Sejarah Perfilman Indonesia Terlengkap

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam dunia perfilman Indonesia, terdapat sejarah yang panjang hingga akhirnya berkembang seperti sekarang ini. Pada mulanya, proyeksi film di Indonesia muncul ketika zaman kolonial yang hanya dapat disaksikan oleh orang yang berasal dari Eropa dan Amerika saja.

Selain itu, dahulu sebagian besar film merupakan film dokementer yang menceritakan kehidupan warga pribumi beserta dengan keindahan alamnya. Hingga tahun 1980an, perfilman Indonesia mengalami masa kejayaan dan film- film Indonesia banyak ditayangkan di bioskop, di antaranya Catatan si Boy, Blok M, dan beberapa film lain.

Definisi dari film Indonesia itu sendiri dirangkum oleh Badan Perfilman Indonesia sebagai kumpulan berbagai film yang diciptakan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Indonesia secara keseluruhan sebagai kekayaan intelektual yang dimiliki Warga Negara Indonesia dalam pengawasan Badan Hukum Indonesia.

Setiap tahun ke tahun, biasanya diadakan Festival Film Indonesia yang ditujukan untuk memberikan penghargaan pada insan film yang ada di Indonesia. Berikut sejarah perfilman Indonesia dari periode ke periode yang perlu kita pelajari.

Periode 1900 – 1942

Pada tanggal 5 Desember 1900, didirikan bioskop pertama kali di Indonesia yang terletak di Tanah Abang, Batavia yang bernama Gambar Idoep. Pada saat awal perfilman Indonesia, bioskop tersebut hanya menayangkan film bisu.

Loetoeng Kasaroeng menjadi film bisu pertama yang diciptakan di Indonesia tahun 1926 yang disutradarai oleh Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp dan ditayangkan di Teater Elite and Majestic Bandung pada tanggal 31 Desember 1926.

Tahun 1931, Indonesia pertama kali menciptakan film bicara, namun hasilnya dianggap kurang memuaskan. Kemudian pada tahun 1934, seorang wartawan Belanda yang bernama Albert Balink mulai mempelajari film dan mengajak Wong Bersaudara untuk menciptakan sebuah film yang dengan mendatangkan tokoh dari film dokumenter Belanda yang bernama Manus Franken.

Film yang berjudul ‘Pareh’ tersebut menampilkan keindahan alam dari Hindia Belanda. Namun, rupaya film tersebut memiliki daya tarik yang rendah, terutama bagi para penikmat film lokal yang sudah terbiasa melihat gambar seperti itu.

Kegigihan Balink menciptakan sebuah perusahaan film ANIF dengan bantuan Wong bersaudara bersama wartawan pribumi bernama Saeroen. Mereka memproduksi film lokal pertama yang berjudul Terang Boelan pada tahun 1934 dan mendapat sambutan yang cukup luas, terutama pada kalangan kelas bawah.

Periode 1942 – 1949

Pada era ini, Indonesia memproduksi film untuk dijadikan alat propaganda politik Jepang. Film diputar di bioskop dengan batasan hanya untuk menampilkan propaganda Jepang dan beberapa film Indonesia yang sebelumnya sudah diciptakan dan menyebabkan produksi film nasional menyusut.

Perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia menyebabkan keterbatasan ruang gerak serta kesempatan para artis beserta karyawannya dalam memproduksi film sehingga usaha swasta di bidang film mulai lenyap.

Orang – orang yang berprofesi sebagai artis mencari berbagai cara untuk dapat tetap hidup salah satunya dengan nai panggung sandiwara. Kala itu, rombongan sandiwara yang terkenal dan dianggap profesional seperti Bintang Surabaya, Pancawarna, dan Cahaya Timur di Pulau Jawa.

Periode 1950 – 1962

Hari pengambilan gambar pertama pada film Darah dan Doa yang disutradarai oleh Usmar Ismail, lebih tepatnya tanggal 30 Maret 1950 menjadi Hari Film Nasional. Pasalnya, film tersebut menjadi film lokal pertama yang memiliki ciri khas asli Indonesia.

Kemudian pada tahun 1951 Metropole diresmikan sebagai bioskop terbesar dan megah pada jamannya. Kala itu, jumlah penonton meningkat pesat. Lalu pada tahun 1955 dibentuk Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan juga Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia yang melebur jadi satu menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia.

