Daftar isi
Ahmad Soebardjo merupakan menteri luar negeri RI yang pertama setelah Indonesia merdeka. Achmad Soebardjo termasuk tokoh yang berpengaruh dan berperan dalam kemerdekaan. Saat duduk di bangku sekolah, ia merupakan sosok yang pintar dan gemar membaca buku yang berbahasa Belanda. Ketekunannya inilah yang kemudian membawanya menjadi tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Achmad Soebardjo kerap menjadi pembicara dalam forum-forum internasional. Dalam forum tersebut, ia dengan tegas menentang bentuk kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan terhadap Indonesia.
Achmad Soebardjo pernah mendapatkan kesempatan menghadiri acara-acara dalam skala internasional. Dalam forum tersebut, Achmad Soebardjo tidak malu untuk menyebarluaskan perjuangan Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Dengan pengalaman dan ilmu yang dimilikinya, tak heran jika nantinya ia diangkat menjadi menteri luar negeri.
Achmad Soebardjo juga memiliki peranan penting dalam proklamasi kemerdekaan. Ia bahkan menjadi sosok yang berani ketika terjadi perdebatan. Berikut ini peran Achmad Soebardjo dalam proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan memang hal yang dinantikan bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk tokoh dari golongan muda. Namun, ketika itu terjadilah ketegangan di antara para tokoh-tokoh pergerakan nasional. Tokoh tersebut terpecah menjadi dua kubu yakni tokoh golongan muda dan tua.
Golongan tua menginginkan bahwa proklamasi kemerdekaan dilaksanakan setelah menggelar rapat PPKI dan tanpa adanya pertumpahan darah. Namun, golongan muda tidak setuju akan hal tersebut. Mereka menganggap bahwa PPKI merupakan badan bentukan Jepang dan proklamasi kemerdekaan tidak perlu digelar dengan menunggu persetujuan Jepang.
Para golongan muda berpendapat bahwa Proklamasi bukanlah hadiah dari Jepang melainkan buah dari perjuangan rakyat Indonesia selama ini. Dengan perjuangan sendiri, proklamasi masih bisa digelar dan mereka yakin janji kemerdekaan yang diberikan Jepang hanyalah tipu muslihat semata. Setelah melewati perdebatan panjang ini, golongan tua tetap menunggu proklamasi setelah rapat PPKI yang digelar pada tanggal 16 Agustus 1945.
Akibat keputusan ini terjadilah peristiwa Rengasdengklok yakni penculikan Soekarno dan Hatta. Mereka mengamankan kedua tokoh ini agar tidak terpengaruh oleh Jepang. Pada tanggal 16 Agustus pagi, Soebardjo baru mendengar kabar bahwa Soekarno dan Hatta diculik.
Padahal rapat PPKI akan segera digelar guna membahas proklamasi kemerdekaan. Achmad Soebardjo kemudian mencari tahu keberadaan Soekarno dan Hatta. Ia datang menemui Wikana dan mendesak memberitahu tempat kedua tokoh itu diasingkan.
Achmad Soebardjo meyakinkan Wikana bahwa proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan. Namun, tanpa Soekarno dan Hatta, proklamasi kemerdekaan tidak dapat digelar. Oleh karena itu, ia meminta Wikana mengantarkannya menuju tempat Soekarno dan Hatta diculik. Keduanya pun berangkat menuju Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta.
Saat tiba di Rengasdengklok, Achmad Soebardjo berusaha meyakinkan bahwa proklamasi akan dilaksanakan secepatnya. Ia bahkan menjadi jaminan jika proklamasi tidak dilaksanakan segera, ia siap ditembak mati. Akibat dari jaminan itu, pada akhirnya berhasil membawa pulang Soekarno dan Hatta.
Menurut Achmad Soebardjo, upaya penculikan seharusnya tidak perlu dilakukan. Ia merasa kasihan dengan kedua tokoh nasional yang diperlakukan demikian. Terlebih ketika itu, Soekarno memiliki seorang anak yang masih balita. Oleh karena itu, Achmad Soebardjo berusaha untuk membebaskan keduanya.
Setelah pelepasan Soekarno dan Hatta, mereka kembali ke Jakarta. Mereka kemudian menggelar rapat di rumah Laksamana Maeda guna membahas persiapan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan pun dilaksankan pada esok harinya. Achmad Soebardjo menepati janjinya dan tidak jadi untuk dilakukan tembak mati.
