja dan performa seseorang secara fisik dan kognitif dikarenakan kehadiran orang lain di sekitar mereka baik secara fisik (nyata), tersirat, maupun hanya dalam bayangan (benak).

Namun demikian, keberadaan orang lain di sekitar dapat pula menghambat efektivitas seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan.

Secara umum, perubahan kinerja dalam social facilitation dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

  • Co-action effect, peningkatan kinerja yang disebabkan adanya orang lain yang mengerjakan tugas atau pekerjaan yang sama dengan kita. Misalnya, sesama rekan kerja di suatu ruangan kantor yang sedang mengerjakan tugas atau pekerjaan.
  • Audiens effect, peningkatan kinerja seseorang yang terjadi ketika ada orang/sekelompok orang di depannya. Sebagai contoh, seorang penyanyi yang sedang bernyanyi di atas panggung dan di rumah sendirian akan memiliki kinerja yang berbeda.

Pada waktu tertentu, seseorang akan tampil lebih baik ketika diberikan tugas atau pekerjaan sederhana dan akan tampil buruk ketika diberikan tugas yang rumit dan kompleks di hadapan orang lain. Orang lain atau audiens menjadi sebab seseorang merasa didukung, dikuatkan, terlebih jika perilaku yang ditunjukkan tidak berbeda (dikhususkan) dari yang ditunjukkan kepada orang lain. Namun demikian, keberadaan orang lain tersebut juga bisa menjadi suatu hambatan bagi seseorang dalam menyelesaikan tugasnya di situasi tertentu.

Sehubungan dengan hal tersebut, ada tiga pendekatan utama yang bisa digunakan untuk memahami fenomena social facilitation, yaitu pendekatan aktivasi, evaluasi, dan atensi. Namun, ada beberapa ahli yang menambahkan pendekatan presentasi diri di dalamnya.

Latar Belakang Kemunculan Social Facilitation

Studi mengenai peningkatan kinerja terhadap kehadiran orang lain di sekitarnya muncul pertama kali ketika Norman Triplett, seorang psychologist asal Amerika Serikat, melakukan eksperimen tentang efek pada kinerja pengendara sepeda dengan individu lain di sekitarnya pada 1897. Triplett membuat sebuah desain eksperimen sederhana dengan membandingkan performa antara pengendara sepeda saat sendirian dan pengendara sepeda yang berpacu melawan pengendara sepeda lainnya.

Dalam eksperimen tersebut Triplett menemukan bahwa pengendara sepeda cenderung lebih santai atau lambat ketika berkendara hanya berpacu dengan waktu atau sendirian. Triplett mengaitkan hasil eksperimennya tersebut dengan insting kompetitif dari pengendara terhadap ada atau tidaknya lawan saat berkendara. Studi Triplett ini kemudian berkembang dan meluas ke berbagai penelitian lain.

Pada 1924, muncul istilah Social Facilitation dari hasil studi yang dilakukan oleh Floyd Allport. Dalam studinya, Allport melihat perbedaan antara seseorang yang duduk sendiri bersama berbagai tugas seperti asosiasi kata dan perkalian dalam matematika, dan seseorang yang yang duduk dengan peserta lain beserta tugas yang sama dengan peserta pertama. Hasil yang didapat adalah seseorang menunjukkan kinerja lebih baik ketika berada dalam pemgaturan suatu kelompok daripada mengerjakan tugas saat sendirian.

Namun demikian, Social Facilitation yang dikemukakan Allport saat itu hanya menekankan pada peningkatan tanggapan yang didapat dari hasil melihat dan mendengar orang lain ketika melakukan gerakan yang sama secara berulang-ulang.

Untuk lebih memperjelasnya, Hazel Markus dari University of Michigan melakukan eksperimen lanjutan guna menguji hipotesis mengenai apakah hanya kehadiran orang lain yang dapat memengaruhi kinerja seseorang. Markus melakukan eksperimen dengan menerapkan tugas yang tidak memiliki struktur kerangka dan cenderung menyebabkan peserta merasa khawatir bagaimana cara evaluasi terhadap diri mereka. Seperti, aktivitas memakai dan menanggalkan pakaian di hadapan orang yang mereka anggap familiar, bekerja di depan orang yang lalai dan pasif, bekerja di depan audiens yang penuh antusiasme.

Dari eksperimen tersebut, didapatkan hasil berupa kondisi sosial menjadi faktor penentu peningkatan kinerja seseorang yang bekerja di hadapan orang lain. Aktivitas memakai dan menanggalkan pakaian  cenderung dilakukan seseorang di lingkungan yang mereka anggap familiar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kehadiran orang lain merupakan syarat utama dalam social facilitation dan interferensi sosial.

