Daftar isi
Penyebaran Agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tidak lepas dari peran para Wali Songo. Berdasarkan catatan sejarah Islam di Indonesia, Wali Songo adalah tokoh-tokoh yang membuat Agama Islam dikenal dan kemudian banyak dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh Islam itu disebut Wali Songo karena terdiri dari sembilan orang atau sembilan wali. Songo atau sanga dalam Bahasa Jawa artinya sembilan.
Salah satu tokoh yang termasuk Wali Songo adalah Sunan Bonang. Di bawah ini merupakan kisah dari Sunan Bonang:
Pada abad ke-14 Masehi, Wali Songo berdakwah menyebarkan Agama Islam di Indonesia. Salah satu tokoh dari Wali Songo yaitu Sunan Bonang. Sunan Bonang lahir pada tahun 1465 di Rembang dan diberi nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Beliau merupakan anak keempat dari Ayahnya Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Ibunya Nyai Ageng Manila atau Dewi Condrowati.
Sunan Ampel merupakan tokoh Islam pada masa itu, merupakan pendiri Pesantren Ampeldenta. Jadi Sunan Bonang belajar Agama Islam langsung dari ayahnya, yang memang mempersiapkan dirinya untuk meneruskan dakwah penyebaran Agama Islam. Sedangkan Nyai Ageng manila adalah putri dari Arya Teja, Bupati Tuban.
Berikut ini silsila Sunan Bonang dari jalur Ayahnya:
Nasab lengkapnya sebagai berikut:
Sunan Bonang bin Raden Rahmat bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW.
Raden Maulana Makhdum Ibrahim lahir di Rembang pada tahun 1465 Masehi. Beliau tumbuh dan dibesarkan di kalangan keluarga ningrat yang taat beragama (agamis). Sebagai anak dari Sunan Ampel yang mendirikan dan memimpin Pesantren Ampeldenta, Raden Maulana Makhdum Ibrahim sejak kecil telah mempelajari ajaran Agama Islam sejak kecil, langsung dari ayahnya. Ayahnya memang mempersiapkan beliau untuk meneruskan syiar Islam di Nusantara.
Kecerdasan dan keuletan dalam menuntut ilmu Raden Maulana Makhdum Ibrahim telah terlihat sejak kecil. Ketika usianya telah menginjak usia remaja, beliau melanjutkan menuntut ilmu dengan berguru kepada Syekh Maulana Ishak di negeri Pasai, Aceh. Syekh Maulana Ishak adalah ayah dari Sunan Giri. Selain itu, beliau juga banyak berguru pada ulama-ulama yang lain.
Keilmuan dari Raden Maulana Makhdum Ibrahim diakui mumpuni dalam berbagai bidang. Di antaranya penguasaan fikih ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, juga ilmu bela diri silat.
Setelah berhasil menguasai berbagai keilmuan, beliau mulai berdakwah diawali dari Kediri, Jawa Timur, yang saat itu masyarakatnya beragama Hindu. Lalu pindah ke Demak, Jawa Tengah, dan menjadi imam Masjid Demak atas permintaan Sultan Demak, Raden Patah. Kemudian menetap di Lasem dan mendirikan Pesantren Watu Layar.
Keterampilannya dalam bela diri membuatnya dapat mengalahkan perampok yang Raden Sahid. Sehingga Raden Sahid bertobat dan ikut berdakwah menyebarkan Agama Islam, dan kemudian menjadi salah satu anggota Wali Songo yang terkenal bernama Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Beliau dimakamkan di Tuban. Letak makamnya berada di sebelah barat Masjid Agung Tuban.
Sama halnya dengan Wali Songo lainnya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim melakukan syiar Islam dengan memanfaatkan media seni dan budaya. Untuk menarik simpati masyarakat, beliau memainkan alat musik gamelan.
Jenis gamelan yang sering dimainkannya adalah Bonang. Bonang adalah gamelan yang berupa alat musik pukul yang bentuknya bundar dan memiliki lingkaran kecil yang menonjol di tengahnya. Apabila tonjolan kecil tersebut dipukul dengan pemukul kayu, maka akan menghasilkan bunyi nada yang merdu. Karena sering memainkan alat musik gamelan Bonang ini, maka Raden Maulana Makhdum Ibrahim kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang.
Ketika Sunan Bonang memainkan alat musik Bonang, masyarakat akan banyak berdatangan karena tertarik untuk menonton dan mendengarkan alunan tembang yang dimainkan. Dalam memainkan gamelan Bonang tersebut, Sunan Bonang menggubah sejumlah tembang tengahan Macapat. Di antara gubahannya yaitu Kidung Bonang, dan yang lainnya dengan syair-syair memperkenalkan Agama Islam. Sehingga, banyak orang pada masa itu memeluk Agama Islam dengan sukarela.
Ada versi lain, nama Sunan Bonang digunakan sebagai julukan terhadap Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Yaitu karena beliau pernah tinggal di sebuah desa yang bernama Desa Bonang. Maka dari tempat tinggalnya tersebut, beliau dijuluki Sunan Bonan.
Kiprah Sunan Bonang dalam dakwah penyebaran Agama Islam diawali dari Kediri, Jawa Timur. Beliau mendirikan mushola atau langgar di Desa Singkal yang ada di tepi Sungai Brantas. Ketika berdakwah di Kediri tersebut, dikisahkan beliau mendapatkan banyak penolakan. Akan tetapi beliau berhasil mengislamkan Adipati Kediri, Arya Wiranatapada, dan putrinya.
Setelah dari Kediri, Sunan Bonang kemudian pergi ke Demak, Jawa Tengah. Kesultanan Demak pada saat itu dipimpin oleh Raden Patah yang merupakan pendiri dan pemimpin pertamanya. Raden Patah meminta Sunan Bonang untuk menjadi imam Masjid Demak.
