Daftar isi
Nama Amir Hamzah mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar kita, terutama bagi para penikmat sastra Indonesia. Beliau adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang juga merupakan pejuang dan pahlawan nasional. Amir Hamzah dikenal sebagai Raja Penyair angkatan Pujangga Baru.
Amir Hamzah lahir sebagai putra bungsu ditengah keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Binjai, Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 28 Februari 1911. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil, merupakan seorang pangeran yang menjadi wakil sultan di Langkat Hulu di Binjai yang bergelar Tengku Bendahara Paduka Raja. Sementara Ibunya adalah istri ketiga dari ayahnya yang bernama Tengku Mahjiwa.
Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Amir Hamzah lebih sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil dijuluki “Tengku Busu” ( tengku yang bungsu). Sahabat masa kecilnya yang bernama Said Hoesny, menyebutkan bahwa Amir adalah seorang anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Amir Hamzah dididik dengan prinsip-prinsip Islam yang kuat. Ia belajar agama islam seperti mengaji, tauhid, dan fikih di Masjid Azizi Tanjung Pura. Amir Hamzah pertama kali belajar menulis di Sekolah Dasar berbahasa Belanda HIS di Tanjung Pura.
Pada tahun 1924, setelah lulus dari sekolah dasar, Amir melanjutkan pendidikannya ke Kota Medan untuk memasuki MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), yaitu pendidikan menengah setingkat SMP. Amir kemudian mendapat izin dari orang tuanya untuk pergi ke Jawa, yakni ke Batavia, untuk melanjutkan sekolah MULO tingkat 2 dan 3 disana.Selama di Batavia, Amir ikut dalam organisasi sosial yang bernama Jong Sumatra.
Tahun 1927, selesai menempuh pendidikan MULO, Amir Hamzah bertolak ke Solo guna mendaftar di sekolah AMS (Aglmeene Middelbare School) dan mengambil Jurusan Sastra Timur dan Bahasa. Amir Hamzah juga mempelajari bahasa Jawa, Sansekerta, dan Bahasa Arab. Selesai di AMS, Amir Hamzah kembali lagi ke Batavia dan melanjutkan pendidikan di sekolah Hakim Tinggi.
Setelah menyelesaikan semua studinya, Amir Hamzah kemudian bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat (bagian dari Taman Siswa) Jakarta. Semasa ini dia berkenalan dengan sastrawan Indonesia lainnya, seperti Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan juga Sanusi Pane. Amir Hamzah juga ikut terlibat dalam menuangkan karya-karyanya di majalah Poedjangga Baroe. Selain itu, dia juga menulis karya sastra di dalam berbagai majalah, seperti majalan Timboel, Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1935, Amir Hamzah diminta oleh pamannya untuk pulang ke kampung halamannya. Amir Hamzah kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Langkat yang bernama Tengku Kamaliah. Amir Hamzah juga diberi gelar Tengku Pangeran Indra Putra. Amir Hamzah juga diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpura sebelum kemudian dipindah menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Tak lama berselang, ia diangkat menjadi Pangeran Langkat Hulu, menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dunia.
Selama di Solo (Surakarta), Amir Hamzah bergabung dengan gerakan nasionalis. Disana ia bertemu dengan sesama perantauan asal Sumatera untuk mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Pada tahun 1930, Amir Hamzah dipercaya untuk menjadi kepala cabang Indonesia Muda di Surakarta.
Ketika Amir Hamzah kembali ke Batavia pada tahun 1932 untuk melanjutkan sekolah Hakim Tinggi, ia pun mulai menulis dua puisi pertamanya yang berjudul “Soenji” dan “Maboek”. Kedua puisinya tersebut diterbitkan di Majalan Timboel.Masih di tahun yang sama, delapan karya lainnya juga dipublikasikan, termasuk sebuah syair yang ternama hingga saat ini berjudul “Hikayat Hang Tuah”.
Pada bulan September 1932, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, Armiyn Pane mengajak Amir untuk membantu mendirikan majalah sastra independen. Setelah melakukan berbagai persiapan selama beberapa bulan, akhirnya pada Juli 1933, edisi awal majalah Sastra yang berjudul “Poedjangga Baroe” berhasil diterbitkan.
