Biografi I Gusti Ngurah Rai, Pemimpin Puputan Margarana

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

I Gusti Ngurah Rai adalah pahlawan nasional asal Bali yang memimpin perang habis-habisan yaitu perang Puputan Margarana yang terjadi pada 20 November 1946. Pemuda kelahiran Bali 30 Januari 1917 ini merupakan seorang bangsawan yang memiliki semangat patriotisme yang tinggi.

I Gusti Ngurah Rai menjalani pendidikan sebagai calon perwira kemiliteran milik Belanda di Gianyar pada 1 Desember 1936. Rai berhasil lulus dengan pangkat letnan II.

Perjalanan Karir Militer

Setelah lulus dari sekolah militernya Rai melanjutkan pendidikannya ke Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan lanjut ke Akademi Pendidikan Arteri di Malang. 

Setelah semua pendidikannya selesai Rai bekerja sebagai pegawai di perusahaan milik Jepang yang bergerak di bidang pembelian padi rakyat (Mitsui Hussan Kaisya).

Dibandingkan bergabung dengan kemiliteran Jepang, Rai lebih memilih menghimpun para pemuda Bali untuk bergabung dengan Gerakan Anti Fasis (GAF).

Setelah Indonesia merdeka Rai bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR merupakan bentukan Jepang pada saat mereka kalah dalam perang dunia II. Awalnya TKR bernama BKR yaitu Badan Keamanan Rakyat.

Meski sudah mengumandangkan proklamasi kemerdekaan bangsa, Belanda datang kembali ke Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan. Konig mengira Rai akan tunduk pada Belanda mengingat  ia merupakan mantan prajuit KNIL. Namun ternyata di sana lah Rai berhadapan dengan orang-orang yang dahulu mendidiknya di kemiliteran.  

Beliau ditunjuk untuk mendirikan Markas Besar Perdjoeangan Oemoem Dewan Perdjoeangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) dan menjabat sebagai Komandan Resimen TKR untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara).

Perjuangan Perang

Pertikaian di Gunung Agung

Setelah dibentuk TKR berhasil menyerang pos-pos pasukan Belanda di seluruh Bali terutama di Tabanan. Salah satu pertikaian yang berhasil dimenangkan pasukan TKR adalah pertikaian di sekitar Gunung Agung.

Perlawanan di Gunung Agung terjadi pada 26 Mei 1946. Dari pertempuran-pertempuran inilah mengakibatkan hilangnya 2 pasukan induk dan gugurnya 4 prajurit dari pasukan induk.   

Pada akhirnya markas pasukan induk yang berlokasi di Munduk Malang Kab. Tabanan terendus oleh pasukan Belanda. Melihat jumlah pasukan dan persenjataannya yang kurang, I Gusti Ngurah Rai meminta bantuan ke Jogjakarta.

Pembentukan DPRI

Perginya Rai ke Jogja pada tanggal 1 Januari hingga 4 April 1946 membuat pasukan induk tercerai berai. Sepulangnya dari Jawa, Rai langsung mengadakan perundingan untuk membentuk Dewan Perjuang Rakyat Indonesia (DPRI). DPRI adalah gabungan pemuda dari TKR untuk mengusir penjajah.

Pasukan induk terdiri dari beberapa antara lain I Gusti Bagus Putu Wisnu, I Gusti Ngurah Sugianyar, I Gusti Wayan Debes, dan dua mantan serdadu Jepang, Bung Ali dan Bung Made.

Strategi yang dilakukan oleh pasukan induk adalah dengan berpindah-pindah tempat mulai dari Batannyuh, Belayu, Kuwum, dan terakhir di desa Marga.

Puputan Margarana

Pada 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk menyerang pos Belanda di Tabanan guna merampas persenjataan mereka. Penyerangan ini berjalan dengan lancar.

Keesokan harinya tersiar kabar bahwa Belanda akan menyerang desa Marga. I Gusti Ngurah Rai pun merespon dengan menyiapkan pasukan yang diberi nama pasukan Ciung Wanara.

Saat itu jumlah pasukan Ciung Wanara tidaklah banyak juga persenjataannya tidak secanggih pasukan Belanda. Jumlahnya tidak lebih dari 1.400 prajurit.

Namun Rai beserta pasukannya tidak menyerah begitu saja mereka tetap gigih akan melawan Belanda. Sebelum menyerang desa Marga, Belanda mengirim sebuah pesan untuk Rai dengan maksud untuk berunding.

Surat Belanda pun dibalas oleh Rai yang berisi:

surat I Gusti Ngurah Rai

Soerat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan djawaban sebagai berikoet:

Tentang keamanan di Bali adalah oeroesan kami. Semendjak pendaratan tentera toean, poelau mendjadi tidak aman. Boekti telah njata, tidak dapat dipoengkiri lagi.

Lihatlah, penderitaan rakjat menghebat. Mengantjam keselamatan rakjat bersama. Tambah2 kekatjauan ekonomi mendjirat leher rakjat. Keamanan terganggoe, karena toean memperkosa kehendak rakjat jang telah menjatakan kemerdekaannja.

Soal peroendingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin2 kita di Djawa. Bali boekan tempatnja peroendingan diplomatic. Dan saja boekan kompromis. Saja atas nama rakjat hanja menghendaki lenjapnja Belanda dari poelau Bali atau kami sanggoep dan berdjandji bertempoer teroes sampai tjita2 kita tertjapai.

Selama Toean tinggal di Bali, poelau Bali tetap mendjadi belanga pertoempahan darah, antara kita dan pihak toean. Sekian, harap mendjadikan makloem adanja. Sekali merdeka, tetap merdeka

Hal ini tentunya membuat Belanda marah hingga terjadilah perang habis-habisan sampai titik darah penghabisan pada 20 November 1946. Pertempuran inilah yang dikenal sebagai Puputan Margarana.

Dalam pertempuran inilah I Gusti Ngurai Rai dan pasukannya gugur sebagai kusuma bangsa.

Atas jasa dan pengorbanan yang dilakukannya itulah I Gusti Ngurah Rai diberi gelar sebagai pahlawan nasional pada 9 Agustus 1975 oleh presiden Soeharto. Untuk mengenang jasa beliau, namanya diabadikan sebagai nama bandara di Bali.

fbWhatsappTwitterLinkedIn