Daftar isi
Salah satu suku di Indonesia yang berada di pulau Kalimantan, yaitu suku Palembang. Berikut ini akan dijelaskan mengenai suku Palembang.
Suku Palembang dibagi menjadi dua kelompok, yang terdiri atas wong jeroo (keturunan bangsawan) dan wong jabo (rakyat biasa).
Suku Palembang adalah hasil dari perpecahan bangsa Arab, Cina, suku Jawa, dan kelompok suku lainnya. Pada awalnya, orang-orang Cina yang datang ke Palembang menempati sungai Musi.
Karena hal tersebut mengakibatkan perkawinan antara pribumi dan Tionghoa. Maka tidak heran suku Palembang didominasi oleh keturunan Tionghoa.
Suku Palembang banyak mendiami lereng pegunungan Bukit Barisan. Kata Palembang berasal dari kata palimbangan yang memiliki makna kegiatan mendulang emas di sungai.
Pada zaman dahulu, masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai pendulang emas di muara sungai Ongan.
Walaupun tidak langsung berbatasan dengan laut, aliran-aliran sungai mempermudah kapal para pedagang untuk masuk hingga ke kaki pegunungan.
Para pedagang dari Tiongkok dan Timur Tengah berbaur dengan masyarakat setempat sehingga menyebabkab akulturasi budaya.
Maka dari itu kota Palembang menjadi tempat akulturasi budaya Melayu, Tionghoa, dan Timur Tengah.
Dalam suku Palembang, masyarakatnya memiliki gelar di setiap namanya. Gelar tersebut berdasarkan kasta yang ada.
Gelar yang tertinggi diperuntuhkan bagi kalangan kerajaan. Gelar ini bernama Raden untuk laki-laki dan Raden Ayu untuk perempuan.
Gelar Masagus digunakan bagi laki-laki dan Masayu untuk perempuan. Selain itu, terdapat gelar Kemas untuk laki-laki, Nyimas untuk perempuan.
Gelar keturunan ulama yaitu Kiagus untuk laki-laki dan Nyayu untuk perempuan. Suku Palembang memiliki sistem patrianalis, yaitu garis keturunan mengikuti garis keturunan sang ayah.
Ciri khas lain dari masyarakat suku Palembang yaitu mereka tidak dapat menyebutkan huruf R. Masyarakat suku Palembang juga biasa untuk mengkonsumsi pempek dan beserta saos cukanya bahkan di pagi hari sekali pun.
Dengan adanya akulturasi antara masyarakat pribumi dan Tionghoa, mengakibatkan masyarakat suku Palembang memiliki kulit putih dan mata yang sipit.
Terdapat dua jenis busana adat yang digunakan oleh masyarakat suku Palembang. Busana tersebut adalah asean gede dan aesean paksangko.
Aesean memiliki arti hiasan, gede berarti kebesaran. Jadi, busana aesean gede merupakan pakaian kebesaran.
Aesean gede melambangkan keagungan, keanggunan, dan kemewahan. Aesean gede memiliki warna merah dan dilengkapi dengan benang emas.
Kelengkapan dari busana aesean gede adalah karsuhun dan kopiah cuplak (mahkota), terate (hiasan dada dan pundak), kalung tapak jajo, selendang sawit, keris, pending (ikat pinggang), badong, gelang palak ulo, gelang kecak, gelang sempuru dan gelang kanu, saputangan segitigo, serta trompah (sepatu).
Aesean paksangko untuk laki-laki terdiri dari songket lepus sulam emas, jubah dengan motif bunga emas, selempang songket, celana, serta songkok yang digunakan di kepala.
Sedangkan aesean paksangko untuk perempuan terdiri dari baju kurung merah dengan motif bintang emas,mahkota, teratai penutup dada, dan kain songket emas.
Sebagian besarkepercayaan yang dianut masyarakat suku Palembang adalah agama Islam. Terdapat pula aagama Buddha.
Selain itu msyarakatnya ada pula yang masih percaya dengan animisme, yaitu kepercayaan terhadap benda-benda.
Rumah adat suku Palembang adalah rumah Limas. Bagian rumah limas terbuat dari kayu. Untuk bagian pondasi rumah digunakan kayu unglen, yaitu kayu yang kuat dan tahan air.
Bagian kerangka rumah dibuat dengan menggunakan kayu seru. Untuk bagian jendela, dinding, pintu, dan lantai digunakan kayu tembesu.
Rumah limas dibangun menghadap ke arah timur dan barat. Rumah limas memiliki lima tingkatan dengan mengikuti filosofi kekijing.
Setiap ruangan dalam rumah limas diatur berdasarkan penghuninya, yaitu usia, jenis kelamin, bakat, pangkat, serta martabat.
Tingkat pertama disebut pagar tenggalung yang digunakan sebagai tempat menerima tamu. Tingkat kedua disebut jogan merupakan tempat yang digunakan sebagai tempat berkumpul bagi keluarga yang berjenis kelamin laki-laki.
Tingkat tiga digunakan untuk para tamu undangan khusus ketika pemilik rumah melakukan kegiatan hajat. Tingkat keempat diperbolehkan untuk datuk atau tamu yang dituakan.
Tingkat terakhir, yaitu gegajah yang memiliki ruangan paling luas dan hanya dimasuku oleh orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam keluarga.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Palembang adalah bahasa Melayu dengan dialek setempat. Untuk komunikasi sehari-sehari biasanya digunakan bahasa Palembang.
Selain itu terdapat pula bahasa lain yang digunakan seperti bahasa Komering, Rawas, Musi, Pasemah, dan Semendo.
Terdapat dua tingkatan bahasa , yaitu bahasa halus dan bahasa sehari-hari. Bahasa halus disebut dengan bebaso, dan bahasa sehari-hari disebut dengan baso.
Seni dan budaya masyarakat Palembang diantaranya dalah alat musik tradisional. Alat musiknya adalah gambus, genggong, tenun.
Selain itu ada pula tarian tradisional, yaitu tari gending sriwijaya, tari tenun songket, tari tanggai.
Makanan khas masyarakat Palembang adalah pempek yang terbuat dari ikan tenggiri dengan saos cuka pedas.