Pattimura: Profil dan Sejarah Peperangannya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Profil Pattimura

Thomas Matulessy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kapitan Pattimura merupakan salah satu pahlawan nasional yang amat terkenal dari Maluku. Pattimura lahir di Haria, Pulau Saparua, Maluku pada tanggal 8 Juni 1783.

Menurut buku biogarafi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali diterbitkan dan ditulis oleh M. Sapija, bahwa Pattimura merupakan keturunan bangsawan yang berasal dari Nusa Insa (Pulau Seram).

Ibunya bernama Fransina Tilahoi dan ayahnya yang bernama Frans Matulessy merupakan anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy yakni putra raja Sahulau terakhir. Sahulau sendiri adalah nama orang di negeri yang berada di dalam sebuah teluk di Seram.

Seorang sejarawan bernama Prof. Mansyur Suryanegara memiliki pendapat lain dalam bukunya berjudul Api Sejarah (2009), mengatakan jika nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan.

Menurut Mansyur, Pattimura merupakan seorang bangsawan dari Karajaan Islam Sahulau yang saat itu diperintah oleh Sultan Abdurrahman, dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah.

Perang Pattimura

Sebelum bergerak melakukan perlawanan dengan Belanda, Pattimura sebelumnya pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Ketika Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda pada tahun 1816, disaat itu juga Belanda mulai menerapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah atau landrente, dan pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten).

Tidak hanya itu saja, pihak Belanda juga mengabaikan Traktat London I salah satunya pasal 11 yang berisi bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan terlebih dahulu pemindahan korps Ambon dengan Gubernur.

Di dalam perjanjian itu juga dicantumkan bahwa jika pemerintah Inggris berakhir di Maluku, maka para serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak dalam memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer.

Namun pada kenyataannya pemindahan dinas militer dipaksakan saat Belanda datang kembali di Maluku pada tahun 1817. Tentu hal tersebut ditentang oleh rakyat, hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, serta sosial masyarakat yang buruk selama 2 abad lamanya.

Akibat sikap Belanda yang semena-mena terhadap penduduk Maluku, tentu membuat kemarahan hingga akhirnya perang pecah untuk melawan Belanda pada tahun 1817.

Perang tersebut dipimpin oleh Kapitan Pattimura dengan persetujuan dari para Raja, Patih, Para Kapitan, Tetua Adat, dan rakyat Maluku. Hal ini dikarenakan Pattimura memiliki pengalaman di bidang militer serta jiwa kepimpinan dan kesatrianya yang kuat.

Sebagai Panglima sekaligus pemimpin, Pattimura berhasil mengkoordinir Raja-Raja Patih dalam upayanya melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan hingga membangun benteng-benteng pertahanan.

Bahkan perjuangannya dalam melawan Belanda dapat membuat kerajaan Ternate dan Tidore, Raja-Raja di Bali, Jawa dan Sulawesi turut bersatu. Bisa dikatakan jika perang tersebut termasuk perang berskala nasional.

Tidak heran dari pihak Belanda sendiri harus mengirim pasukannya lebih besar dan kuat dengan di bawah kepemimpinan Laksamana Buykes, yakni seorang Komisaris Jenderal dari pihak Belanda. Perang besar tidak dapat dihindari. Pattimura sendiri dibantu oleh para panglimanya seperti Philip Latumahina, Anthoni Rebhok, Melchior Kesaulya, dan Ulupaha.

Perang yang terjadi pada tanggal 16 Mei 1917 tersebut tidak hanya menghancurkan pasukan Belanda saja namun juga membawa pasukan Pattimura untuk dapat menguasai benteng Belanda Duurstede, pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw-Ullath, Seram Selatan dan jasirah Hitu di Pulau Ambon.

Perlu diketahui jika perang Pattimura dapat dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat serta bumi hangus yang dilakukan oleh Belanda. Semua pasukan Belanda yang berada di dalam benteng Duurstede telah dikalahkan termasuk Residen Van den Berg.

Setelah dikuasi selama kurang lebih 3 bulan oleh penduduk Saparua, akhirnya Belanda mengirim pasukan dengan kekuatan militer yang lebih besar dan kuat dari sebelumnya untuk merebut kembali benteng Duurstede.

Akibat kekuatan yang tidak seimbang pasukan rakyat berhasil dipukul mundur oleh Belanda. Bahkan Kapitan Pattimura berhasil ditangkap di sebuah rumah di Siri Sori bersama dengan beberapa temannya. Mereka dibawa ke Ambon dan dibujuk untuk bekerja sama dengan Belanda.

Tentu Pattimura menolak tawaran tersebut, hingga akhirnya Belanda menjatuhi hukuman gantung kepada Pattimura. Satu hari sebelum tanggal eksekusi pihak Belanda masih memberikan kesempatan untuk membujuk Pattimura, namun dia tetap menolak.

Hingga akhirnya Pattimura bersama dengan tokoh-tokoh pejuang lainnya dihukum gantung pada tanggal 16 Desember 1817. Hukuman dilaksanakan di benteng Victoria di Ambon.

Warisan Pattimura

Sosok Kapitan Pattimura telah digambarkan pada pecahan uang kertas seribu rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Pattimura dan perangnya merupakan simbol bagi Kemerdekaan Maluku.

Bahkan bagi Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, menganggap bahwa Pattimura merupakan patriot yang hebat. Kapitan Pattimura mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto pada tahun 1973 berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 87/TK.

Di kota Ambon saat ini, nama Pattimura disematkan untuk nama-nama tempat terkenal seperti Bandara Pattimura, Universitas Pattimura, jalan-jalan (di seluruh Indonesia) dan patung.

fbWhatsappTwitterLinkedIn