Daftar isi
Kerajaan Larantuka adalah kerajaan yang ada di Nusa Nila atau dalam bahasa lokal disebut dengan Pulau Naga. Sementara itu dalam bahasa Portugis dinamakan dengan Cabo de Flores. Penamaan inilah yang kemudian membuat daerah ini dinamakan dengan Pulau Flores.
Dalam buku Negarakertagama dijelaskan bahwa Galiyao disebut sebagai daerah yang menghasilkan kayu Cendana. Raja pertama dari kerajaan ini adalah Lorenzo dan wilayah kerajaan Larantuka saat itu mencapai Adonara.
Selain itu juga, Larantuka menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian tenggara. Keberadaan Portugis di larantuka semakin memperkuat agama katolik yang berkembang sehingga kerajaan ini memiliki corak kerajaan yang berbeda dari kerajaan lain yakni Kristen Katolik.
Meskipun tak banyak sumber yang menjelaskan mengenai keberadaan kerajaan ini, ada beberapa peninggalan kerajaan yang dapat membantu mengungkapkan bagaimana kondisi kerajaan larantuka pada saat itu. Adapun peninggalan kerajaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Istana Raja Larantuka
Istana raja larantuka merupakan rumah raja larantuka. Istana ini memiliki panjang 20 meter dengan lebar 15 meter dan tinggi 8 meter. Bangunan ini bukanlah bangunan yang lama melainkan sudah dilakukan upaya renovasi. Bangunan ini pertama kali dibangun oleh Raja Don Lorenso pada tahun 1887.
Raja Don Lorenso pernah memerintah kerajaan larantuka pada tahun 1887 sampai 1910. Bangunan ini pernah dilakukan dua kali renovasi. Bangunan pertama berada di dekat taman doa. Kemudian bangunan tersebut sempat dibom oleh tentara Jepang.
Pada tahun 1937, bangunan tersebut dibangun kembali di tempat yang sekarang istana ini berdiri. Kemudian pada tahun 1992, daerah tersebut sempat diguncang gempa sehingga membuat beberapa bagian istana hancur.
Alhasil, istana kembali dilakukan renovasi. Bagian atap istana semula terbuat dari genteng kemudian diganti menjadi seng. Pada bagian kayu, lantai, pintu dan juga kaca masih tetap asli seperti bangunan dulunya. Tidak terlalu terlihat perubahan yang berarti pada bangunan.
Di dalam istana terdapat 4 buah kamar tidur, ruang tengah, ruang keluarga dan ruang tamu. Pada bagian ruang tamu terdapat sofa berwarna hijau, kuris jati dan kursi yang terbuat dari rotan. Kemudian pada bagian ruang keluarga terdapat sebuah poster yakni poster permaisuri raja yang bernama Mama Dona.
Sementara itu pada bagian lantai menggunakan keramik yang berwarna buram. Terdapat pula lemari di bagian ruang keluarga. Lemari ini berisi cangkir dan piring keramik yang dulunya digunakan para raja. Pada bagian ruang keluarga terdapat pula karpet tebal yang membentang cukup panjang.
Selain itu, pada bagian depan istana juga terdapat sebuah meriam yang terpajang. Meriam tersebut berjumlah 4 buah. Di mana 2 buah meriam berukuran besar dan 2 lainnya berukuran kecil. Tak jauh dari lokasi meriam terdapat sebuah sumur tua.
Tidka jauh dari lokasi istana kerajaan Larantuka terdapat pula sebuah altar. Biasanya altar ini digunakan untuk menyimpan sesajian yang biasa digunakan dalam upacara adat. Altar ini terbuat dari meja batu yang berbentuk ceper.
Dengan panjang kurang lebih satu meter dan lebarnya 40 cm. Altar juga ditopang dengan 3 batuan yang berbentuk pipih. Altar ini dinamakan dengan nuba karena dulunya memiliki panjang yang mencapai 20 meter.
