Biografi Henk Ngantung: Masa Remaja – Karya Hingga Masa Wafatnya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info
Henk Ngantung

Bagi penggemar dunia kesenian tentu tidak asing dengan nama yang satu ini. Yap, Henk Ngantung merupakan seniman ternama di Indonesia yang pernah menjadi Gubernur Jakarta pada periode 1964 hingga 1965. Nah, untuk mengetahui siapa itu Henk Ngantung lebih lanjut, berikut sejarah hidup Henk Ngantung:

Kelahiran Henk Ngantung

Henk Ngantung atau dengan nama lengkapnya Hendrik Hermanus Joel Ngantung lahir pada Selasa, 1 Maret 1921 di Manado, Sulawesi Utara. Beliau merupakan putra dari pasangan Arnold Rori Ngantung dan Maria Magdalena Kalsun. Pada tahun 1940, beliau memutuskan untuk pergi ke Batavia (yang sekarang dikenal Jakarta) yang ketika itu masih menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Di Batavia tersebut, Henk Ngantung mulai bergiat di organisasi Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Dari organisasi tersebut juga, beliau mulai berinteraksi dengan pelukis ternama, Sudjojono.

Mulai dari situlah yang akhirnya bakatnya mulai berkembang. Beliau telah menjadi seniman atau pelukis ternama di Indonesia. Beliau juga pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Henk Ngantung merupakan orang non muslim pertama yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 1964 hingga 1965.

Beliau menikahi seorang wanita cantik yang bernama Hetty Evelyn Ngantung Mamesah atau biasa dikenal dengan Evie. Dari hasil pernikahan tersebut, mereka dikaruniai oleh 4 orang anak yang bernama Maya Ngantung, Genie Ngantung, Kamang Ngantung dan Karno Ngantung.

Masa Remaja dan Masa Dewasa Henk Ngantung

Kecintaannya dalam dunia seni telah membuat sejarah atas keberhasilannya menjadi seorang pelukis ternama mulai dari hijrahnya ke Jakarta sampai menutup usia. Empat tahun setelah kepindahannya di Batavia, Henk Ngantung membuat sebuah karya berupa gambar sketsa prempuan pribuni yang saat itu dijadikan pelayan militer Jepang. Beliau juga membuat lukisan memanah dengan Bung Karno sebagai modelnya. Dua karya tersebut telah menjadi koleksi Bung Karno.

Kemudian di tahun 1946, Henk Ngantung bersama-sama dengan seniman angkatan 45 seperti Chairil Anwar, Haruddin M.S., Mochtar Apin, Asrul Sani, Basuki Resobowo dan sebagainya telah membuat sebuah Gelanggang yang bernama Gelanggang Seniman Merdeka. Setelah itu beliau menggelar pameran di Gedung Taman Siswa Kemayoran dan Hotel Des Indes Jakarta pada tahun 1948. Kemudian beliau berkeliling ke berbagai tempat yang ada di Indonesia walaupun saat itu masih dalam situasi perang.

Beberapa tahun setelahnya yakni tahun 1955, Henk Ngantung telah tercatat sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok (Indo-China) sampai tahun 1958. Kemudian beliau diangkat sebagai anggota Dewan Nasional karena sudah menjadi salah satu seniman ternama di tanah air yang dekat dengan Bung Karno.

Di Solo, Henk Ngantung juga tercatat sebagai Sekretaris Umum Lekra yang merupakan wadah kebudayaan PKI dan beliau menjabat sebagai salah satu Ketua Lembaga Seni Rupa. Tahun 1962, tepat ketika itu Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games di mana Henk Ngantung saat itu diberi tugas untuk merancang karya berupa patung bertuliskan selamat datang di depan Hotel Indonesia lengkap dengan air mancurnya juga.  Di tahun 1960, akhirnya beliau diangkat menjadi Wakil Gubernur mendampingi Gubernur Semarno dan dilatik pada 9 Februari 1960.

