Daftar isi
Indonesia telah mengalami krisis ekonomi yang cukup parah pada tahun 1998 silam yang mengakibatkan kemunduran jabatan presiden kala itu yakni Soeharto. Nyatanya, krisis ekonomi tersebut terjadi kembali di tahun 2008.
Dari krisis ekonomi yang terjadi selang sepuluh tahun itu membuat para ekonom memprediksi nasib ekonomi Indonesia di masa depan. Frederico Gil Sander yakni seorang Ekonom Bank Dunia asal Brasil mengaku bahwa dirinya tidak percaya pada siklus krisis ekonomi Indonesia setiap 10 tahunnya. Inilah yang kemudian diperkirakan akan menerpa Indonesia kembali di tahun 2018.
Ia juga mengatakan Indonesia telah banyak belajar dari beberapa krisis yang terjadi sebelumnya yakni pada tahun 1998 dan 2008 untuk menghadapi segala bentuk risiko. Sehingga sudah memiliki persiapan yang cukup matang terutama setelah tahun 2013.
Seperti yang kita ketahui, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 silam dikarenakan nilai tukar mata uang khususnya di negara-negara Asia yang kala itu tidak fleksibel. Selain itu, tidak terdapat sinkronisasi terhadap kurs dan capital inflow.
Terlebih lagi, setahun sebelumnya ada krisis global di Asia. Sehingga, Indonesia kala itu mengalami dampaknya di mana nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
Sedangkan pada tahun 2008, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh salah satunya adalah akumulasi dari risiko perkembangan teknologi. Selain itu, krisis ekonomi 2008 juga disebabkan oleh krisis properti (subprime mortgage crisis) di Amerika Serikat. Untuk krisis ekonomi pada tahun 2018 lebih disebabkan karena utang negara yang berlimpah.
Lima tahun sebelumnya yakni pada 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan. Ketika itu, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS hingga Rp10.732. jika dalam persen, Indonesia terdepresiasi sekitar 9,47 persen sejak awal tahun tersebut.
Tidak hanya itu, cadangan devisa Indonesia juga terkuras. Tercatat dari bulan Januari sampai Juli 2013, Indonesia mengalami penurunan cadangan devisi dari yang awalnya USD 11,8 miliar menjadi USD 92,7 miliar.
Bahkan Indonesia perlu berkaca pada krisis utang yang terjadi di beberapa negara di Eropa seperti Yunani pada tahun 2011. Sebagaimana dikatakan oleh Envy Sri Hartati selaku Direktur Institute of Development of Economics and Finance (INDEF) bahwa ada kemiripan antara ekonomi Indonesia dengan Yunani.
Pada tahun 2017, tercatat utang negara sebesar Rp7.000 triliun yang terdiri dari utang pemerintah dan utang perusahaan swasta. Utang pemerintah merupakan utang yang masuk untuk menambal minusnya anggaran negara, sementara utang swasta merupakan utang yang dilakukan oleh pihak swasta domestic ataupun BUMN.
Utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara senilai Rp3.128 triliun, utang luar negeri senilai Rp2.389 triliun dan juga utang luar negeri swasta senilai Rp2.322 triliun. Bahkan berdasarkan penelitian oleh peneliti INDEF menyebutkan sebenarnya total utang negara Indonesia sudah mencapai lebih dari Rp7.000 triliun. Ia juga menambahkan Kementerian Keuangan dalam APBN 2018 menyatakan total utang tersebut mencapai Rp4.772 triliun.
Utang tersebut menunjukkan adanya cash flow pemerintah di mana justru semakin membuat tekor pemerintah saat menambah utang. Sehingga untuk membayar bunga dan cicilan utang terus ditopang dengan utang baru.
Adapun perbedaan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2018 dan 1998 dapat dilihat dari beberapa aspek, sebagai berikut:
Jika dibandingkan dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, krisis yang terjadi di tahun 2018 sangat berbeda. Pada krisis 1998 dimulai oleh kriris mata uang Thailand yang diperburuk oleh pengelolaan utang luar negeri swasta yang kurang hati-hati. Sehingga sebagian utang itu tidak memperoleh lindung nilai.
Tidak hanya itu, adanya penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang serta utang luar negeri yang dipakai untuk pembiayaan usaha domestic juga ikut memperburuk keadaan ekonomi saat itu. hal ini berbeda dengan yang terjadi pada 2018, pengelolaan untuk utang luar negeri swatsa cenderung lebih berhati-hati.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga telah mengharuskan adanya transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar rupiah.
Dilasir dari Kompas.com, pada periode 1997 hingga 1998, kondisi nilai tukar rupiah sangat terdepresiasi. Tercatat pada September 2017, nilai tukar rupiah berada di angka Rp3.030 per dolar AS di mana mengalami depresiasi sampai 254%. Sedangkan pada September 1998, berubah menjadi Rp10.725 per dolar AS.
Sedangkan pada September 2017, nilai tukar rupiah telah mencapai pada angka Rp13.34 per dolar AS di mana hanya mengalami depresiasi sekitar 11% saja. sedangkan pada September 2018, nilai angka tersebut berubah menjadi Rp14.815 per dolar AS.
Jika kita lihat dari sisi cadangan devisa, ekonomi Indonesia juga lebih buruk pada tahun 1998 dibandingkan dengan tahun 2018. Cadangan devisa juga menjadi faktor penting terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tercatat cadangan devisa Indonesia pada tahun 1998 senilai USD23,61 milliar. Sementara pada tahun 2008, ini mulai membaik di mana mencapai USD118,3 miliar.
Adapun aspek pembeda lainnya antara ekonomi tahun 2018 dengan 1998 yaitu pada peringkat surat utang pemerintah. Jika balik ke masa 20 tahun yang lalu, surat utang pemerintah berada pada peringkat junk.
Junk ini berarti di bawah layak investasi (tidak layak investasi) dan kualitasnya pun jelek. Sedangkan pada tahun 2018, surat utang pemerintah berada di posisi BBB dengan outlook yang stabil atau layak untuk dijadikan investasi.
Selain Surat Utang Pemerintah, kita juga dapat melihat dari sisi net capital inflow secara kuartalan. Pada tahun 1998, Indonesia memiliki net capital inflow yang terjadi di kuartal II berada di angka minus USD2,470 miliar.
Hal ini berbanding jauh dengan tahun 2018. Pada tahun tersebut, net capital inflow Indonesia jauh lebih baik dengan angka USD4,015 miliar pada kuartal II.
Beralih ke aspek selanjutnya yaitu dari sisi pertumbuhan ekonominya. Pada kuartal II tahun 2018 tercatat jauh lebih baik daripada kuartal II tahun 1998. Di tahun 20 yang lalu, pertumbuhan ekonomi pada angka minus 13,34 persen daripada kuatal II tahun 1997 atau secara year on year (yoy).
Sedangkan pada kuartal II tahun 2018, pertumbuhan ekonomi mulai membaik di mana mencapai 5,27 persen. Selain itu ada pula faktor lainnya yaitu inflasi.
Pada tahun Agustus 1998, inflasi di Indonesia melonjak tinggi di mana mencapai 78,2 persen yoy. Sementara inflasi yang terjadi pada Agustus 2018, hanya sekitar 3,2 persen yoy.
Bahkan angka kemiskinan juga menjadi faktor pembeda krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 dengan tahun 2018. Pada tahun 1998, paling tidak sekitar 24,2 persen atau hampir 50 juta orang penduduk miskin. Sementara pada tahun 2018, angka kemiskinan menurun menjadi 9,82 persen atau sekitar 25,9 juta penduduk.