Perjanjian Imogiri : Pengertian, Isi, Tokoh dan Dampaknya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perjanjian Imogiri merupakan perjanjian yang menandakan berakhirnya perang Jawa yang terjadi pada tahun 1830. Perang Jawa dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pada tahun 17 Oktober 1892, panglima perang Diponegoro yakni Sentot Aslibasyah Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.

Setelah pengakuan menyerah, mereka mengadakan sebuah perjanjian sebagai syaratnya. Perjanjian tersebut dinamakan dengan perjanjian Imogiri. Perang Jawa atau yang dinamakan dengan Perang Diponegoro merupakan sebuah perang besar yang berlangsung lama yakni selama lima tahun (1825 sampai 1830).

Perang ini diadakan di Pulau Jawa sehingga dinamakan perang Jawa. Perang Jawa menjadi pertempuran terbesar yang dihadapi Belanda selama menjajah Indonesia. Pada perang ini pasukan Belanda berada di bawah komando Jenderal De Kock.

Asal Usul Perjanjian Imogiri

Pada awal abad ke-19, Yogyakarta dan Surakarta semakin memprihatinkan. Pengaruh kolonial begitu kuat sampai menggeser adat dan buaya keraton yang sudah lama mengakar di lingkungan keraton. Muncul kebiasaan barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai seperti meminum minuman keras.

Tidak hanya itu, pengaruh pemerintah kolonial yang begitu kuat, membuat rakyat diperas dan semakin menderita. Perubahan tersebut terjadi pada masa Van Der Capellen. Rakyat diwajibkan membayar berbagai macam upeti. Adapun upeti yang dibayar adalah sebagai berikut.

  • Pajak tanah
  • Pajak untuk kekurangan halaman
  • Pajak jumlah pintu
  • Pajak untuk hewan ternak
  • Pajak perpindahan nama
  • Pajak penyewaan tanah serta penerimaan jabatan.

Saat suasana di sekitar semakin kacau dan rakyat semakin menderita, Pangeran Diponegoro sebagai anak bangsawan yakni Putera dari Sultan Hamengkubuwono III, tidak tinggal diam. Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo berusaha melakukan pertentangan atas dominasi Belanda yang sangat tidak manusiawi. Hingga pada puncaknya yakni tanggal 20 Juli 1825, meletuslah perang Jawa atau Perang Diponegoro.

Perang ini berawal dari insiden pemasangan patok di tanah milik Pangeran Diponegoro hingga pertempuran antara pasukan Belanda dan pasukan Diponegoro tidak dapat terelakkan. Pertempuran ini begitu sengit bahkan Tegalreja dibumihanguskan.

Kemudian, setelah melalui pertimbangan, Pangeran Diponegoro beserta para pasukannya hijrah ke sebelah selatan yakni ke Bukit Selarong. Dari tempat inilah Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Pangeran Diponegoro mulai menyusun langkah-langkah perang. Beberapa tempat dipersiapkan sebagai markas komando cadangan.

Sebagai langkah pertama, Pangeran Diponegoro beserta pasukannya melancarkan serangan ke daerah keraton Yogyakarta. Tujuannya untuk mengisolasi pasukan Belanda dari masuknya bantuan pihak luar. Selain itu, Pangeran Diponegoro juga mengirim beberapa utusan kepada para bupati serta ulama untuk menyerukan kesiapan perang melawan Belanda.

Pangeran Diponegoro juga menyusun daftar nama bangsawan yang berpotensi menjadi lawan dan kawan dalam peperangan. Kesultanan Yogyakarta kemudian dibagi menjadi beberapa Mandala perang dan pengangkatan para pemimpin perang di setiap mandalanya.

Pangeran Diponegoro tidak hanya berjuang sendiri ia ditemani oleh pamannya yakni Pangeran Mangkubumi atau Ali Basyah Sentot Prawirodirjo. Ali Basyah Sentot Prawirodirjo bertindak sebagai panglima perang bersama Kiai Mojo dan para muridnya.

Nyai Ageng Serang pun turut terlibat dalam pertempuran ini. Pada awal perang, Pangeran Diponegoro menerapkan semangat perang Sabil. Dengan strategi ini perlawanan berjalan sangat efektif. Beberapa di antara pos pertahanan Belanda berhasil dikuasai. Semakin hari, Pangeran Diponegoro terus meningkatkan serangan dan semakin banyak pos pertahanan Belanda yang berhasil dikuasai.

