Tembang Macapat: Pengertian – Jenis dan Strukturnya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam kesusastraan bahasa Jawa, ada berbagai jenis tembang (syair) yang memiliki ciri dan struktur berbeda satu sama lain. Misalnya saja tembang dolanan, tembang klasik, tembang madya, tembang macapat, dan sebagainya.

Pada pembahasan kali ini akan diuraikan mengenai salah satu jenis tembang, yakni tembang macapat, yang meliputi pengertian, jenis-jenisnya, dan juga paugeran atau struktur untuk masing-masing jenis tembang macapat tersebut.

Pengertian Tembang Macapat

Tembang macapat atau yang disebut juga tembang cilik atau sekar alit, merupakan salah satu bentuk karya sastra jawa berupa syair atau puisi tradisional Jawa yang ditulis dengan mengikuti paugeran atau peraturan/struktur tertentu dan memiliki intonasi lagu ketika dibacakan.

Ada 11 jenis tembang macapat yang masing-masing tembang tersebut menggambarkan fase-fase yang dilalui seorang manusia selama hidupnya.

Sejarah Tembang Macapat

Ada beberapa pendapat terkait dengan sejarah munculnya tembang macapat ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Pendapat Peugeud

Menurut Paugeud tembang macapat muncul pada akhir masa kerajaan Majapahit, yakni sejak masuknya pengaruh walisongo. Pendapat ini didasarkan pada kemunculan tembang macapat di Jawa Tengah.

  • Pendapat Poerbatjaraka dan Karseno Saputra

Poerbatjaraka dan Karseno Saputra berpendapat bahwa tembang macapat muncul bersamaan dengan munculnya syair Jawa Tengahan di tengah kalangan masyarakat penikmat karya sastra sekitar tahun 1541 Masehi.

Perkiraan ini didasarkan pada tahun yang terdapat dalam Kidung Subrata dan Rasa Dadi Jalma, yakni tahun 1634 Masehi dan 1541 Masehi, dimana pada tahun-tahun tersebut lahir sastra jawa kuno seperti Jawa Tengahan dan Jawa baru seperti Kakawin, Kidung, dan juga Tembang Macapat.

  • Pendapat Zoetmulder

Zoetmulder memiliki pendapat bahwa tembang macapat muncul sesuai perkiraan tahun pada Kidung Subrata, yakni pada sekitar abad ke-17, dimana pada saat itu digunakan tiga jenis bahasa Jawa, yakni bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru.

  • Tedjohadi Sumarto

dalam Mbombong Manah, Tedjo Hadi Sumarmo (1958) menjelaskan bahwa tembang macapat mencakup 11 matrum yang diciptakan oleh Prabu Dewa Wisesa (Pramu dari Banjarmasin) di Segaluh 1191 tahun Jawa atau tahun 1279 masehi. 

  • Laginem

Leginem berpendapat bahwa tembang macapat tidak hanya ditulis oleh satu orang saja, melainkan ditulis oleh beberapa bangsawan dan wali.

Jenis Tembang Macapat

Awalnya jenis tembang macapat hanya ada 9 jenis. Namun, setelah Sultan Agung naik tahta, tembang macapat ditambah 2 tembang baru sehingga berjumlah 11 jenis tembang sebagaimana yang dikenal saat ini.

Berikut adalah jenis-jenis tembang macapat:

  1. Maskumambang. Melambangkan fase hidup manusia yang masih dalam bentuk janin dalam rahim ibunya.
  2. Mijil. Melambangkan kelahiran atau kehadiran manusia dan awal mula perjalanan hidupnya di dunia.
  3. Kinanthi. Melambangkan manusia pada masa kanak-kanak yang masih membutuhkan kanthi atau tuntunan.
  4. Sinom. Melambangkan manusia yang memasuki masa remaja dan bertumbuh menuju masa dewasa.
  5. Asmaradana. Melambangkan manusia yang tengah merasakan gejolak asmara, baik kepada sesama manusia, kepada Penciptanya, maupun kepada alam semesta.
  6. Gambuh. Melambangkan fase kehidupan dimana seseorang telah menemukan pasangan hidupnya, melaksanakan pernikahan dan berumah tangga.
  7. Dhandhanggula. melambangkan keadaan pasangan yang telah mendapatkan kebahagiaan dan meraih impiannya setelah sebelumnya melewati suka duka bersama.
  8. Durma. Melambangkan keadaan manusia yang telah diberi banyak kenikmatan dan dia mensyukurinya dengan banyak melakukan derma atau berbagi dengan orang lain.
  9. Pangkur. Melambangkan keadaan manusia yang telah memasuki masa tua, dimana ia mulai menarik diri dari urusan duniawi. Manusia telah berada pada fase mengurangi hawa nafsunya akan kenikmatan duniawi serta memperbanyak instropeksi diri.
  10.  Megatruh. Melambangkan fase manusia pada saat kematiannya yang mana berarti perjalanannya di dunia telah selesai.
  11.  Pucung/Pocung. Melambangkan manusia yang sudah tidak bernyawa dan telah dikafani sebelum ia dikuburkan.

Struktur Tembang Macapat

Penulisan tembang macapat harus mengikuti paugeran atau struktur baku yang menjadi ciri khas dari masing-masing jenis tembang macapat. Paugeran atau struktur tersebut terdiri atas:

  • Guru Gatra. Guru gatra merupakan jumlah larik atau baris dalam satu bait tembang macapat.
  • Guru Wilangan. Guru wilangan merupakan jumlah suku kata (wanda) dalam satu baris kalimat tembang macapat.
  • Guru Lagu. Guru lagu merupakan sajak atau rima akhir dalam tiap barik pada bait-bait tembang macapat.

Masing-masing jenis tembang macapat memiliki stuktur guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan yang berbeda satu sama lain, sehingga setiap jenis tembang macapat memiliki ciri khas yang bisa membedakannya dengan jenis tembang macapat yang lainnya.

Secara ringkas berikut adalah struktur dari masing-masing jenis tembang macapat:

Nama Tembang MacapatGuru Gatra/ Jumlah Baris per BaitGuru Wilangan (Jumlah Suku Kata) dan Guru Lagu (Rima/Sajak Akhir) pada Tiap Baris
Pucung412u – 6a – 8i – 12a
Maskumambang412i – 6a – 8i – 8a
Gambuh57u – 10u – 12i – 8u – 8o
Megatruh512u – 8i – 8u – 8i – 8o
Mijil610i – 6o – 10e – 10i – 6i – 6o/u
Kinanthi68u – 8i – 8a – 8i – 8a – 8i
Pangkur78a – 11i – 8u – 7a – 8i – 5a – 7i
Asmaradana78i – 8a – 8e – 7a – 8a – 8u – 8a
Durma712a – 7i – 6a – 7a – 8i – 5a – 7i
Sinom98a – 8i – 8a – 8i – 7i – 8u -7a – 8i – 12a
Dhandhanggula1010i – 10a – 8e – 7u – 9i – 7a – 6u – 8a – 12i – 7a
fbWhatsappTwitterLinkedIn