Daftar isi
Sejarah Kerajaan Galuh
Masa Awal: Pemisahan Diri dari Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Galuh merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu di Indonesia. Titik awal sejarah Kerajaan Galuh sebenarnya adalah penerus dari Kerajaan Kendan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Secara garis besar kisah Kerajaan Galuh terdapat dalam kitab kuno Carita Parahiyangan, yang ditulis pada awal abad 16.
Dikisahkan Raja Tarumanegara terakhir yang bernama Linggawarman menyerahkan kekuasaan kepada menantunya yang berasal dari Sundapura, Sri Maharaja Tarusbawa. Setelah itu, Tarusbawa memindahkan wilayah Kerajaan Tarumanegara ke Sundapura.
Pemindahan kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk memisahkan diri dari Tarumanegara dan mendirikan kerajaan sendiri. Tarusbawa mengabulkan permintaan Wretikandayun dengan membagi wilayahnya menjadi dua, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang dibatasi oleh Sungai Citarum. Wretikandayun sendiri adalah putra dari Raja Kendan yang bernama Rahiyangta ri Medangjati.
Masa Penyatuan Kerajaan Sunda dan Galuh
Penyatuan sejarah kerajaan Galuh dan Sunda di Indonesia ini terjadi di tahun 723 M pada masa Raja Sanjaya. Akan tetapi pada tahun 729 kembali terjadi perpecahan di mana Raja Banga Sanghyang Banga melepaskan Kerajaan Sunda dari kekuasaan Kerajaan Galuh.
Masa Akhir: Pengaruh Kerajaan Cirebon dan Mataram
Pada masa Raja Prabhu Jayaningrat, ibu kota atau pusat Kerajaan Galuh berpindah dari Kawali ke Salawe Pangauban. Pada masa ini Kawali berada dalam pengaruh Kerajaan Cirebon dan Salawe Pangauban dirancang oleh Pucuk Umum.
Putra dari Pucuk Umum yang bernama Prabu Haur Kuning merupakan Raja Galuh Salawe Pangauban terakhir yang beragama Hindu. Raja terakhir ini bergelar Maharaja Prabu Cipta Sanghyang Permana yang jasadnya dilarung di daerah Ciputrapinggan.
Prabu Cipta Permana (1595-1618 M) -sebagai penerus Maharaja Prabu Cipta Sanghyang Permana- adalah penguasa Kerajaan Galuh pertama yang masuk Islam dengan menikahi penguasa Cirebon di Galuh Kawali yang bernama Tanduran Tanjung Putri Maharaja Mahadikusumah. Masa Kerajaan Galuh sendiri berakhir pada era Kerajaan Mataram Islam tahun 1595.
Pada masa tersebut terjadi penurunan status seluruh raja di pulau Jawa, termasuk Kerajaan Galuh, menjadi kebupatian. Sehingga Raja yang semula memiliki gelar Ratu atau Sanghyang, berubah menjadi Adipati di bawah kekuasaan Mataram. Berakhirlah sejarah Kerajaan Galuh sebagai salah satu kerajaan Hindu di Indonesia.