Pasukan Pangeran Diponegoro semakin bergerak ke berbagai daerah. Pergerakannya meluas ke. Daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian pergerakannya semakin meluas ke arah timur yakni Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Adanya perang Jawa ini berhasil menggerakkan kekuatan atau potensi di daerah Jawa.

Semua kekuatan mulai dari rakyat, bangsawan sampai para ulama pun bergerak untuk melawan kekejaman Belanda. Melihat pergerakan pasukan Diponegoro yang semakin meluas, Belanda merasa khawatir sehingga berusaha meningkatkan kekuatannya.

Peningkatan kekuatan ini melalui pemimpin perang Belanda yakni Jenderal de Kock. Selain itu, Belanda juga menambah bala bantuan tentara. Mereka sengaja mendatangkan bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.

Untuk mengatasi pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda menggunakan strategi Benteng Stelsel. Strategi ini sedikit demi sedikit dapat mengatasi perlawanan pasukan Diponegoro. Pada tahun 1827, perlawanan Diponegoro saat dipukul mundur di beberapa daerah seperti Tegal, Pekalongan, Semarang serta Magelang.

Di mana masing-masing tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Selain itu, daerah Magelang dijadikan sebagai pusat kekuatan militer dari Belanda. Penggunaaan strategi Benteng Stelsel semakin lama, semakin mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro.

Sedangkan pasukan lainnya di bawah pimpinan Sentot Prawirdjo berhasil menyerang benteng milik Belanda yang ada di daerah Kulon Progo yakni Nanggulan. Bahkan penyerangan ini berhasil menewaskan kapten Ingen. Melihat hal tersebut, pasukan Belanda kemudian memfokuskan serangan kepada pasukan Sentot Prawirodirjo. Mereka berusaha mendesak dan mempersempit ruang gerak dari pasukan tersebut.

Selain itu, pasukan Belanda juga membujuk Sentot untuk melakukan perundingan. Berkali-kali ajakan tersebut ditolaknya. Namun, Belanda tak gentar. Mereka lantas meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningkrat guna membujuk Sentot Prawirodirjo. Bujukan tersebut pun berhasil meluluhkan pertahanan Sentot Prawirodirjo.

Sentot Prawirodirjo kemudian menyetujui ajakan tersebut. Pada tanggal 17 Oktober 1828, sebuah perjanjian yang bernama perjanjian Imogiri ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Isi Perjanjian Imogiri

Adapun isi dari perjanjian Imogiri adalah sebagai berikut.

  • Panglima perang Jawa tetap diizinkan memeluk agama Islam.
  • Sentot Prawirodirjo tetap menjadi komandan perang dan pasukannya tidak dibubarkan.
  • Tetap diizinkan memakai sorban.
  • Sentot Prawirodirjo bersama pasukannya harus menyerahkan diri secara resmi pada tanggal 24 Oktober 1829.

Tokoh Perjanjian Imogiri

  1. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro, tokoh perjanjian Imogiri

Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo merupakan putera dari Sultan Hamengkubuwono III. Ia merupakan salah satu tokoh yang melatarbelakangi adanya perang Jawa atau Perang Diponegoro. Perang ini dinamakan perang Diponegoro karena tokoh utama dari perang ini adalah Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro merasa risau karena melihat keadaan Yogyakarta yang semakin kacau karena dominasi Belanda. Oleh sebab itu, ia melakukan perlawanan hingga meletusnya perang besar bernama Perang Jawa. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perang Jawa yakni :

  • Tersingkirnya Pangeran Diponegoro dari kursi kekuasaan dikarenakan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda.
  • Berbagai macam provokasi dilakukan dengan sengaja untuk memperkeruh keadaan.
  • Pembuatan jalan yang melewati makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.
  • Berbagai macam pajak dan pungutan yang dibebankan kepada masyarakat.
  • Tidak mampunya pihak Keraton Yogyakarta untuk menghadapi campur tangan pemerintahan Belanda.
  • Sikap acuh orang-orang keraton dengan tetap hidup mewah di atas penderitaan rakyat.

