Daftar isi
Perundingan Renville yang kemudian menjadi Perjanjian Renville berawal dari Agresi Militer Belanda Jilid I di Indonesia
Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 yang merupakan perjanjian antara Indonesia dan Belanda.
Perjanjian ini berlangsung diatas kapal perang Renville, milik Amerika Serikat. yang bersandar di pelabuhan Tanjong Priok, Jakarta.
Perjanjian Renville dibuat untuk menyelesaikan konflik batas wilayah antara Indonesia dengan Belanda.
Perjanjian Renville juga menjadi cikal bakal terjadinya Agresi Militer Belanda Jilid II.
Konflik sengketa wilayah antara Indonesia dan Belanda terus berkelanjutan.
Belanda terus menekan dan melancarkan operasi militernya mulai dari Jawa sampai ke pulau Madura.
Operasi tersebut dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda Jilid I, yang berusaha merebut wilayah hingga sampai ke daerah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Agresi Militer besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda dimulai sejak 21 Juli 1947.
Belanda menyerbu dan menduduki beberapa wilayah yang berada di daerah kekuasaan Indonesia.
Menurut George McTurnan Kahin, Agresi pertama Belanda itu merebut banyak daerah Indonesia penghasil sumber daya alam terbaik.
Meski sebelumnya telah ada Perjanjian Linggarjati, namun tetap saja tak menyelesaikan masalah kedua pihak.
Belanda menganggap sudah tidak terikat lagi dengan perjanjian yang telah disetujui pada tanggal 25 Maret 1947 tersebut.
Akibatnya, Indonesia menuduh Belanda telah mengingkari janji yang dibuat tentang batas wilayah, begitu pula sebaliknya.
Amerika Serikat dan Inggris pada saat itu menolak Agresi Militer yang dilakukan Belanda.
Kedua negara tersebut pun mengakui kemerdekaan Indonesia sah secara de facto.
Sementara itu, Australia dan India bersikap lebih tegas dengan cara meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menengahi konflik kedua kubu.
Australia bahkan mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi agar pihak Indonesia-Belanda melakukan gencatan senjata.
Usulan tersebut didukung oleh Rusia yang notabenenya merupakan musuh ideologis Amerika Serikat.
Bersama dengan Polandia, Rusia meminta agar pihak Belanda menarik diri dari wilayah yang direbut setelah agresi.
Akhirnya, Dewan Keamanan PBB pun turun untuk menyelesaikan konflik antara Indonesia-Belanda.
Oleh karena itu, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara serta dibantu oleh Committee of Good Offices for Indonesia.
Komisi Tiga Negara (KTN) terdiri dari Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia dipilih oleh Belanda serta Amerika yang dipilih oleh kedua belah pihak.
Maka terlaksanalah Perjanjian tersebut diatas kapal perang milik Amerika Serikat (Renville) sebagai penengah kedua belah pihak.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Indonesia-Belanda tanggal 01 Agustus 1947.
Gubernur Belanda saat itu Jenderal Van Mook memerintahkan gencatan senjata tanggal 05 Agustus 1947.
Pihak Indonesia dan Belanda sepakat untuk melakukan gencatan senjata pada tanggal 17 Agustus 1947.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Komisi Tiga Negara pada tanggal 25 Agustus 1947.
Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk dengan tujuan dapat menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai.
Belanda memproklamirkan Garis Van Mook pada tanggal 29 Agustus 1947 untuk membatasi wilayah dengan Indonesia.
Nama Van Mook diambil dar nama Gubernur Belanda saat itu yakni Hubertus Johannes Van Mook.
Pada tanggal 18 September 1947 pemilihan negara-negara KTN dilaksanakan.
Belanda memilih Belgia, Indonesia memilih Australia, dan Amerika dipilih oleh keduanya untuk perwakilan dalam perundingan.
Tanggal 09 Oktober 1947 Amerika Serikat mengirim utusan ke PBB guna mendukung Belanda agar tidak menarik diri.
Disisi lain, Rusia mengeluarkan resolusi pada tanggal 31 Oktober 1947 agar Belanda menarik diri dan mundur ke wilayah sebelum agresi.
Resolusi Rusia tersebut mendapat dukungan dari Australia, kolombia dan Polandia. Namun ditentang oleh AS, Inggris, Perancis dan Belgia.
Perundingan untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda dimulai sejak tanggal 08 Desember 1947
Perjanjian serta kesepakatan atas perundingan diatas kapal Renville berlangsung pada tanggal 17 Januari 1948.
Delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin.
Sementara itu, untuk delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo.
R. Abdulkadir Widjojoatmodjo merupakan warga Indonesia yang telah memihak kepada Belanda.
Perjanjian Renville tersebut ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, serta Committee of Good Offices for Indonesia.
Hasil dari Perjanjian tersebut banyak menguntungkan Belanda, disisi lain merugikan Indonesia.