Sepeninggal ayahnya, studi Amir Hamzah ditopang oleh Sultan Langkat dengan syarat Amir tetap menjadi siswa yang rajin serta meninggalkan gerakan kemerdekaan. Namun, pada kenyataannya Amir Hamzah justri semakin terlibat pada gerakan nasionalis yang membuatnya semakin diawasi dengan ketat oleh pemerintah kolonial. Meski demikian, Amir Hamzah terus menerbitkan karya-karyanya melalui majalah Poedjangga Baroe, termasuk diantaranya artikel tentang sastra timur dan terjemahan Bhagawad Gita.
Belanda yang khawatir akan sikap nasionalistik Amir Hamzah berhasil meyakinkan Sultan Langkat untuk memanggil kembali Amir Hamzah ke Langkat dan menikahkannya dengan putrinya. Setelah menikah dan menjadi Pangeran Langkat, Amir Hamzah lebih banyak menangani masalah administrasi dan hukum.
Amir juga tetap melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa. Demikian pula karya-karyanya tetap diterbitkan di Majalan Poedjangga Baroe.
Pada tahun 1940, Belanda yang mempersiapkan kemungkinan invasi Jepang membentuk divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen diberi tanggung jawab atas angkatan garda tersebut.
Pada awal tahun 1942, Jepang yang mulai menginvasi sehingga Amir Hamzah diutus menjadi salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Amir Hamzah kemudian tertangkap dan dijadikan tawanan perang sampai tahun 1943. Setelah dibebaskan dari tahanan, Amir Hamzah dalam posisinya sebagai pangeran, mendapat tugas untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.
Dalam dunia kesastraan Indonesia, Amir Hamzah menjadi salah seorang sastrawan yang sangat penting. Melalui tangannya, lahir puisi-puisi yang indah dan menarik dengan rangkaian kata yang khas Melayu.
Dalam bukunya Kesusastraan Indonesia (1975), Nursinah Supardo mengatakan bahwa Amir Hamzah berbeda dengan tokoh-tokoh Pujangga Baru lainnya. Alih-alih mencontoh ke Barat untuk memodernkan kesusastraan Indonesia, ia justru membongkar pustaka lama kesusastraan Melayu lama. Kuatnya basis pendidikan Islam yang didapatnya dari keluarganya, membuat ia juga menjadi seorang seorang penyair Islam seperti Aoh K. Hadimaja, Bangrum Rangkuti dan lain-lainnya.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dibentuklah pemerintahan baru termasuk di Sumatera. Pada tanggal 29 Oktober 1945. Teuku Muhammad Hasan yang kala itu diangkat menjadi gubernur Sumatera menunjuk Amir Hamzah sebagai wakil pemerintah RI di Langkat dan berkantor di Binjai.
Dalam suatu revolusi sosial yang dipimpin oleh Fraksi Komunis dan Kelompok Sosialis yang meletus di Langkat pada tanggal 7 Maret 1946, Sultan Langkat dan anggota keluarga kraton Langkat termasuk Amir Hamzah diculik. Mereka kemudian dibawa ke sebuah perkebunan di Kwala Begumit yang berjarak sekitar 10 km dari Binjai.
Sejak saat itu, Amir Hamzah tidak pernah diketahui lagi keberadaannya. Sebuah kesaksian yang diketahui di kemudian hari menyebutkan bahwa para tawanan tersebut, termasuk Amir Hamzah, dipaksa menggali lubang dan disiksa oleh para penculiknya. Pada tanggal 26 Maret 1946, Amir Hamzah tewas bersama dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah lubang yang telah digali para tahanan tersebut.
Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali berhasil diidentifikasi jenazah para anggota keluarga kraton yang terbunuh pada peristiwa revolusi dua tahun sebelumnya. Ditemukan pula disana tulang belulang Amir Hamzah. Pada November 1949, jenazah Amir Hamzah dikuburkan di kompleks Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat.
Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975.