Achmad Soebardjo memiliki nama kecil Teuku Abdul Manaf. Ayahnya merupakan keturunan dari bangsawan Aceh. Dengan keistimewaan itu, Achmad Soebardjo dapat mengenyam pendidikan yang sama dengan orang-orang Belanda.
Meskipun ayahnya bekerja sebagai pamong pegawai, Achmad Soebardjo tidak takut terlibat dalam pergerakan nasional. Ia bahkan menjadi tokoh yang ikut menyadarkan betapa pentingnya nasionalisme kepada rakyat.
Ketika peristiwa Rengasdengklok, penjagaan ketat dilakukan di sekitar lokasi. Para tokoh golongan muda sengaja dibagi menjadi dua. Ada yang bertugas menjaga di Rengasdengklok dan ada yang memberikan informasi di Jakarta.
Tokoh yang berada di Jakarta sengaja ditugaskan agar mendapatkan informasi sejauh mana penculikan tersebut berhasil mempengaruhi golongan tua. Ternyata adanya peristiwa penculikan tersebut dikatakan berhasil karena berhasil membawa Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Achmad Soebardjo memberi janji kepada golongan muda bahwa proklamasi akan dilaksanakan secepatnya. Bahkan ketika tiba di Rengasdengklok ia langsung menemui Mayor Subeno. Dalam pembicaraan yang singkat, Achmad Soebardjo meyakinkan Mayor Subeno bahwa proklamasi akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan golongan muda. Mayor Subeno meminta jaminan terkait janji yang disampaikan oleh Achmad Soebardjo.
Saat itu, Mayor Subeno meminta Achmad Soebardjo untuk melaksanakan proklamasi saat itu juga. Tentunya hal ini ditentang oleh Achmad Soebardjo karena dinilai tidak masuk akal. Proklamasi kemerdekaan perlu persiapan yang matang. Terdapat beberapa perintilan yang harus disiapkan untuk menyambut momen bersejarah.
Tak berhenti disitu, Achmad Soebardjo kembali meyakinkan Mayor Subeno bahwa proklamasi akan secepatnya dilaksanakan. Namun, bukan saat itu juga. Ia menjadikan dirinya sebagai jaminan jika Proklamasi gagal dilaksanakan.
Ia siap ditembak mati oleh Mayor Subeno. Pada akhirnya, jaminan ini berhasil meluluhkan Mayor Subeno. Achmad Soebardjo berhasil membawa Soekarno dan Hatta pulang ke Jakarta. Ia pun menepati janjinya untuk melaksanakan kemerdekaan pada esok hari.
Setelah berhasil membawa Soekarno dan Hatta, Achmad Soebardjo tiba di rumah Laksamana Maeda. Achmad Soebardjo, Soekarno, Hatta, Sayuti Melik dan Sukarni kemudian pergi ke ruang makan. Di sana mereka akan merumuskan teks proklamasi. Ketika itu, tidak ada yang membawa salinan teks proklamasi yang telah ditulis. Oleh karena itu, mereka menuliskannya kembali dari awal.
Achmad Soebardjo berusaha membantu Soekarno dengan menyampaikan pendapatnya mengenai teks proklamasi. Soekarno bertugas mencatat teks proklamasi dan dibantu oleh Achmad Soebardjo dan Hatta untuk merumuskannya. Achmad Soebardjo memberikan pendapatnya mengenai alinea pertama dalam teks proklamasi yakni “Kami rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami.”
Kemudian Mohammad Hatta menyumbangkan idenya mengenai penyerahan kekuasaan yang dimasukkan ke dalam teks proklamasi. Adapun bunyi kalimat yang dimasukkan adalah “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya, serta dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya.”
Pada akhirnya, rumusan teks proklamasi tersebut kemudian disederhanakan sehingga memiliki makna yang mendalam. Setelah selesai dibuat, mereka kembali ke ruang tengah untuk menyampaikan rumusan teks proklamasi.
Ir Soekarno bertugas untuk membacakannya dan seluruh peserta rapat yang hadir saat itu menyetujui rumusan tersebut. Setelah disepakati, teks tersebut kemudian ditandangani. Awalnya teks proklamasi akan ditandatangani oleh seluruh peserta namun tidak jadi.
Atas usul Sukarni, teks tersebut hanya ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta. Menurutnya, jika ditandatangani oleh seluruh peserta rapat tentu akan repot dan memakan waktu. Soekarno dan Hatta sudah cukup mewakili seluruh bangsa Indonesia. Dengan catatan di bawah tanda tangan diberikan kalimat atas nama bangsa Indonesia. Naskah yang telah ditandatangani kemudian diketik oleh Sayuti Melik.
Setelah tiba di Jakarta, timbul masalah baru yakni mengenai tempat yang aman untuk menyusun teks proklamasi. Ketika itu, Soekarno, Hatta dan Achmad Soebardjo telah meminta izin kepada jenderal Jepang mengenai proklamasi kemerdekaan.
Hanya saja respons dari Jenderal Jepang membuat mereka kecewa. Jepang masih bersikukuh untuk menunggu kedatangan sekutu dan jangan melakukan Proklamasi terlebih dahulu. Namun, dengan tekad yang bulat, proklamasi akan tetap dilaksanakan tanpa bantuan Jepang.
Hal inilah yang kemudian membuat pergerakan Indonesia saat itu diawasi oleh tentara Jepang. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tempat yang aman dari jangkauan pemerintah Jepang.
Proklamasi perlu dipersiapkan dengan matang dan teks proklamasi harus segera dibuat. Pada saat inilah, keberadaan Achmad Soebardjo dibutuhkan. Ia mengusulkan rumah Laksamana Maeda untuk dijadikan tempat perumusan teks proklamasi.
Laksamana Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang. Meskipun begitu, ia tetap mendukung kemerdekaan Indonesia. Berkat kedekatan Achmad Soebardjo dengan Laksamana Maeda, rumah tersebut diizinkan untuk perumusan teks proklamasi.
Kedekatan keduanya bermula dari Achmad Soebardjo pernah menjadi anggota tim peneliti Angkatan Laut Jepang di Indonesia. Ketika itu, Laksamana Maeda yang menjadi ketuanya. Oleh sebab inilah, Laksamana Maeda percaya dan mengizinkan rumahnya untuk digelar rapat persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Bahkan tidak hanya itu, berkat kedekatannya itu, setiap hal yang dilakukan oleh Achmad Soebardjo selalu mendapatkan dukungan dari Angkatan Laut Jepang. Achmad Soebardjo juga diberikan kepercayaan untuk mengelola lembaga pendidikan bagi pemuda Indonesia. Lembaga tersebut diberi nama Asrama Indonesia merdeka.
Pembacaan proklamasi dan upacara kemerdekaan bukanlah akhir dari segalanya melainkan langkah awal Indonesia sebagai negara merdeka. Meskipun telah merdeka, namun belum sepenuhnya Indonesia berdaulat. Untuk dapat menjadi negara yang berdaulat perlu adanya pengakuan dari negara lain.
Pengakuan dari negara lain sangat diperlukan jika sewaktu-waktu Indonesia kembali diserang oleh pihak sekutu. Terlebih lagi, ketika itu sekutu belum datang ke Indonesia dan berpotensi mengacaukan kemerdekaan Indonesia. Dengan adanya, pengakuannya di mata internasional turut menguatkan posisi Indonesia sebagai negara yang merdeka.
Satu hari setelah Indonesia merdeka, Achmad Soebardjo dilantik sebagai menteri luar negeri Indonesia yang pertama. Sebagai menteri luar negeri, Achmad Soebardjo memiliki tugas untuk membuat kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia Internasional.
Berkat pengalamannya memenuhi agenda penting berskala internasional, Achmad Soebardjo mampu menyakinkan kemerdekaan Indonesia itu nyata. Beberapa negara akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 22 Maret 1946. Kemudian diikuti oleh Palestina, Suriah, Arab Saudi, Lebanon dan lainnya. Rata-rata negara yang mengakui Indonesia adalah negara-negara di Timur Tengah. Dengan pengakuan ini membuat posisi Indonesia semakin kuat dan menguatkan jalinan kerja sama antar negara.
Pengakuan dari negara lain merupakan salah satu syarat pembentukan negara menurut hukum internasional. Terdapat dua unsur dalam pembentukan negara yakni unsur konstitutif dan unsur deklaratif.
Unsur konstitutif yakni wilayah, rakyat dan pemerintahan. Ketika itu, Indonesia telah memenuhi unsur konstitutif. Namun, belum memenuhi unsur deklaratif. Oleh sebab itulah, Achmad Soebardjo berusaha untuk meyakinkan negara lain mengakui kemerdekaan Indonesia.