Periode 1962 – 1965

Pada periode ini terdapat beberapa peristiwa penting terutama berkaitan dengan politik misalnya aksi pengganyangan pada beberapa film yang terindikasi menjadi agen imperialisme Amerika Serikat, pencopotan reklame, pembakaran gedung bioskop, hingga pemboikotan.

Akibat adanya peristiwa tersebut, jumlah gedung bioskop mulai menurun dari awalnya 700 bioskop pada tahun 1964 menjadi 350 bioskop pada tahun 1965.

Periode 1965 – 1970

Pada periode ini, peristiwa G30S PKI menyebabkan gejolak politik yang menjadikan perusahaan bioskop mengalami dilema akibat rusaknya peredaran film karena gerakan anti imperialisme. Belum lagi, produksi film kala itu terbilang sedikit sehingga pasokan untuk bioskop belum memadai.

Tahun 1966 pemerintah mengadakan sanering yang menimbulkan inflansi yang signifikan sehingga melumpuhkan daya beli masyarakat. Hal tersebut justru memulihkan perfilman Indonesia, terutama dengan bantuan film impor di bioskop. Pada akhirnya animo masyarakat mulai meningkat diiringi dengan meningkatnya jumlah penonton.

Periode 1970 – 1991

Pada periode ini, mulai ada kemajuan teknologi dalam pembuatan film dan dunia perbioskopan diiringi dengan persaingannya dengan televisi Indonesia (TVRI).

Tahun 1978, pengusaha Indonesia bernama Sudwikatmono mendirikan Sinepleks Jakarta Theater, disusul dengan Studio 21 pada tahun 1987. Pembangunan bioskop besar tersebut menyebabkan monopoli dan implikasi bagi bioskop kecil yang mulai menurun. Selain itu, adapun peristiwa pembajakan video tape yang muncul kala itu.

Periode 1991 – 1998

Indonesia sempat mengalami mati suri pada periode ini dan setiap tahunnya hanya mampu memproduksi film sebanyak 2 hingga 3 buah saja. Munculnya film yang berbau dewasa menimbulkan keresahan di masyarakat.

Perkembangan televisi serta teknologi seperti DVD, VCD, dan LD menyebabkan persaingan ketat dan kematian pada industri film.

Pada peringatan kelahirannya, muncul UU No. 8 Tahun 1992 yang berisikan tentang peniadaan kewajiban izin produksi. Namun, munculnya peraturan tersebut dianggap kurang menguntungkan dan menyebabkan kesulitan produksi.

Pada masa ini, sinetron juga menjadi hiburan utama masyarakat dan meningkat pesat sehingga memperburuk industri perfilman yang ada di dalam negeri.

Periode 1998 – 2009

Krisis ekonomi dan kerusuhan yang berbau SARA serta berakhirnya Orde Baru pada 1998 akhir menyebabkan industri perfilman Indonesia hampir mati. Namun, pada tahun 1999 perfilman Indonesia dianggap bangkit kembali.

Jumlah pertumbuhan produksi film juga mulai meningkat dengan pesat, sekalipun pada kala itu film Indonesia didominasi dengan film remaja dan film horor. Hingga pada tahun 2005, Blitzmegaplex hadir di Jakarta dan Bandung membangun sebuah konsep baru.

Periode 2010 – 2019

Hampir satu dekade pertumbuhan perfilman Indonesia meningkat secara signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Tak hanya dari segi pembangunanya, melainkan juga kehadiran berabagai asosiasi yang ikut mendukung di balik layar.

Adanya Undang – Undang No. 39 Tahun 2009 memberikan dampak positif bagi perfilman Indonesia, terlebih memiliki pokok peraturan yakni pada bioskop Indonesia mengutamakan pertunjukkan film Indonesia.

Periode 2020 – Sekarang

Industri perfilman harus mengalami kelumpuhannya lagi pada tahun 2020 akibat adanya Pandemi Covid-19. Kasus yang terus berkembang menuntun pemerintah untuk memberlakukan keputusan Penegakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang berimbas pada industri perfilman.

Tak berhenti pada situ saja, kekreatifan anak negeri mampu menciptakan solusi untuk kembali menaikkan dunia perfilman ini dengan adanya tren daring, yang pada saat ini terkenal adalah Netflix.

Namun, beberapa waktu lalu bioskop kembali dibukan dengan adanya peraturan ketat mengenai protokol kesehatan mulai dari pembatasan jumlah penonton, jarak saat menonton, hingga aturan lain yang harus diikuti oleh para penonton bioskop yang hadir.

fbWhatsappTwitterLinkedIn