Bank Indonesia merupakan bank sentral di Indonesia yang tentunya memiliki sejarah terdahulu. Berikut pembahasan sejarah bank Indonesia
Perintisan berdirinya bank di Indonesia bahkan telah dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Hal ini didasari kian tingginya aktifitas perdagangan yang terjadi kala itu.
Pada tahun 1746, adalah tahun dimana pertama kali bank didirikan dengan nama Bank van Courant yang memiliki tugas utama menunjang kegiatan perdagangan dengan memberi pinjaman dengan emas, perak atau barang berharga lainnya yang digunakan sebagai jaminan.
Kemudian, di tahun 1752, Bank van Courant mengalami penyempurnaan dan kemudian bernama De Bank van Courant en Bank van Leening. Target perbankan atau nasabah utama Bank van Leening pada masa itu adalah anggota VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Pada masa awal berdirinya dan masa penjajahan, mata uang yang beredar di Indonesia tentu adalah mata uang bangsa asing yang menjajah negara.
Pada masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles, mata uang Rijskdaaler kemudian digantikan dengan Real Spanyol dan kemudian menjadi Ropij Jawa. Pada tahun 1818, Bank van Leening mengalami penutupan dikarenakan krisis keuangan yang melanda.
Didasari pada desakan yang diberikan oleh para pengusaha Batavia kepada pemerintah untuk mendirikan bank untuk membantu menunjang kegiatan bisnis, maka pada tahun 1826, diterbitkanlah oktroi untuk membentuk lembaga bank.
Oktroi adalah hak-hak istimewa yang didasari pada wewenang khusus dalam jangka waktu tertentu.
Persiapan memakan waktu hampir 2 tahun, hingga pada tahun 1828 tepatnya dibulan Januari tanggal 24 ditetapkanlah Akte Pendirian De Javasche Bank.
Melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda mengenai De Javasche Bank, maka diputuskan juga posisi De Javasche Bank adalah sebagai bank sirkulasi.
Sebagai bank sirkulasi kala itu, De Javasche Bank memiliki wewenang untuk mencetak dan mengedarkan mata uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.
Di wilayah Asia sendiri, De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama. Selama masa berdirinya, oktroi De Javasche Bank telah diperpanjang sebanyak tujuh kali. Dimana setiap perpanjangan ini berlaku selama 10 tahun.
Pada tahun 1830, setelah terjadinya perang Jawa, Belanda memberlakukan sistem tanam paksa yang kemudian dituliskan dalam sebuah novel oleh Douwes Dekker. Novel ini kemudian menjadi polemik dikalangan politikus dan masyarakat di negara Belanda.
Sedangkan Belanda yang menjajah Indonesia pada kala itu menggunakan De Javasche Bank untuk menyokong kebijakan finansial dari sistem tanam paksa tersebut.
Selama rentang waktu tahun 1829 hingga 1870, De Javasche Bank melakukan ekspansi bisnis dengan cara membuka beberapa cabang bank bahkan diluar wilayah Batavia (Jakarta).
Cabang dari De Javasche Bank ialah ada di Semarang dan Surabaya yang dibuka pada tahun yang sama yaitu 1829, di Padang dan Makasar pada tahun 1864, Cirebon tahun 1866, tahun 1867 di Solo dan Pasuruan.
Sekitar tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan bahwa pihak swasta diperbolehkan menanam modal pada sektor bisnis.
Demi mendorong perekonomian rakyat pada awal abad ke-20, banyak bank-bank perkreditan mulai bermunculan. Ketika penjajahan oleh Jepang, De Javasche Bank dilikuisasi menjadi bank Jepang bernama Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).
Tugas sebagai bank sirkulasi dari De Javasche Bank diambil alih oleh NKG. Namun sistem ekonomi Indonesia telah terpecah dua. Belanda melalui NICA berusaha kembali menguasai Indonesia dan membuat De Javasche Bank untuk mencetak dan mengedarkan uang kembali.
Pemerintah Indonesia dalam upaya menegakkan kedaulatan ekonomi mendirikan bank sirkulasi yang diberi nama Bank Nasional Indonesia (BNI) yang kemudian menerbitkan Oeng Republik Indonesia (ORI).
Keberadaan BNI dengan ORI dan De Javasche Bank milik NICA membuat terjadinya perang mata uang di Indonesia pada masa itu.
Tidak lama, De Javasche Bank kembali menjadi bank sirkulasi. Hal ini diputuskan melalui Konferensi Meja Bundar yang juga menyatakan Indonesia sebagai bagian dari RIS atau Republik Indonesia Serikat.
Pada tahun 1951, pemerintah Indonesia membentuk panitia nasionalisasi De Javasche Bank untuk menasionalisasikan menjadi Bank Indonesia.
Sejak 1 juli 1953, Bank Indonesia resmi menjadi bank sentral Republik Indonesia. Bank Indonesia menjalankan tugas dan fungsi sebagai bank sirkulasi dan juga bank secara komersial.
Bank Indonesia kini memegang wewenang sebagai bank sentral yang menjalankan tugas, fungsi dan wewenang sebagai pengendali sistem moneter di Indonesia hingga saat ini.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki tugas dan tujuan utama untuk memelihara kestabilan nilai mata uang negara yaitu nilai mata uang rupiah.
Selain itu, sebagai bank sentral, Bank Indonesia menjalankan tugas untuk mencetak dan mengedarkan uang rupiah serta mengontrol peredaran uang yang beredar di masyarakat.
Bank Indonesia juga menjalankan fungsinya dengan bergandengan bersama pemerintah. Bank Indonesia memiliki wewenan sendiri dalam menjalankan operasionalnya namun tetap dengan bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkaitan.
Bank Indonesia hingga kini pun memiliki landasan hukum yang mengatur dan menjadi pondasi dalam menjalankan kegiatan perbankan. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia juga menjalankan fungsi sebagai bank dari semua bank yang mengawasi kegiatan perbankan bank-bank lainnya.
Untuk mencegah terjadinya inflasi dan menjaga sistem moneter di Indonesia, Bank Indonesia berwenang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam sistem ekonomi yang berlaku di negara.