Tidak banyak yang tahu jika dahulu Korea Utara dan Korea Selatan adalah sebuah negara yang satu. Berpisahnya negara Korea Utara dan Korea Selatan bukan tanpa sebab. Bahkan hingga kini, kedua negara tersebut masih terlibat konflik yang bahkan telah terjadi selama puluhan tahun.
Konflik tersebut menyebabkan timbulnya perang antara dua bagian wilayah tersebut. Lalu bagaimana sejarah perang Korea dimulai?
Menurut sejarah, Perang Korea dimulai sejak masa kedudukan negara Jepang di Korea pada 1910 – 1945, tepatnya ketika Perang Dunia II akan berakhir. Saat itu Jepang mengalami kekalahan melawan sekutunya, sehingga membuat Semenanjung Korea menjadi wilayah yang diperebutkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Perebutan antara dua negara ini juga berdampak pada kondisi Semenanjung Korea pada saat itu. Hal ini membuat Semenanjung Korea terbagi menjadi dua kubu, yakni Korea Utara yang didukung oleh Uni Soviet dengan pemimpinnya Kim Il Sung, dan Korea Selatan yang dipimpin oleh Syngman Rhee mendapat dukungan dari Amerika Serikat.
Pada tahun 1948, akhirnya Semenanjung Korea terpisah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan menggunakan garis paralel ke-38. Keputusan tersebut berdasarkan pada sidang Umum PBB pada Desember 1948 yang menyatakan jika Korea Selatan merupakan pemerintahan yang diakui secara sah di Semenanjung Korea.
Perang Korea akhirnya pecah pada 25 Juni 1950. Saat itu, sekitar 75.000 tentara Korea Utara mencoba melintasi garis paralel ke-38 yang merupakan batas antara Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara yang mendapat dukungan dari Uni Soviet) dan Republik Korea (Korea Selatan) yang lebih condong ke blok Barat.
Serangan yang dilakukan oleh Korea Utara tersebut mendapat kecaman dari Dewan Keamanan PBB. Hingga pada 27 Juni 1950, Presiden Truman memberi perintah kepada angkatan udara dan laut Amerika Serikat untuk membantu Korea Selatan melawan Korea Utara.
Di saat yang sama Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 83 yang merekomendasikan negara anggota untuk memberikan bantuan militer kepada Republik Korea. Ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet justru memberikan tuduhan kepada Amerika bahwa mereka telah menilai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan.
Pihak Uni Soviet tentu menentang legitimasi perang dengan beberapa alasan.
Pihak Amerika Serikat sadar jika perebutan batas wilayah antara Korea Utara dan Korea Selatan ini bukan konflik dua wilayah, melainkan langkah pertama Uni Soviet dalam melakukan kampanye komunis untuk mengambil alih dunia.
Oleh karena itu, ketika tentara Korea Utara bergerak ke arah selatan, Amerika Serikat juga mempersiapkan pasukannya untuk berperang membantu Korea Selatan dengan tujuan melawan komunisme atau blok timur.
Pertempuran demi pertempuran terus terjadi. Bahkan bukan hanya melibatkan Amerika dan Uni Soviet saja, namun juga tentara Tiongkok. Bahkan saat akhir bulan November 1950, tentara Tiongkok berhasil memukul mundur pasukan komando PBB dari kawasan timur laut Korea Utara hingga melewati perbatasan paralel ke-38.
Kerja sama yang dilakukan antara tentara Tiongkok dan Korea Utara di bulan Januari 1951, melakukan penyerangan yang dikenal dengan sebutan Penyerangan Musim Dingin Tiongkok, dengan menggunakan taktik serangan malam, yakni secara diam-diam mengepung tentara PBB lalu menyerangnya secara tiba-tiba.
Penyerangan tersebut juga didukung dengan bunyi-bunyian dari gong dan terompet yang membuat tentara PBB mengalami disorientasi mental.
Akibat serangan tersebut, tentara Tiongkok dan Korea Utara berhasil menguasai Seoul pada 4 Januari 1951. Serangan demi serang terus dilakukan di tahun 1951 hingga 1953. Sepanjang tahun-tahun tersebut sudah banyak dilakukan perundingan dan negosiasi namun tetap saja mengalami kebuntuan.
Di tahun 1952, Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower terpilih sebagai presiden Amerika Serikat baru dan di bulan November 1952 memutuskan untuk pergi ke Korea demi mempelajari hal-hal yang dapat mengakhiri Perang Korea.
Sampai akhirnya pada 27 Juli 1953, sebuah proposal gencatan senjata dari India telah disetujui oleh Korea Utara, Tiongkok, dan tentara PBB. Ketiganya sepakat melakukan gencatan senjata dengan batas paralel ke-38. Proposal itu juga ditulis bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan sebuah Zona Demiliterisasi Korea.
Proposal gencatan senjata tersebut merupakan tanda jika perang telah berakhir. Akan tetapi, Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee menolak untuk melakukan penandatanganan namun tetap berjanji untuk menghormati kesepakatan gencatan senjata. Hal ini disebabkan karena Republik Korea dianggap tidak berpartisipasi dalam perjanjian tersebut.
Setelah perang, tentara PBB menguburkan pasukannya yang tewas akibat perang di pemakaman sementara, Hungnam dengan melakukan sebuah operasi bernama Operasi Glory, yakni dari Juli-November 1954.
Dari masing-masing pihak saling bertukar mayat pasukannya. Sebanyak 4.167 mayat berasal dari angkatan darat dan Korps Marinir AS, ditukar dengan 13.528 mayat tentara Tiongkok dan Korea Utara. Sedangkan sebanyak 416 prajurit tak dikenal dimakamkan di Punchbowl Cemetery, Hawaii.