Daftar isi
Ilmu sosiologi tidak hanya mengkaji tentang perilaku dan interaksi manusia dalam masyarakat, tapi juga sisi konflik yang ada di dalamnya. Kehidupan sosial tidak akan pernah dapat lepas dari adanya konflik sosial, yakni berupa perbedaan pendapat, pertentangan, perselisihan, permusuhan, atau percekcokan.
Konflik tidak hanya terjadi antara teman sekolah, rekan kerja, anggota organisasi, maupun sepasang kekasih. Konflik justru rentan terjadi di dalam keluarga, entah antara pasangan suami dan istri, anak dan orang tua, menantu dan mertua, hingga sesama saudara kandung, saudara sepupu, maupun saudara jauh sekalipun.
Konflik akan tetap ada selama manusia hidup dan bersosialisasi karena ini merupakan bentuk masalah sosial yang perlu diatasi, tak terkecuali dalam keluarga. Ilmu sosiologi pun nyatanya memelajari hal ini dan teori konflik sosial sendiri telah ada dari abad ke-18 dan 19 pada waktu munculnya industrialisasi dan demokratisasi.
Teori konflik sosial yang berkembang dan meraih popularitas pada tahun 1960-an ini pun juga mencakup keluarga. Berikut ini merupakan sejumlah teori konflik dalam sosiologi keluarga yang dapat disimak.
Teori konflik dalam sosiologi keluarga yang teramati adalah bagaimana keluarga seringkali bukan dianggap sebagai tempat paling aman dan tempat untuk berlindung yang nyaman. Ada peran kekuasaan di dalam keluarga sehingga tak jarang di dalamnya terjadi perebutan kekuasaan.
Konflik dalam sebuah keluarga yang para ahli teori konflik pelajari kemungkinan mencakup penegakan kedisiplinan oleh orang tua kepada anak-anak. Adanya aturan di rumah maupun di luar rumah agar anak bisa bersikap dengan baik sebagaimana mestinya kerap kali memicu konflik.
Isu lebih serius pun ikut diamati dan dikaji, seperti halnya pemerkosaan dalam pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga (pasangan dan anak sebagai korban), inses, hingga penyerangan seksual. Teori konflik yang Blood dan Wolfe (1960) angkat adalah kekuasaan paling besar di dalam keluarga dipegang oleh laki-laki daripada perempuan.
Kekuasaan terbesar kerap kali dikaitkan dengan akses terhadap sumber daya nilai yang paling mudah; dalam hal ini adalah uang sebab mayoritas laki-laki bekerja dan berperan sebagai kepala keluarga yang menafkahi.
Coltrane (2000) berfokus pada pembagian tugas dalam pekerjaan rumah tangga. Percekcokan antara suami dan istri adalah hal yang umum terjadi, khususnya dalam hal pembagian kerja rumah tangga.
Dalam sebuah pernikahan atau kehidupan rumah tangga, tidak ada upah untuk pelaksanaan pekerjaan rumah, seperti halnya mencuci pakaian, menyapu, mengepel, menyetrika, mencuci piring, dan kegiatan lainnya.
Oleh karena ketiadaan upah atau gaji dalam hal tersebut, tidak ada yang lebih berkuasa daripada yang lain. Namun ketika salah satu tidak dapat diajak bekerja sama, seperti menolak untuk pembagian tugas pekerjaan rumah, konflik akan kemudian berpotensi muncul.
Sementara itu, bila laki-laki turut melakukan pekerjaan rumah, atau bahkan melakukan lebih banyak daripada yang biasanya dilakukan, perempuan akan merasa lebih puas dan bahagia dalam pernikahan. Pembagian tugas rumah tangga yang adil dengan penerimaan dari kedua belah pihak juga mengurangi adanya risiko konflik keluarga/rumah tangga.
Menurut Amalia (2018) suatu konflik yang dapat terjadi di dalam keluarga karena ketidakseimbangan yang terjadi antara ketahanan keluarga itu sendiri dean faktor ancaman dari luar.
Pasangan suami istri ketika sudah memiliki anak peran mereka akan semakin bertambah, yakni sebagai penjaga ketahanan keluarga dan melindungi keluarga dari ancaman luar. Ketahanan keluarga yang dimaksud tidak sekadar ketahanan sosial, tapi juga ketahanan fisik serta ketahanan psikologis.
Seorang perempuan setelah menikah memiliki berbagai peran di dalam keluarga, salah satunya mengelola rumah tangga, sementara laki-laki sebagai seorang suami harus menjadi pencari nafkah agar keperluan pokok keluarga terpenuhi secara maksimal.
Ketahanan fisik adalah tentang bagaimana kebutuhan dasar keluarga terpenuhi seluruhnya, baik itu soal tempat tinggal, pakaian, makanan dan minuman, hingga pendidikan anak serta kesehatan keluarga. Salah satu pihak saja tidak berperan dengan baik, maka konflik lebih mudah timbul.
Ketahanan psikologis merujuk pada memiliki temperamen rendah, tidak mudah marah, dan selalu memiliki konsep diri yang positif sehingga tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga (baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal).
Ketahanan psikologis adalah tentang bagaimana orang tua memiliki pengendalian diri dan emosi yang baik untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya supaya memiliki kemampuan pengelolaan emosi yang sama baik.