Kemudian Sunan Bonang menetap di Desa Bonang, Lasem, Jawa Tengah. Di desa tersebut Sunan Bonang mendirikan sebuah pesantren yang dikenal dengan sebutan Pesantren Watu Layar. Pesantren Watu Layar menjadi salah satu pesantren yang banyak dituju oleh para santri untuk menuntut ilmu dan berguru pada Sunan Bonang. Santrinya berasal dari berbagai daerah.
Pendidikan Sunan Bonang, sebagaimana telah sedikit dijelaskan di atas, pendidikan yang ditempuh Sunan Bonang diawali belajar dari ayahnya sendiri, Sunan Ampel. Di Pesantren Ampeldenta yang dipimpin ayahnya, beliau belajar bersama santri-santri yang lain. Di antara santri yang juga berguru pada Sunan Ampel, yaitu Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen.
Kemudian Sunan Bonang melakukan perjalanan ke Malaka dengan tujuan untuk ke tanah suci melakukan ibadah haji. Saat itu beliau pergi bersama Sunan Giri (Raden Paku). Dalam perjalanan tersebut Sunan Bonang dan Sunan Giri mampir di Pasai, Aceh. Yaitu di tempat Syekh Maulana Ishak, ayah dari Sunan Giri. Selama di Aceh, Sunan Bonang bersama Sunan Giri berguru kepada Syekh Maulana Ishak.
Sunan Bonang juga berguru pada banyak ulama lain. Sehingga membuatnya menguasai banyak hal dan berbagai macam keilmuan.
Dalam bidang sastra, Sunan Bonang banyak menggubah suluk atau tembang tamsil. Di antaranya Suluk Wujil yang digubah dengan pengaruh kitab Al Sidiq yang merupakan karya Abu Sa’id Al Khayr. Tembang dalam Bahasa Jawa, Tamba Ati (Tombo Ati) yang berarti penyembuh jiwa / penyembuh hati, juga merupakan gubahan Sunan Bonang yang masih populer dan sering dinyanyikan hingga sekarang.
Sunan Bonang juga menulis sebuah kitab yang isinya tentang Ilmu Tasawuf. Kitab tersebut berjudul Tanbihul Ghofilin dengan ketebalan 234 halaman. Kitab ini sangat terkenal dikalangan para santri dan banyak dikaji di pesantren-pesantren.
Kemampuannya dalam bermain gamelan Jawa juga diiringi dengan menggubah dan memberi nuansa baru pada kesenian tersebut. Saat itu, gamelan Jawa sangat kental dengan estetika Hindu dikreasikan dengan penambahan instrumen Bonang dengan gubahan bernuansa dzikir. Gubahan tersebut mendorong kecintaan pada alam malakut atau kehidupan transedental, seperti pada tembang Tombo Ati.
Sedangkan dalam pementasan pewayangan, Sunan Bonang merupakan seorang dalang yang selalu dapat membius penontonnya. Beliau menggubah lakon pewayangan dengan memasukkan unsur-unsur atau tafsir-tafsir Islam. Salah satu lakon yang digubahnya yaitu perseteruan antara Pandawa dengan Kurawa.
Sebagai seorang yang ulet dan gigih dalam menuntut ilmu, membuat Sunan Bonang menguasai berbagai keilmuan dengan luar biasa. Penguasaannya terhadap ilmu fikih ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, hingga ilmu silat dengan kesaktiannya yang menakjubkan diakui dan dikagumi banyak orang. Selain itu, beliau juga dikenal sangat pandai dalam mencari dan menemukan sumber air di wilayah-wilayah yang sulit air.
Digambarkan dalam Babad Daha-Kediri, bahwa Sunan Bonang dengan kecerdasan dan ilmu pengetahuannya mampu mengubah aliran Sungai Brantas. Dimana daerah yang tidak bersedia menerima dakwah Islam di sepanjang aliran sungai mengalami kekeringan, sementara sebagian wilayah lainnya mengalami banjir.
Tokoh yang selalu mengecam dakwah Sunan Bonang yaitu Buto Locaya, tampak tidak mampu dalam menghadapi kesaktian dan pengetahuan Sunan Bonang sepanjang perdebatannya. Begitu pula yang terjadi pada tokoh Nyai Pluncing, seorang bhairawi penerus ilmu hitam Calon Arang, dapat dikalahkan juga oleh Sunan Bonang.
Dalam ilmu kebathinan, Sunan Bonang mengembangkan ilmu atau dzikir yang berasal dari Rasulullah, Nabi Muhammad SAW. Dzikir tersebut lalu dikombinasikan dengan keseimbangan pernapasan yang kemudian disebut sebagai rahasia Alif Lam Mim yang diartikan hanya Allah SWT yang mengetahui.
Di samping itu, Sunan Bonang juga menciptakan jurus atau gerakan-gerakan fisik berdasarkan dari seni bentuk huruf Hijaiyyah (huruf Arab). Huruf Hijaiyyah berjumlah 28 diawali huruf alif dan diakhiri huruf Ya. Gerakan fisik yang diciptakan dari nama dan simbol huruf Hijaiyyah memiliki tujuan mendalam serta sarat dengan makna untuk mengajarkan murid-muridnya menghafal huruf Hijaiyah. Supaya nantinya dapat mencapai tingkat bisa membaca serta memahami isi dari kitab suci Al-Qur’an.
Ilmu atau jurus yang diciptakan oleh Sunan Bonang menekankan atau mengajak murid-muridnya untuk Sujud atau Sholat dan dzikir. Ilmu tersebut hingga saat ini masih dilestarikan oleh Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Sujud Tauhid Indonesia.