2. Ritual Kerajaan
Peninggalan kerajaan tidak hanya berupa benda atau bangunan saja melainkan juga ritual atau tradisi. Hal inilah yang terjadi pada kerajaan Larantuka. Dari dulu, kerajaan ini sangat terkenal dengan berbagai macam ritualnya. Bahkan hingga kini ritual tersebut masih tetap dipakai.
Seperti ritual yang biasa dilakukan saat meminta keselamatan. Pada waktu tertentu, penduduk desa akan mengadakan upacara persembahan hewan ternak. Dalam upacara tersebut, mereka akan meminta kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan dijaga keselamatannya.
Biasanya ketua desa akan akan meramalkan sesuatu yang dilihat dari urat nadi hewan yang akan dikorbankan. Jika kabar yang disampaikan baik, maka masyarakat akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Sementara itu jika kabar yang didapatkan buruk, mereka akan melakukan musyawarah untuk menyelesaikan secara bersama-sama.
3. Semana Santa
Semana Santa merupakan ritual perayaan pekan suci paskah yang biasanya dilakukan selama tujuh hari berturut-turut oleh umat Katolik yang ada di Larantuka, Flores Timur. Mata semana Santa berasal dari bahasa Portugis. Semana berseri pekan atau Minggu sedangkan santa sendiri berarti suci.
Secara keseluruhan, semana santa berarti pekan suci yang diartikan sebagai pekan suci yang dimulai dari Minggu Palma, Rabu pengkhianatan, Kamis putih, Jumat agung, sabtu suci hingga perayaan Minggu halleluya atau Minggu paskah.
Semana santa adalah salah satu ikon dari Flores timur dan menjadi daya tarik bagi para wisatawan hingga para peziarah yang datang. Selain membangkitkan ekonomi setempat, Semanan santa juga menjadi wujud toleransi antar umat yang beragama yang ada di Flores Timur.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, perayaan semana santa ini dimulai sejak adanya penemuan patung Tuan Ma di Pantai Larantuka pada tahun 1510. Patung tersebut diperkirakan terdampar karena kapal milik portugis karam di perairan Larantuka. Perayaan Semana Santa terjadi sebanyak tiga kali yang dinamakan dengan Hari Baedi Nagi, Hari Bae diKonga dan Hari Bardi Wureh.
Pusat ritual dari perayaan ini adalah ketika peristiwa Yesus dan Bunda Maria yang sedang dalam keadaan berkabung karena penderitaan anaknya sebelum dan saat disalib. Keberadaan semana santa tidak dapat dipisahkan dari adanya warisan Portugis. Sebab, orang katolik larantuka tetap mewarisi ritual keagamaan yang ditinggalkan bangsa Portugis.
4. Patung Tuan Ma
Tuan merupakan nama untuk sebuah patung bunda Maria. Patung ditemukan di pantai Larantuka, Flores Timur, NTT, Indonesia. Berdasarkan penelitian, Patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510. Diduga patung ini terdampar ketika kapal milik bangsa Portugis karam di perairan Larantuka.
Menurut beberapa kepercayaan yang berkembang, patung ini ditemukan ketika seorang anak laki-laki yang memiliki nama Resiona sedang mencari siput di pantai lalu ia bertemu dengan seorang anak perempuan. Resiona pun menanyakan siapa nama anak tersebut dan dari mana ia berasal.
Namun, sang anak perempuan hanya menunduk dan menuliskan tiga kata di pasir pantai. Namun kata tersebut tidak dipahami oleh Resiona. Saat perempuan tersebut mengangkat wajahnya, mukanya seketika berubah menjadi patung kayu.
Ketiga kata yang ditulis oleh anak perempuan tadi dibuatkan sebuah pagar batu agar kata tersebut tidak terhapus oleh air laut. Sementara itu, anak perempuan yang berubah menjadi patung langsung diarak keliling kampung memasuki korke, atau rumah-rumah pemujaan milik setiap suku yang ada di sana.
Atas permintaan dari kepala kampung, patung tersebut disimpan di korke. Saat ini, patung Tuan Ma dianggap sebagai benda keramat yang dihormati. Bahkan setiap perayaan panen, para penduduk akan memberikan sesaji.
