Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa Laut, Maluku pada 4 Januari 1800 dan merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu. Salah satu pejuang kemerdekaan ini termasuk pejuang pemberani dan berani bertempur secara langsung melawan tentara Belanda saat usianya masih belia.
Sejak awal perjuangan, Martha selalu mengambil bagian dan hadir dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Tidak hanya mengangkat senjata saja, ia juga memberi semangat kepada kaum wanita untuk ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran.
Tidak heran jika pihak Belanda sering kewalahan menghadapi kaum wanita yang turut berjuang dalam peperangan. Meskipun saat itu Martha Christina Tiahahu masih berusia 17 tahun, dia sudah tampil berdampingan dengan ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusa Laut.
Di saat yang sama, Kapitan Pattimura sedang melakukan perlawanan dengan pihak Belanda di Saparua. Perlawanan tersebut menjalar ke wilayah sekitar termasuk di Pulau Nusa Laut.
Hal ini membuat sebagian pasukan rakyat bersamaan dengan para Raja dan Patih bergerak ke Saparua demi membantu perjuangan Kapitan Pattimura. Namun Belanda akhirnya dapat mengambil alih Benteng Beverwijk tanpa perlawanan pada tanggal 10 Oktober 1817.
Guru Soselissa merupakan sosok yang memihak Belanda dan melakukan kontak dengan sekutu dengan mengatasnamakan rakyat, menyatakan menyerah kepada pihak Belanda. Sehingga membuat Benteng Beverwijk dapat diambil alih dengan mudah.
Meskipun begitu, di Saparua pertempuran terus terjadi. Hal ini membuat persediaan perbekalan seperti peluru dan mesiu yang dimiliki pasukan rakyat semakin menipis. Akhirnya mereka memilih mundur ke Pegunungan Ulath-Ouw termasuk Martha Christina Tiahahu beserta para raja dan patih dari Nusa Laut.
Pihak Belanda tidak menyerah begitu saja. Pada tanggal 11 Oktober 1817 dengan dipimpin oleh Richemont, pasukan Belanda pergi menuju Ulath, namun usahanya sia-sia karena berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat.
Richemont dan Meyer kembali lagi ke Ulath dengan membawa 100 perajurit. Pertempuran tidak terhindari, banyak korban jiwa yang gugur dari kedua belah pihak. Bahkan Richemont gugur tertembak sedangkan Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Ouw.
Martha Christina Tiahahu dengan rambut panjang terurai serta sehelai kain berwarna merah mengikat kepalanya, memberikan semangat kepada para pasukan rakyat yang berhasil mengepung tentara sekutu yang tersisa.
Semangat yang diberikan oleh Martha Christina Tiahahu memberikan energi baru bagi pasukan rakyat Nusa Laut untuk berani menghadapi musuh. Terutama memberikan semangat bagi para perempuan dari Ulath dan Ouw yang ikut berjuang bersama kaum pria di medan pertempuran.
Bahkan pertempuran semakin memanas ketika sebuah peluru dari pasukan rakyat mengenai leher Meyer. Setelah Meyer diangkut ke dalam kapal Eversten, komando diambil alih oleh Vermeulen Kringer.
Pada tanggal 12 Oktober 1817, Vermeulen Kringer memerintahkan untuk melakukan serangan umum kepada pasukan rakyat. Pasukan rakyat justru membalas dengan begitu hebat bahkan hanya dengan menggunakan batu.
Namun Vermeulen menyadari jika pasukan rakyat telah kehabisan peluru. Akhirnya dia memerintahkan pasukannya untuk keluar dari tempat dan melakukan penyerangan dengan menggunakan sangkur yang terhunus.
Pasukan rakyat terpukul mundur masuk ke dalam hutan untuk bertahan. Tanah Ulath dan Ouw rata dengan tanah, dibakar dan dirampok dalam jumlah besar oleh tentara Belanda.
Dalam penyerangan tersebut Martha Christina Tiahahu dan ayahnya serta beberapa tokoh pejuang lainnya ditangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal tersebut dia bertemu dengan para tawanan lain termasuk Kapitan Pattimura.
Semua tahanan yang ada di dalam kapal diintrogasi oleh Buyskes dan kemudian dijatuhi hukuman. Karena pada saat itu usia Martha Christina Tiahahu masih cukup muda, dia dibebaskan dari hukuman.
Namun sayang sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu, tetap dijatuhi hukuman mati. Sebagai seorang anak tentu Martha tidak terima dengan keputusan tersebut. Dia memohon kepada Buyskes untuk membebaskan ayahnya, akan tetapi tetap tidak dipenuhi.
Pada tanggal 16 Oktober 1817, Martha Christina Tiahahu dan ayahnya dibawa ke Nusa Laut untuk ditahan di Benteng Beverwijk hingga menunggu pelaksanaan hukuman mati bagi sang ayah. Hingga waktu pelaksanaan eksekusi mati, Martha selalu mendampingi sang ayah. Dan kemudian dibawa kembali ke dalam Benteng Beverwijk untuk tinggal bersama Guru Soselissa.
Setelah ditinggal oleh sang ayah, Martha menjadi sering masuk ke dalam hutan, bahkan kesehatan fisik dan mentalnya mulai terganggu. Saat Belanda melakukan Operasi Pembersihan di tahun 1817, Martha beserta 39 orang lainnya tertangkap dibawa menggunakan kapal Eversten ke Pulau Jawa.
Rencananya Martha bersama beberapa orang lainnya akan dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Akan tetapi selama perjalanan kondisi kesehatan Martha terus memburuk, bahkan dia menolak untuk makan dan mengkonsumsi obat.
Hingga akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas dari Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu meninggal dunia. Jenazahnya disemayamkan melalui penghormatan secara militer ke Laut Banda.
Berdasarkan pada Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai pahlawan nasional. Bahkan Martha Christina Tiahahu mendapat julukan sebagai Srikandi dari Tanah Maluku.