Perang ini termasuk perang besar dan berlangsung lama yakni selama 5 tahun. Pada mulanya, Pangeran Diponegoro berhasil menundukkan pasukan Belanda. Namun, setelah Belanda menerapkan strategi benteng stelsel, kekuatan pasukannya melemah hingga berakhirlah dengan perjanjian Imogiri.

  1. Sentot Prawirodirjo
Sentot Prawirodirjo, Tokoh Perjanjian Imogiri

Ali Basyah Sentot Prawirodirjo adalah paman dari Pangeran Diponegoro. Pada perang ini ia bertugas membantu Pangeran Diponegoro melawan pasukan Belanda. Ia bertindak sebagai panglima perang. Di bawah pimpinannya, pasukan perang dapat berhasil menyerang benteng Belanda yang ada di daerah Nanggulan.

Selain itu, berkat dirinya salah seorang kapten perang Belanda yakni Kapten Ingen tewas. Sayangnya, karena bujukan dari Aria Prawirodiningrat, ia mau menyerahkan diri dan menandatangani perjanjian Imogiri.

  1. Jenderal Van De Kock
Jenderal De Kock, Tokoh Perjanjian Imogiri

Hendrik Merkus Baron de Kock atau yang lebih dikenal dengan nama Jenderal de Kock adalah seorang perwira militer, menteri, dan senator Belanda. Ia lahir pada tanggal 25 Mei 1779 di Heusden. Ia menjadi letnan gubernur jenderal Hindia pada tahun 1826- 1830.

Saat masa pemerintahannya, terjadi dua perang besar yakni perang Jawa dan Perang Paderi. Saat perang Diponegoro atau perang Jawa ia bertindak sebagai pemimpin perang dari pasukan Belanda. Pada akhirnya, ia berhasil membawa Belanda pada kemenangan.

Dampak Perjanjian Imogiri

  • Berakhirnya Perjuangan Pangeran Diponegoro

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Imogiri, menandakan berakhirnya perang Jawa. Berakhirnya perang Jawa dan penyerahan diri kepada para pemimpin Belanda adalah pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Selama lima tahun lamanya perang ini berlangsung, harus berakhir dengan jalan perjanjian yang kerap kali dilanggar oleh pihak Belanda.

Meskipun telah berakhir perang Jawa, namun perjuangan untuk terus mempertahankan negara tetap dilanjutkan. Di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro perjuangan tersebut masih berlangsung hanya saja tidak dalam bentuk peperangan. Dengan berakhirnya perang Jawa, mengakui kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda.

  • Nyawa Pangeran Diponegoro Terancam

Belanda mengumumkan sayembara bagi siapa saja yang bisa menyerahkan Pangeran Diponegoro dalam keadaan hidup ataupun mati, akan mendapatkan hadiah berupa 20.000 Ringgit. Sayembara ini menandakan bahwa Belanda mengincar Pangeran Diponegoro dan keberadaannya terancam. Untung saja, tidak ada yang tertarik dengan sayembara tersebut.

Namun, pada akhirnya pangeran Diponegoro berhasil ditangkap dan diasingkan ke Manado. Pada tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro bersama dengan rombongan diberangkatkan dengan menggunakan kapal Pollux ke Manado. Mereka ditahan di sebuah benteng bernama benteng Amsterdam.

  • Belanda Mengingkari Janji

Pada tanggal 28 Maret, kembali dilakukan perundingan di rumah Residen Kedu. Sayangnya dari perundingan tersebut tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock mengingkari janjinya. Ketika Pangeran Diponegoro hendak keluar dari meja perundingan, ia ditangkap oleh pasukan Belanda. Ia kemudian diasingkan dan dibawa menuju Gedung Karasedinan Semarang.

Pada tanggal 11 April 1830, pangeran Diponegoro sampai di Batavia dan ia ditahan di Stadhius. Ia ditahan di sana seraya menunggu keputusan dari Jenderal Van den Bosch. Kemudian keputusan pun keluar pada tanggal 1830. Di mana keputusan tersebut membuat Pangeran Diponegoro bersama dengan pengikutnya dibuang ke Manado.

Pada tahun 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam yang ada di Makassar. Kemudian pada tahun 1855, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya kemudian dimakamkan di Makasar.

fbWhatsappTwitterLinkedIn