Oleh karenanya, kehadiran orang lain mampu membuat seseorang melakukan pekerjaan sederhana dengan lebih baik, namun bisa menjadi lebih buruk pada tugas yang lebih rumit. Dalam sebuah studi pada tahun 2010, terjadi peningkatan pemberian donasi oleh seseorang ketika pengamat hadir di sekitarnya. Dalam neuroimaging, juga dikatan bahwa kehadiran pengamat secara signifikan mampu memengaruhi aktivitas di striatum ventral yang nantinya memutuskan apakah akan menyumbang atau tidak.

Pada 2002, meta-analisis Raefali membuat tiga kesimpulan tentang fenomena social facilitation. Pertama, kehadiran orang lain mampu meningkatkan hasrat fisiologis seseorang, hanya jika seseorang tersebut melakukan tugas yang kompleks dan rumit. Kedua, kehadiran orang lain mampu meningkatkan kecepatan kinerja pada tugas sederhana dan menurunkan kecepatan kinerja pada tugas kompleks. Ketiga, secara mengejutkan efek social facilitation tidak berkaitan dengan ketakutan evaluasi pelaku. 

Pendekatan dalam Social Facilitation

Terdapat tiga pendekatan utama dalam memahami social facilitation, yaitu pendekatan aktivasi, evaluasi, dan atensi. Namun, terkadang ada peneliti yang menambahkan pendekatan presentasi diri di dalamnya.

Pendekatan Aktivasi

Pendekatan aktivasi menggambarkan bagaimana pendorong atau gairah seseorang berkaitan dengan social facilitation. Dalam pendekatan aktivasi, ada tiga teori yang mendukung dalam memahami fenimena social facilitation, di antaranya sebagai berikut:

  • Alertness Hypothesis

Hipotesis ini menyatakan bahwa orang tidak yakin tentang bagaimana mereka bertindak ketika berada di hadapan orang lain. Sehingga mereka cenderung menjadi lebih waspada. Kewaspadaan ini akan menyebabkan mereka mengerjakan tugas dengan lebih baik.

  • Monitoring Hypothesis

Monitoring hypothesis menyatakan bahwa efek social facilitation tidak akan terjadi ketika seseorang akrab dengan situasi dan orang di sekelilingnya. Hal ini dikarenakan mereka tahu bagaimana lingkungan mereka akan merespon terhadap kinerja mereka.

Oleh karenanya, motivasi atau gairah mereka tidak akan mengalami peningkatan. Namun, jika orang tersebut tidak familiar dengan lingkungan dan audiens sekitarnya, akan terjadi peningkatan gairah dan motivasi.

  • Challenge and Threat Hypothesis

Hipotesis challenge and threat menyatakan bahwa ketika di hadapan orang lain, seseorang akan cenderung tampil buruk jika diberikan tugas yang kompleks dan tampil lebih baik ketika diberikan tugas sederhana. Reaksi ini disebut dengan respon kardiovaskular.

Saat dihadapkan dengan tugas sederhana di hadapan orang lain, seseorang menunjukkan respons kardiovaskular yang normal. Sementara saat dihadapkan pada tugas yang kompleks di hadapan orang lain, respons kardiovaskular berada dalam posisi terancam.

Pendekatan Evaluasi

Pendekatan evaluasi membahas tentang bagaimana penilaian audiens mampu memengaruhi social facilitation. Pendekatan ini diusulkan oleh Henchy dan Glass pada 1968, dengan hipotesis bahwa kehadiran orang lain tidak hanya meningkatkan motivasi, gairah atau kinerja seseorang, melainkan juga menjadi sumber ketakuatan terhadap evaluasi yang akan diberikan oleh audiens tersebut.

  • Evaluation Apprehension Theory

Teori ini dikemukakan oleh Nickolas Cottrell pada 1972, teori ini berasumsi bahwa orang belajar dari pengalamannya bahwa sebagian besar sumber penghargaan dan hukuman adalah akibat dari interaksinya dengan orang lain.

Oleh karenanya, orang merasa khawatir ketika berada dalam situasi sosial yang nantinya memunculkan evaluasi terhadap diri mereka. Namun demikian, kekhawatiran terhadap evaluasi terkadang dapat meningkatkan kinerja.

  • Self Presentation Theory

Social facilitation merupakan produk dari motivasi seseorang dalam menjaga citra diri positif di hadapan orang lain. Motivasi tersebut akan mengarahkan seseorang berperilaku yang mengarahkannya pada kesan yang baik dan positif, sehingga akan menghasilkan social facilitation dalam situasi evaluatif.

