Daftar isi
Kerajaan Buton adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Tenggara yang berdiri di akhir abad 13.
Kerajaan ini merupakan kerajaan islam di Indonesia selain kerajaan Banten, kerajaan Cirebon, kerajaan Banjar, dan kerajaan Pajang.
Pada akhir abad ke 13, diawali dengan kehadiran empat orang yang berasal dari Semenanjung Tanah melayu.
Empat orang yang disebut juga Mia Patamiana bernama Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati.
Keempat orang tersebut membangun perkampungan atau yang disebut juga dengan istilah Wolio.
Woilo ini terdiri dari empat wilayah kecil atau disebut juga Limbo, Limbo dipimpin oleh kepala wilayah atau Bonto.
Limbo tersebut terdiri dari daerah bernama Gundu-gundu, Barangkatopa, Paropa dan Baluwu.
Pada wilayah-wilayah tersebut terdapat kerajaan-kerajaan kecil yaitu Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga.
Mereka sepakat untuk bergabung dan membentuk kerajaan baru yang dinamakan Kerajaan Buton.
1. Putri Wa kaa Kaa
Pada tahun 1332 raja pertama ditetapkan melalui permusyawarahan para Bonto atau kepala wilayah.
Raja pertama Kerajaan Buton adalah seorang perempuan bernama Putri Waa Kaa Kaa, istri dari Batara seorang bangsawan keturunan Majapahit.
2. Putri bawambona
Raja ke dua bernama Raja Putri bawambona, yang juga seorang perempuan.
Kerajaan Buton mengalami dua fase kepemimpinan, fase pertama adalah pra Islam dan fase ke dua Islam telah menjadi agama kerajaan.
Islam mulai masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke 16.
3. Raja Bataraguru
Raja Bataraguru merupakan raja ketiga dari kerajaan Buton. Ia adalah bentuk wujud dari Dewa Siwa yang mengatur berbagai ilmu.
Ia memiliki berbagai nama yaitu Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.
4. Raja Mulae
Pada masa kepemimpinan raja Mulae, terjadi sebuah penyerangan oleh Labolontio.
Pada saat itu raja Mulae membuat sayembara untuk membantunya dalam mengalahkan Labolontio.
Hingga akhirnya Labolontio dipanggil pulang oleh kerajaan Muna karena merasa terancam.
5. Raja Murhum
Raja Murhum merupakan raja ke-5 dari kerajaan Buton. Pada masa kepemimpinannya ia mengganti sistem kerajaan dengan kesultanan.
Dan ia dinobatkan sebagai Sultan Buton I, dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatl Khamis.
Setelah Islam menjadi agama kerajaan maka Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton.
Kesultanan Buton memiliki Sultan atau pemimpin yang meneruskan kepemimpinannya dari garis keturunan.
Sultan adalah pemimpin tertinggi di pemerintahan. Ada dua golongan yang memegang kendali pemerintahan golongan Kaomu dan golongan Walaka.
Sultan haruslah berasal dari golongan Kaomu. Berikut diantaranya:
Kesultanan Buton adalah Kesultanan yang memiliki masa pemerintahan cukup panjang. Sejak akhir abad ke 13 hingga abad ke 19.
Kesultanan Buton dapat bertahan hingga masa pemerintahan orde lama.
Kesultanan Buton memiliki struktur monarki yang kuat dan sistem pemerintahan yang teratur sejak awal berdirinya.
Adanya pembagian wilayah-wilayah pada awal masa berdirinya Kerajaan Buton kemudian dilanjutkan saat masa Kesultanan.
Dengan sistem desentralisasi yang membagi 72 wilayah kecil atau disebut juga Kadie. Hal ini mempermudah pengaturan sistem pemerintahan.
Selain itu Kesultanan Buton juga memiliki struktur pemerintahan yang teratur.
Pemerintahan tertinggi oleh Sultan yang dibantu oleh Bontona (menteri), Menteri besar, Bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris Sultan.
Selain itu ada golongan Walaka, golongan ini sama halnya dengan dewan legislatif bertugas mengawasi jalannya pemerintahan oleh Sultan.
Kesultanan Buton memiliki pertahanan yang kuat, meskipun beberapa kali mendapat serangan dari kerajaan Gowa.
Pada tahun 1634 pada masa pemerintahan Sultan La Buke dibangunlah benteng yang dibangun di perbukitan dan berjarak 3km dari pantai.
Benteng ini melindungi area seluas 401.900 meter persegi yaitu pemukiman rakyat Buton.
Belanda maupun Portugis tidak berani mengganggu Kesultanan Buton, meskipun letaknya menjadi pelabuhan perdagangan rempah-rempah.
Perdagangan ini menjadi pemasukan dan penghidupan Kesultanan Buton.
Ada sebuah kisah tentang keberanian Sultan Buton yang ke 20 yaitu Sultan Himayatuddin.
Ia berani memutuskan perjanjian dengan VOC atau Belanda, meskipun sebenarnya perjanjian itu menguntungkan bagi Buton.
Karena VOC menjanjikan keamanan wilayah Buton dari serangan kerajaan Gowa dan kerajaan Ternate.
Kesultanan membiarkan perompak eropa menjarah kapal VOC yang sedang berlayar di wilayah Buton.
Dengan sistem pemerintahan yang teratur, kegiatan ekonomi dan peradaban Islam serta hukum yang berlaku di masyarakatnya Kesultanan ini mampu bertahan lama.
Pada awal tahun 1950 di bulan Februari, pasca kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan Malino di Sulawesi Selatan.
Pertemuan mengundang seluruh raja Sulawesi yaitu Raja Bone dan Gubernur Adeling dari makasar telah bergabung dengan Republik Indonesia.
Presiden Soekarno meminta Kesultanan Buton yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhamad Falihi untuk bergabung dengan Republik Indonesia.
Sultan Muhamad Falihi adalah Sultan ke 38 dan terakhir yang menutup masa Kesultanan Buton.
Pada tahun 1952 wilayah kesultanan Buton menjadi bagian provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara dan menjadi dua kabupaten.
Benteng ini terletak di kota Bau-bau. Benteng sepanjang sekitar 2,7 kilometer yang mengelilingi pusat kekuasaan Kesultanan Buton.
Benteng ini dibangun pada tahun 1634. Benteng Wolio masih terpelihara dengan baik.
Ini merupakan satu-satunya benteng yang mengelilingi satu kelurahan. Di dalamnya ada perumahan penduduk.
Tiang ini digunakan untuk mengibarkan berndera Kerajaan Buton yang bernama Bendera Longa-longa.
Masjid Kesultanan Buton dibangun pada tahun 1712 oleh Sultan Sakiudin Darul Alam.
Naskah-naskah peninggalan masa kesultanan Buton antara lain berisi tentang hukum, silsilah dan sejarah kerajaan.
Naskah-naskah yang berisi upacara dan adat juga masih dirawat dengan baik.
Peradaban Kesultanan Buton juga menyisakan naskah berupa Bahasa dan hikayat yang ditulis dalam Bahasa arab, Buri Wolio dan Jawi.
Peradaban Buton dan kejayaannya juga diceritakan di dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca.