Daftar isi
Biksu pertama di Indonesia yang membangkitkan kembali ajaran Buddha setelah setelah kurang lebih 500 tahun sejak era runtuhnya kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, beliau dijuluki sebagai Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita atau Pelopor Kebangkitan Agama Buddha di indonesia.
Mengenal Sosoknya
Nama asli adalah The Boan An, lahir 23 Januari 1923 di Bogor Jawa Barat, kemudian meninggal 18 April 2002 di Jakarta diusia 79 tahun. Beliau putra ketiga dari pasangan The Hong Gie dan Tan Sep Moy.
Saat usia 2 tahun ibunya meninggal dan ayahnya menikahi adik ibunya, yaitu Sep Nyie Moy. Beliau menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di HCS (Hollandsch Chineesche School), kemudian ke PHS (Print Hendrik School) selama setahun pada 1936, karena terlambat mendaftar ke HBS.
Setelah itu melanjutkan pendidikan di HBS (Hoogere Burger School) sampai tahun 1941, dan melanjutkan pendidikan di THS Bandung atau sekarang ITB namun tidak sampai lulus karena terhenti oleh kedatangan Jepang yang memberhentikan seluruh perkuliahan pada saat itu.
Tahun 1946 kuliah di Universiteit Groningen, Belanda Fakulteit Wis en Natuurkunde jurusan kimia selama empat tahun, kemudian berhenti karena ingin mempelajari dan menyebarkan ajaran Budhha. Tahun 1953 berangkat ke Burma dan ditahbis ulang menurut tradisi Theravada pada 1954.
Riwayat Hidup
- Masa Remaja
Maha Biksu Ashin Jinarakkhita juga dikenal dengan panggilan akrab Su Kong. Adapun nama Ashin Jinarakkhita adalah pemberian dari gurunya yakni Y.A. Mahasi Sayadaw saat belajar di Burma.
Ashin merupakan gelar yang diterimanya sebagai biksu yang patut dihormati secara khusus. Jinarakkhita juga nama khusus dari Y.A. Mahasi Sayadaw.
Sejak kecil beliau sudah tertarik dengan dunia spritual. Dia banyak belajar dari tokoh-tokoh agama seperti dari suhu-suhu di klenteng, haji, dan pastur. Sifat welas asihnya sudah terlihat sejak masih belia.
Saat masih duduk di sekolah dasar beliau sekolah sambil bekerja sebagai tukang tagih utang atau loper untuk seorang dokter, karena tidak mendapat uang jajan dari orang tuanya.
Walaupun hidup sederhana namun sangat senang berbagi. Dari persenan hasil jerih payahnya sebagai loper ia sering membeli makanan untuk dibagikan kepada teman-temanya.
Selain sifat welas asih beliau juga memiliki sifat keras kepala, Bhante Ashin pernah bertengkar dengan ayahnya sampai pergi dari rumah, akhirnya ayahnya mencari dan menemukanya di rumah seseorang yang memberinya tempat menginap sementara.
- Masa Remaja Menjelang Dewasa
Di usia remaja Bhante Ashin sudah tertarik dengan ilmu-ilmu ghaib dan yoga, ia sering menyampaikan manfaat-manfaat yoga kepada teman-temannya, bahwa yoga dapat menenangkan jiwa dan pikiran.
Kemudian suatau hari ia kenal dengan seorang Belanda yang bisa melihat makhluk halus bernama Reigh, dari Reigh ini Bhante Ashin belajar magnetism untuk penyembuhan dan juga okultisme (kepercayaan terhadap ilmu supranatural).
Hal ini membuat ayahnya resah mengenai pendidikan sekolahnya. Akhirnya ayahnya mengajak Bhante Ashin ke tempat kakeknya.
Kakeknya adalah seorang vegetarian, sehingga Bhante Ashin juga ikut menjadi vegetarian. Saat remaja menjelang dewasa beliau mempelajari filsafat modern dan kuno.
Seiring terhentinya di ITB beliau aktif dalam kegiatan sosial seperti memberantas buta huruf dan mengikuti kegiatan dapur umum yang didirikan untuk orang-orang yang kesulitan mendapat makanan.
Beliau mulai rajin bermeditasi dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh spiritual sehingga memperkuat minatnya dalam bidang spiritual. Saat di Belanda beliau aktif dalam organisasi Theosofi dan aktif menjadi sukarelawan.
Setelah memutuskan berhenti kuliah dan memfokuskan untuk memperdalam dan meyebarkan Buddha. Beliau kembali ke Indonesia dan sering belajar dari MahaBikkhu Y.A.
Sanghanata Aryamulya Pen Cing di klenteng Kong Hoa Sie Jakarta, hingga kemudian ditashbihkan menjadi sramanera dengan nama Ti Chen. Ketika hendak melanjutkan pendidikan ke luar negeri ayahnya meninggal.
Masa Dewasa
Usulan dari gurunya agar Bhante Ashin ke Tiongkok guna memperdalam ilmu Buddha tentang ajaran buddha tentang kehidupan terhalang karena tidak adanya hubungan diplomatik. Namun Ti Chen terus berusaha dengan menghubungi berbagai kedutaan, akhirnya mendapat respon dari kedutaan Burma.
Kemudian tahun 1953 berangkat ke Burma dan memperdalam Buddha di pusat pelatihan meditasi, Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon.
Karena kemajuannya yang pesat beliau mendapat bimbingan khusus dari Bhikkhu Nyanuttara Sayadaw, kemudian ditahbiskan oleh Bhante Mahasi Sayadaw dengan nama Ashin Jinarakkhita.
Kontribusi bagi agama Buddha di Indonesia
Kontribusi Bhante Ashin bagi agama Buddha di Indonesia, diantaranya:
- 1951menjadi salah satu pendiri Gabungan Sam Kauw Indonesia.
- 1953tepatnya 22 Mei mengadakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Borobudur.Ini adalah acara penting yang menandai kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
- 1955mulai tur Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Di setiap tempat yang ditujubeliau selalu berpesan untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan danajaran agama Buddha. Galilah yang lama, sesuaikan dengan zaman dan lingkungan.
- 1955tepatnya Juli, mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasaki Indonesia (PUUI) kemudian berganti nama Majelis BuddhayanaIndonesia pada 1979.
- 1960mendirikan Sangha Suci Indonesia yang sekarang disebut dengan Sangha AgungIndonesia, mewadahi Theravada, Mahayana, dan Tantrayana.
- 2005tepatnya 9 Agustus dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Putra Utama olehPresiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penghormatan atas jasa-jasa beliauuntuk Indonesia, penerimaan diwakilkan oleh Bhikkhu Jinadhammo di IstanaMerdeka.
Demikianlah sejarah singkat mengenai biksu pertama yang ada di Indonesia.