Sementara itu, ketahanan sosial mengarah pada penerapan komunikasi dan interaksi antara suami dan istri dan antara orang tua dengan anak. Keluarga dengan hubungan yang sehat dan harmonis biasanya memiliki komunikasi yang baik.
Hal tersebut bukan berarti anak-anak bisa berlaku sesuka hati, sebab orang tua tetap berperan menentukan aturan serta norma di dalam rumah maupun di luar rumah. Ketahanan sosial juga merupakan sebuah fungsi yang perlu dijaga untuk sebuah keluarga bisa menghadapi berbagai masalah yang terjadi.
Menurut Amran Hassan dan Fatimah Yusooff (2014) konflik yang mudah terjadi ketika terdapat ketidakstabilan dalam lingkungan keluarga. Ketidakstabilan ini berkaitan dengan peran suami maupun istri sebagai orang tua yang baik namun kurang terlibat.
Amran Hassan dan Fatimah Yusooff meyakini bahwa baik ayah maupun ibu keduanya bertanggung jawan atas pembentukan diri mereka sendiri yang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Anak-anak tumbuh kembang dengan sebagian besar waktunya di lingkungan rumah bersama dengan keluarga.
Oleh karena itu, pembentukan karakter, perilaku, hingga kondisi psikologis anak sadar atau tidak sadar akan banyak dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan keluarga. Seorang suami memiliki tugas untuk menafkahi keluarga, namun sebagai sosok ayah, tugas utama tidak hanya sekadar pencari materi.
Sosok ayah diperlukan dalam sebuah keluarga untuk memberikan kasih sayang secara optimal bagi anak-anaknya. Pemberian waktu dan perhatian yang cukup akan sangat berarti untuk anak-anak, terutama bermanfaat bagi perkembangan psikologis serta kehidupan sosial mereka.
Seorang istri sekaligus sebagai sosok ibu memang umumnya bertugas mengelola rumah tangga dan mengurus kebutuhan dasar anak-anak, sekalipun sang istri adalah wanita karir. Namun baik sang ibu merupakan ibu rumah tangga saja ataupun ibu yang bekerja, perannya di rumah dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak secara cukup dapat berpengaruh baik bagi perkembangan anak.
Tak dapat dipungkiri, kedua belah pihak (ayah dan ibu) turut andil yang besar dalam menciptakan keluarga yang stabil dari berbagai sisi dan aspek. Ketidakstabilan di beberapa sisi saja bisa cukup mudah untuk memunculkan konflik rumah tangga yang berdampak ke seluruh anggota keluarga.
Menurut Gloria Mariska (2014) adanya komunikasi yang berat sebelah. Salah satu kasus yang diangkat sebagai contoh adalah pertukaran peran dalam keluarga, yakni ibu bekerja dan ayah di rumah mengelola rumah tangga.
Sekalipun pada zaman sekarang sudah sangat wajar, pada dasarnya tetap sosok suami dan ayah yang seharusnya mencari nafkah. Ketika sang ibu bekerja, sang ayah mengurus rumah tangga (termasuk merawat anak-anak dan menemani mereka belajar) tanpa meninggalkan peran pentingnya sebagai pengambil keputusan dalam keluarga.
Dari pihak ibu yang bekerja, biasanya setelah pulang pun akan tetap mengurus rumah tangga. Sekalipun sibuk bekerja, sang ibu biasanya tidak lupa untuk memasak dan tetap paling banyak berkomunikasi dengan anak-anaknya karena memberikan waktu untuk kedekatan jasmani maupun rohani.
Ayah maupun ibu sama-sama memberikan waktunnya bagi anak-anak mereka, namun dari segi kedalaman dan intensitas komunikasi, ibu tetap dapat memiliki hubungan lebih erat dengan anak daripada ayah. Mengedepankan koneksi secara fisik maupun emosional sangat baik bagi perkembangan anak.
Menurut Agiani, Nursetiawati, dan Muhariyati (2015) peran seseorang dalam keluarga yang berat sebelah atau terjadinya ketidakseimbangan peran. Terutama ketika seorang perempuan memiliki dua peran sekaligus, yakni pencari nafkah utama dan ibu rumah tangga sekalipun suami masih ada, hal ini dapat menimbulkan konflik.
Ibu yang telah bekerja penuh di luar dan di rumah seringkali tidak memperoleh penghargaan sama sekali. Sekalipun telah menunjukkan betapa kuatnya seorang perempuan yang menjadi ibu bekerja sekaligus ibu rumah tangga, perempuan tetap dianggap lemah sehingga cenderung tidak dihargai.
Bahkan ketika seorang perempuan memberikan yang terbaik untuk pemenuhan kebutuhan keluarga secara material sekaligus masih menjalankan perannya dalam pengelolaan rumah tangga, banyak orang (termasuk keluarga sendiri) berpikiran dan berkomentar bahwa seorang ibu tidak seharusnya bekerja karena tanggung jawabnya adalah mengurus rumah.
Konflik mudah terjadi dari hal-hal tersebut, terutama bila sang suami memiliki gengsi yang besar sehingga kemudian merasa rendah diri. Perpisahan dalam bentuk perceraian kerap menjadi solusi dari konflik dengan peran salah satu pasangan yang berat sebelah seperti ini.