Raja Kerajaan Galuh
- Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702 M)
- Mandiminyak atau Prabu Suraghana (702-709 M)
- Sanna atau Séna/Sannaha (709-716 M)
- Purbasora (716-723 M)
- Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma (723-732 M, Kerajaan Galuh bersatu dengan Sunda)
- Tamperan Barmawijaya (732-739 M)
- Sang Manarah (739-746 M)
- Rakeyan ri Medang (746-753 M)
- Rakeyan Diwus (753-777 M)
- Rakeyan Wuwus (777-849 M)
- Sang Hujung Carian (849-852 M)
- Rakeyan Gendang (852-875 M)
- Dewa Sanghiyang (875-882 M)
- Prabu Sanghiyang (882-893 M)
- Prabu Ditiya Maharaja (893-900 M)
- Sang Lumahing Winduraja (900-923 M)
- Sang Lumahing Kreta (923-1015 M)
- Sang Lumahing Winduraja (1015-1033 M)
- Rakeyan Darmasiksa (1033-1183 M)
- Sang Lumahing Taman (1183-1189 M)
- Sang Lumahing Tanjung (1189-1197 M)
- Sang Lumahing Kikis (1197-1219 M)
- Sang Lumahing Kiding (1219-1229 M)
- Aki Kolot (1229-1239 M)
- Prabu Maharaja (1239-1246 M)
- Prabu Bunisora (1357-1371 M)
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M)
- Dewa Niskala (1475-1483 M)
- Ningratwangi (1483-1502 M)
- Jayaningrat (1502-1528 M)
- Maharaja Cipta Sanghyang Di Galuh ( 1528-1595 M)
Wilayah Kerajaan Galuh
Ibu kota Kerajaan Galuh terletak di Karangkamulyan, Cijeungjing, Ciamis (612-702 M). Kemudian berpindah ke Saunggalah (669-1311 M) dan terakhir di Kawali (1311-1482 M).
Peninggalan Kerajaan Galuh
- Prasasti Mandiwunga
Prasasti yang terbuat dari batu alam ini ditemukan di desa Cipadung, Kecamatan Cisaga, Ciamis pada tahun 1985. Prasasti tersebut memiliki tinggi 70 cm, lebar antara 14 hingga 26 cm, dengan ketebalan 4 hingga 10 cm. Prasasti berisikan lima baris kalimat jenis aksara Jawa Kuno di mana bagian ujung atas sudah patah ketika ditemukan.
Prasasti Mandiwunga ditemukan oleh Dirman Surachmat dan ditranskripsi ulang oleh Richadiana Kartakusuma di tahun 1991. Kini prasasti tersebut diletakkan di Museum Negeri Sri Baduga, Bandung, Jawa Barat.
- Prasasti Cikajang
Seperti halnya namanya, prasasti ini ditemukan di lereng Gunung Cikuray sebelah barat daya. Tepatnya di sebuah perkebunan teh di wilayah Cikajang, Garut, Jawa Barat. Prasasti Cikajang berupa batu alam yang memiliki ukuran 1,5 x 1,5 meter. Tulisan pada prasasti ini sebanyak tiga baris dan ditulis dalam aksara serta bahasa Sunda kuno.
- Prasasti Rumatak
Disebut juga Prasasti Geger Hanjuang, Prasasti Rumatak peninggalan Kerajaan Galuh ini ditemukan pada tahun 1877 di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasi penemuan tersebut termasuk ke dalam wilayah Gunung Galunggung.
Oleh sebab itu tak hanya memuat tentang sejarah Kerajaan Galuh saja, prasasti ini juga merupakan bukti nyata adanya Kerajaan Galunggung.
Prasasti Rumatak berupa batu pipih yang memiliki ukuran 85 x 62 cm2. Prasasti yang berisi tiga baris tulisan ini menggunakan aksara Kawi dengan bahasa Sunda Kuno. Kini Prasasti Rumatak disimpan di Museum Nasional Indonesia.
- Prasasti Galuh
Prasasti Galuh berupa tulisan yang dipahatkan di batu kali yang berukuran tinggi 51 cm, lebar 33 cm, dan lebar antara 4 hingga 19 cm yang berisi tiga baris tulisan dengan aksara serta bahasa Sunda Kuno. Prasasti yang diperkirakan berasal dari abad 14-15 Masehi tersebut kini disimpan di Museum Nasional.
Candi yang terletak di Kampung Pula, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut ini merupakan satu-satunya candi Hindu di Sunda. Candi ini ditemukan pertama kali tahun 1966 berdasarkan laporan Vorderman di buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan 1893. Meskipun peninggalan agama Hindu, terdapat adanya pemakaman muslim di samping candi.