Daftar isi
Tan Malaka atau sering dijuluki dengan Bapak Madilog merupakan salah satu sosok hebat sekaligus misterius dalam sejarah indonesia. Beliau adalah founding fathers-nya bangsa Indonesia. Meskipun masih banyak yang belum mengenal sosok beliau, namun Tan Malaka sebetulnya memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, lho! Bahkan beliau adalah salah satu dari empat orang yang diutus oleh Presiden Soekarno untuk melanjutkan tugasnya memimpin Indonesia.
Tan Malaka atau dengan nama lengkap Sutan Ibrahim Datoek Tan Malaka ini lahir pada 2 Juni 1987 di Suliki Pandan Gadang, Sumatera Barat. Tan Malaka terlahir dari pasangan keluarga muslim yang sangat taat meskipun di tengah-tengah hiruk-pikuk ketidakadilan dari pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Ayahnya bernama Rasad Caniago sedangkan ibunya bernama Rangkayo Sinah Simabur. Mereka adalah orang yang sangat disegani di desanya karena berasal dari keluarga terpadang.
Ketika usianya 16 tahun, beliau diminta untuk menerima dua pilihan dari keluarganya yakni diberi gelar Datuk Tan Malaka atau mau dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan oleh keluarganya. akan tetapi Tan Malaka mejawab bahwa beliau ingin menerima satu saja dari dua tawaran tersebut. Akhirnya, keluarga beliau memilih untuk memberinya gelar Datuk Tan Malaka dibandingkan menjodohkannya. Sejak saat itulah Ibrahim dikenal dengan nama Tan Malaka.
Semasa kecilnya, beliau senang sekali mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Beliau memulai pendidikannya di sekolah dasar. setelah lulus pada tahun 1908, beliau didaftarkan oleh orang tuanya ke Inladsche Kweekschol Coor Onderwijerz di Bukit Tinggi yang merupakan sekolah guru negara untuk pribumi dan lulus pada tahun 1913. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Rijksk Weekschool atau Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah yang berada di Belanda atas dasar rekomendasi gurunya di sekolah guru pribumi yaitu Horensma.
Hal itu dikarenakan menurut Horensma, Tan Malaka merupakan anak yang pintar meskipun terkadang tidak patuh. Selama di sekolah, beliau menikmati pelajaran bahasa Belanda sehingga Horensma menyarankan supaya beliau menjadi seorang guru di Sekolah Belanda. Selain itu, beliau juga seorang pemain sepak bolah yang bertalenta. Di Belanda, beliau tinggal di Harlem pada tahun 1913.
Tempat belajarnya tersebut sudah membuka pemikirannya mengenai ideologi-ideologi kiri mulai dari peristiwa Revolusi Perancis, Ideologi Komunis hingga beliau mempelajari tentang ideologi Marxis dengan membaca kumpulan pemikiran dari Karl Marx. Sejak saat itu, Tan Malaka sadar terhadap kondisi bangsa dan tanah airnya yang sedang butuh perubahan cara pandang untuk bisa meraih kemerdekaan.
Namun karena cuacanya yang sangat dingin membuatnya sakit radang paru-paru. Akhirnya beliau pindah ke Busumpada pada Juni 1916. Setelah kesehatannya berangsur baik, beliau mengikuti ujian Akta Guru Kepala pada tahun 1918 namun tidak lulus begitupun tahun berikutnya. Untuk mengisi waktu luangnya, beliau akhirnya mengajar bahasa melayu di Amsterdam. Bahkan Tan Malaka juga sering diundang untuk berpidano di beberapa acara seperti Himpunan Hou en Trouw dan Konferensi Zending. Pada November 1919, beliau akhirnya lulus dan mendapatkan ijazah yang disebut dengan hulpactie.
Setelah Perang Dunia II selesai, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Beliau menjadi guru dan mengajar anak-anak buruh kontrak di Sanembah Sumatera Utara. Akan tetapi pekerjaannya menjadi guru tidak berlangsung lama karena beliau tidak tahan melihat adanay penyiksaan yang dilakukan tuan tanah kepada parah buruh. Bahkan dirinya selalu berselisih dengan para tuan tanah karena mereka selalu perbedaan warna kulit, pendidikan anak kuli kebun, tulis menulis dalam surat kabar di Deli hingga dikarenakan berhubungan baik dengan tukang kebun. Karena muak terhadap penindasan tersebut akhirnya menjadikannya ikut serta dalam pemogokan buruh.
Sampai akhir hidupnya, Tan Malaka diketahui tidak pernah menikah namun beliau mengakui bahwa pernah mengamali jatuh cinta sebanyak tiga kali yakni ketika dirinya berada di Belanda, Filipina dan Indonesia. Di Belanda, beliau diketahui pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis Belanda yang bernama Fenny Struyvenberg, yang merupakan mahasiswi kedokteran yang sering datang ke kosnya di Belanda.
Sedangkan kisah cintanya di Filipina, beliau jatuh cinta kepada seorang gadis yang bernama Carmen yang merupakan puteri bekas pemberontak di Filipina sekaligus seorang rektor di Universitas Manila. Sementara untuk di Indonesia, Tan Malaka pernah jatuh cinta dengan siswi perempuan di sekolahnya kala itu yakni Syarifah Nawawi. Alasan mengapa beliau tidak memutuskan untuk menikah yaitu karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tan Malaka adalah salah satu pahlawan nasional yang akhir hidupnya terbilang tragis. Dalam masa persembunyiannya, beliau ditangkap di Gunung Wilis, Selopanggung, Kediri pada 21 Februari 1949. Beliau ditangkap oleh Letnan Duo Sukotjo yang berasal dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya. Atas dasar perintah dari Sukotjo, beliau kemudian dieksekusi mati yag dilakukan oleh Suradi Tekebek. Beliau juga dimakamkan di Kediri.
Namun kematian dari Tan Maka ini tanpa adanya laporan ataupun pemeriksaan yang lebih lanjut. Bahkan makamnya tersebut dirahasiakan. Sejarawan Harry Poeze telah menemukan makam beliau setelah melewati serangkaian wawancara kepada para pelaku yang bersama-sama dengan Tan Malaka. Beliau menebutkan bahwa perihal eksekusi mati Tan Malaka yang dirahasiakan selama bertahun-tahun. Kemudian pada tahun 1963, Ir. Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia memberikan gelas pahlawan nasional untuknya. Meskipun demikian, makamnya baru dipindahkan secara simbolik ke Provinsi Sumatera Barat di tahun 2017.