Saat seorang imam atau pastor dari ordo dominikan datang ke Larantuka, ia diminta untuk membacakan tiga kata yang ditulis oleh anak perempuan tadi. Kata tersebut berhasil dibaca oleh pastor. Kata itu berarti Reinha Rosario Maria atau Maria Ratu Rosario.
Saat melihat patung dari anak perempuan tadi, pastor tersebut terharu dan mengatakan bahwa Reinha Rosari dikenal sebagai Patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan atau Mater Misericordia (Bunda Belas Kasihan).
Menurut masyarakat larantuka, patung tersebut disebut dengan nama Tuan Ma. Secara bahasa, Tuan Ma memiliki arti tuan atau mama. Sedangkan masyarakat Lamaholot menyebut patung tersebut dengan sebutan Lera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Berdasarkan cerita Raja larantuka yakni Don Andreas Martinho DVG, sekitar tahun 1510, masyarakat larantuka sudah melakukan devosi kepada setiap setiap bulan februari. Devosi ini dilakukan sebagai wujud syukur atas hasil panen dan tangkapan laut.
Devosi sendiri merupakan kegiatan di luar liturgi Gereja, praktek rohani yang termasuk ekspresi nyata dari keinginan melayani dan menyembah Tuhan melalui objek tertentu. Pada tahun 1617, misionaris Portugis Manuel de Kagas berhasil memasukkan pemahaman Katolik kepada raja Larantuka.
Ia menjelaskan bahwa Tuan Ma yang disembah itu merupakan Bunda Maria. Ia memiliki seorang anak bernama Yesus Kristus. Yesus inilah yang menebus dosa dan membawa keselamatan. Sejak saat itulah orang-orang Larantuka yakin bahwa apa yang selama ini disembah merupakan sesuatu hal yang diakui secara dunia.
Kemudian pada tahun 1650, Raja I Larantuka Ola Adobala dibaptis dan menyerahkan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Setelah itu, anaknya yakni Raja Don Gaspar I mulai melakukan pengarakan pada patung Maria keliling Larantuka.
Pada perkembangannya, Raja Don Lorenzo I bersumpah kepada Tuan Ma memberi gelar tertinggi kepadanya sebagai Raja Orang Larantuka. Oleh sebab itulah, Larantuka dinamakan dengan Kota Reinha atau Kota Ratu atau Kota Maria.
Sejarah Kerajaan Larantuka
Pada awal keberadaannya, kerajaan larantuka sempat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dari kerajaan Majapahit. Namun, seiring berjalannya waktu kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Kristen Katolik bahkan menjadi kerajaan Katolik pertama di Indonesia. Oleh sebab itulah, terjadinya hubungan yang kuat antara kerajaan larantuka dengan Portugis.
Tak banyak sumber sejarah yang membahas mengenai kerajaan ini. Mulai dari kapan berdirinya kerajaan hingga siapa pendiri kerajaan. Namun, menurut mitos yang berkembang, kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh wanita bernama Watowele dan suaminya yakni Pati Golo Arakian yang berasal dari keturunan bangsawan pulau Timor dari kerajaan Wehale. Kerajaan ini awalnya dikenal dengan nama Kerajaan Ata Jawa.
Watowele sendiri merupakan tokoh keramat yang diyakini oleh masyarakat sekitar lagi dari gunung Ilemandiri dan menjadi cikal bakal keturunan yang memerintah kerajaan Larantuka. Baru pada masa keturunan yang ketiga yakni Raja Sira Senin Paru Molang, bentuk kerajaan Larantuka berubah menjadi lebih teratur bahkan hingga akhir kerajaan ini.
Sebelum tahun 1600, para pedagang Portugis menetap di Larantuka. Mereka terlibat konflik dengan Dominikan di Solor karena mereka lebih tertarik dengan perdagangan dibandingkan dengan Kristenisasi. Pada tahun 1613, Solor dapat diduduki oleh Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka. Sehingga Larantuka menjadi sebuah stasiun internal dalam mendukung perdagangan kayu Cendana dari Timor.