Setelah itu, barulah beliau menjadi gubernur menggantikan Soemarno yang sudah naik level menjadi Menteri Dalam Negeri di tahun 1964. Akan tetapi di masa kepimpinannya tersebut, Henk Ngantung dicopot mendadak dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta pada 15 Juli 1965. Dalam buku karya Obed Bima Wicandra yang berjudul “Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernurnya PKI” tidak dijelaskan alasan pencopotan kepemimpinan gubernurnya hanya disebutkan bahwa Henk Ngantung sedang dalam masa berobat ke Austria ketika itu.

Setelah dirinya tidak menjabat sebagai gubernur, kehidupan Henk Ngantung tidak hanya tinggal dalam kemiskinan bahkan sampai harus menjual rumahnya yang ada di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa sebab beliau nyaris buta yang dikarenakan oleh serangan penyakit mata. Beliau bahkan dicap sebagai pengikut partai komunis Indonesia (PKI) yang tanpa pernah disidang, dipenjara hinga diadili sampai akhir hayatnya. Hingga akhir hanyatnya, beliau hanya tinggal di gang sempit akan tetapi lahan rumahnya terbilang cukup luas yang berada di jalan Waru, Cawang, Jakarta Timur.

Karya Henk Ngantung

Pada 17 Oktober – 31 Januari 2020, sejumlah karya-karya Henk Ngantung telah dipamerkan di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta di Kota Tua, Tamansari, Jakarta Barat. Terdapat satu ruangan khusus untuk memajang deretan karya Henk Ngantung yakni sebanyak 18 sketsa dan 2 lukisan karya beliau. Berikut beberapa karya Henk Ngantung:

  • Sketsa tentang patung Pembebasan Irian Barat yang dibangun di Lapangan Benteng dengan ukuran 53 x 75 cm yang telah dibuat pada 5 Agustus 1961.
  • Sketsa tentang tentara PETA pada tahun 1944 dan Perundingan Linggardjati pada tahun 1947.
  • Sketsa H. Agus Salim yang dibuatnya dengat tinta hitam dengan ukuran 39 x 29,5 cm pada tahun 1946.
  • Sketsa Sutan Sjahrir yang beliau beri judul Bung Ketjil dan Van Mook pada tahun 1946.
  • Sketsa Menteri Muda Penerangan AR Baswedan yang merupakan kakek dari Gubernur Jakarta sekarang yakni Anies Baswedan.
  • Lukisan Abang Becak yang berukuran 130 x 100 cm yang dibuat dengan cat minyak di atas kanvas pada tahun 1953.
  • Lukisan Penjual Ikan yang berukuran 150 x 100 cm pada tahun 1953.

Selain karya-karya di atas, terdapat pula karya fenomenal lainnya sebagai berikut:

  • Tugu Selamat Datang yang menggambarkan seorang pria dan wanita yang sedang melambaikan tangan di mana terletak di bundaran Hotel Indonesia sebagai persembahan Asian Games pada tahun 1962.
  • Lukisan Gajah Mada berukuran 124,5 x 99,5 cm yang dibuat di atas canvas dengan cat minyak pada tahun 1950.
  • Lukisan Memanah berukuran 152 x 152 cm pada tahun 1944.
  • Lukisan Gadis Toraja berukuran 125 x 90,5 cm pada tahun 1957.
  • Lukisan Dua Gadis Memakai Caping yang berukuran 150 x 95 cm pada tahun 1957.
  • Lukisan Pemandangan Laut yang berukuran 96 x 170 cm pada tahun 1958.
  • Lukisan Perahu-perahu di Pantai yang berukuran 96 x 170 cm pada tahun 1957.
  • Lukisan Pesisir berukuran 96 x 170 cm yang dibuat pada tahun 1958.
  • Lukisan Mengungsi berukuran 95 x 119 cm yang dibuat pada 1947.

Wafatnya Henk Ngantung

Di tahun 1991, kesetian beliau terhadap melukis terus belanjut walau dia divonis penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kananya buta dan mata kiri yang hanya berfungsi 30 persen. Sebelum dirinya wafat, di mana beliau masih dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha dari Ciputra memberanikan diri untuk memberikan sponsor pameran pertama sekaligus terakhir Henk.

Kemudian Henk Ngantung meninggal pada usia 70 tahun pada 12 Desember 1991 di Jakarta akibat sakit jantung. Beliau dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan dan meninggalkan istri juga anak-anaknya.

fbWhatsappTwitterLinkedIn