  • Learned Drive Hypothesi

Learned Drive Hypothesis dikembangkan oleh Cottrell, Wack, Sekerak, dan Rittle. Mereka menyatakan bahwa aktivasi terhadap diri akan meningkat ketika mereka merasa bahwa audiens atau orang lain mampu mengevaluasi penampilan mereka.

Dengan kata lain, bahwa kekuatan sebuah evaluasi berasal dari audiens yang terdidik dan terpelajar. Pada tahap selanjutnya, Weiss dan Liller mengembangkan sebuah pendekatan evaluasi yang berhipotesis bahwa aktivasi diri seseorang hanya meningkat ketika mereka takut terhadap evaluasi negatif, yang nantinya akan menimbulkan perasaan negatif pada seseorang, seperti kecemasan dan kekhawatiran.

  • Teori Orientasi Sosial

Fenomena social facilitation menunjukkan bahwa seseorang akan berperilaku berbeda sesuai situasi sosial yang melingkupinya. Perbedaan ini akan menujukan social facilitation dan gangguan yang muncul dalam kinerja seseorang.

Teori ini menyatakan bahwa individu dengan orientasi positif cenderung akan menampilkan efek social facilitation, sedangkan individu dengan orientasi negatif lebih cenderung mengalami penurunan kinerja.

Pendekatan Atensi

Pendekatan atensi merupakan pendekatan lanjutan dari pendekatan aktivasi yang menyiratkan bahwa perlu adanya penarikan kesimpulan dari berbagai hal untuk menangani efek lain yang muncul secara efektif.

Teori yang digunakan untuk menjelasakan social facilitation dalam pendekatan atensi antara lain teori gangguan konflik, hipotesis beban, model putaran umpan balik, dan model kapasitas.

  • Distraction-conflict Theory

Gangguan pada social facilitation dapat menyebabkan terjadinya suatu konflik yang mampu meningkatkan motivasi, sehingga seseorang terdorong untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas dari yang sebelumnya.

Namun, pada pekerjaan yang lebih rumit dan kompleks, peningkatan dorongan tidak cukup untuk menetralkan efek yang merugikan dari berbagai gangguan tadi, yang pada akhirnya terjadi penurunan kinerja. Lain halnya ketika tugas diselesaikan bersama orang lain, kesalahan akan berkurang dan ini menunjukkan bahwa kehadiran orang lain membantu mempersempit fokus perhatian.

  • Overload Hypothesis

Dalam hipotesis beban, gangguan tidak mengarah pada peningkatan gairan atau motivasi seseorang dalam bekerja, melainkan menjadi beban kognitif yang nantinya akan memperburuk kinerja. Kinerja akan mengalami peningkatan ketika seseorang memusatkan perhatiannya pada rangsangan-rangsangan baru yang relevan dari tugas-tugas yang diberikan.

Sementara itu, ketika seseorang tidak mampu menangani semua informasi yang disajikan kepada mereka, seperti tugas yang rumit dan kompleks, kinerja mereka akan mengalami penurunan karena dianggap sebagai beban baru.

  • Feedback-loop Model

Model ini menyatakan bahwa ketika seseorang secara sadar merasa sedang diamati, mereka cenderung lebih memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri. Mereka sadar dan tahu tentang perbedaan antara perilaku yang sebenarnya dan perilaku yang diantisipasi. Jadi, dengan model ini, orang yang berbuat baik di hadapan orang lain disebabkan karena peningkatan kesadaran terhadap perilaku mereka sendiri.

  • Capacity Model

Model ini berfokus pada peran jenis-jenis pengolahan informasi pada kinerja seseorang ketika berada di depan orang lain, ketimbang kinerja pada berbagai jenis tugas (sederhana atau kompleks) ketika berada di depan orang lain.

Model kapasitas menunjukkan bahwa seseorang yang diberikan tugas dengan pemrosesan informasi otomatis, kehadiran orang lain tidak menjadi masalah baginya sehingga kealitas kinerja meningkat.

Sementara tugas-tugas dengan pemrosesan informasi yang terkontrol, membuat kehadiran orang lain menjadi penghambat kinerja karena diperlukan fokus terhadap keduanya, yaitu tugas dan audiens di depannya.

Pendekatan Presentasi Diri

Studi utama mengenai pendekatan presentasi diri dilakukan oleh Bond pada 1982, namun dengan tidak memasukkan tolok ukur independent dari presentasi diri. Sehingga pendekatan ini belum cukup mampu membuktikan validitas dari hasil eksperimen.

Social Facilitation dalam pendekatan presentasi diri memiliki dua teori utama, yaitu teori dengan pendorong dan teori tanpa pendorong.

  • Teori dengan Pendorong

berpendapat bahwa ketika seseorang berada di hadapan audiens atau orang lain, maka presentasi diri menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Kemungkinan munculnya rasa malu akibat evaluasi negatif terhadap aktivitas dari berbagai dorongan yang meningkat akan menyebabkan efek yang lebih besar dan dominan.

  • Teori Tanpa Pendorong

berpendapat bahwa semua hal yang dilakukan bukan masalah tentang dorongan atau gairah, melainkan keinginan seseorang untuk tampil kompeten di hadapan orang lain. Tugas yang mudah cenderung membuat seseorang ingin terlihat lebih kompeten.

Yaitu dengan mengerjakan tugas sebaik mungkin. Sementara tugas yang sulit dan kompleks sering membuat seseorang takut tampil tidak kompeten, yang nantinya akan membuatnya malu dan menghambat kinerjanya.

Faktor Timbulnya Social Facilitation

Sebagian besar psikolog  menggunakan istilah Social Facilitation atau hambatan sosial untuk menunjukkan bahwa kinerja terkadang di ’facilitate ketika sedang diamati, dan di lain waktu mangalami hambatan ketika di hadapkan dengan orang lain. Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam social facilitation, antara lain faktor fisiologis, kognitif, dan afektif.

Selain itu, fasilitas sosial dianggap melibatkan tiga faktor: faktor fisiologis (dorongan dan gairah), faktor kognitif (gangguan dan perhatian), dan faktor afektif (kecemasan dan presentasi diri).

Faktor Fisiologis

Faktor fisiologis mengacu pada dorongan dan tingkat gairah yang lebih tinggi untuk melakukan suatu tugas dalam sebuah situasi yang melibatkan social facilitation. Jim Blascivich, psikofisiolog sosial, melakukan sebuah uji mekanisma gairah yang diyakini sebagai dasar social facilitation.

Penelitian ini menemukan bahwa seperti yang dihipotesiskan olah Zajonc, yaitu dalam kondisi saat sedang sendirian seseorang secara signifikan akan meningkatkan aktivasi simpatik selama mengerjakan tugas yang menghasilkan kinerja relatif baik.

Faktor Kognitif

Dalam social facilitation, faktor kognitif mengacu pada peran atensi (perhatian) dan gangguan yang menyertai. Sebagai contoh, upaya dalam hal membuat orang lain melihat Anda ketika sedang melakukan sesuatu, mungkin menjadi sebab Anda merasa lebih fokus, atau sebaliknya yang justru menjadi sebuah gangguan untuk Anda.

Faktor Afektif

Faktor afektif mengacu pada bagaimana kecemasan dan presentasi diri mampu memengaruhi social facilitation. Efek social facilitation berfokus pada berbagai respons afektif yang terkait dengan evaluasi ketika berda di hadapan orang lain. Penjelasan ini menekankan betapa pentingnya atensi pada presentasi diri ketika tampil di depan orang lain.

Implikasi dari Social Facilitation

Sementara implikasi dari teori ini sangat relevan dengan pengaturan pendidikan, yang bertujuan menyusun suatu sistem pembelajaran yang efektif dan pengujian terhadap keilmuannya. Dari social facilitation, dapat diketahui bahwa untuk meningkatkan pemahaman dalam belajar, seseorang harus mencoba belajar secara mandiri (materi yang dianggap baru, sulit, dan tidak terlalu dominan), namun tetap harus dilakukan pengujian terhadap materi yang telah dipelajari dengan baik di hadapan orang lain.

Psikolog olahraga juga banyak menerapkan pengetahuan yang diperolehnya dari teori social facilitation mengenai cara terbaik untuk meningkatkan kinerja fisik. Terkait mekanisme afektif dari social facilitation, Roy Baumeister menyatakan bahwa kompetisi yang dilakukan di kandang sendiri (negara atau tempat asal) dan di hadapan penonton se tanah air mampu meningkatkan kesadaran diri, yang tidak akan didapat oleh tim tamu. Kesadaran diri yang meningkat akan memberikan efek hambatan sosial pada tim lawan, sehingga dapat menghasilkan kinerja yang buruk.

Social facilitation juga diterapkan untuk mempelajari berbagai aktivitas, seperti remaja yang minum alkohol, pengguna narkoba, kebiasaan makan yang berlebihan, dan masih banyak lagi. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, para psikolog menyatakan bahwa orang yang merasa tidak percaya diri dengan penampilan mereka, cenderung merasa gelisah secara berlebihan ketika bersama orang lain dibanding saat sedang sendirian.

Namun, banyak penulis yang berpendapat bahwa para pengamat telah menurunkan kontrol kognitif pada penelitian mereka, sehingga hasil yang didapat lebih banyak yang sifatnya hanya prasangka. Dengan kata lain, para pengamat terlalu banyak me-facilitate bias dan prasangka.

fbWhatsappTwitterLinkedIn