Perjanjian Roem-Royen: Latar Belakang – Isi dan Dampaknya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perjanjian Roem-Royen merupakan perjanjian lanjutan antara pihak Indonesia dengan Belanda.

Perjanjian ini resmi ditandatangani di Hotel Des Indies, Jakarta pada tanggal 07 Mei 1949.

Latar Belakang Perjanjian Roem- Royen

Sebutan Perjanjian Roem-Royen diambil dari nama masing-masing delegasi yang menjadi perwakilan kedua kubu.

Pihak Indonesia diketuai oleh Mohammad Roem, sedangkan Belanda diketuai oleh Herman Van Roijen.

Perjanjian ini diadakan buntut dari pembatalan sepihak hasil keputusan Perjanjian Renville oleh Belanda.

Serta untuk menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda sebagai bentuk perlawanan rakyat Indonesia pasca terjadinya Agresi Militer Belanda Jilid II.

Sebelum terjadinya Agresi Militer Belanda Jilid II di Yogyakarta, baik Republik Indonesia maupun Belanda telah berunding dua kali melalui Perjanjian Linggarjati tahun 1946 dan Perjanjian Renville tahun 1948.

Namun, kedua perjanjian tersebut tak mampu menghentikan Belanda untuk tidak melakukan operasi militer di wilayah Indonesia.

Bahkan Belanda semakin berkuasa dan secara sepihak mengingkari hasil kesepakatan Perjanjian Renville.

Sehingga Belanda melancarkan aksi tempurnya di Ibu Kota Pemerintahan Indonesia saat itu, yakni Yogyakarta.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta beserta beberapa tokoh politik Indonesia juga ditahan dan diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka.

Sejatinya, serangan Belanda tersebut mendapat kecaman dari Dewan Keamanan PBB dan dunia internasional.

Namun, Belanda mengabaikan resolusi PBB dan terus menggempur Yogyakarta.

Akibat dari serangan tersebut, masyarakat Indonesia geram dan tak tinggal diam. Pihak Indonesia melawan dengan pasukan gerilya secara besar-besaran.

Tepat pada tanggal 01 Maret 1949, pihak Indonesia yang terdiri dari massa dan pasukan gerilya menyerang balik Belanda di Yogyakarta.

Tragedi ini dikenal dengan Serangan Umum 01 Maret 1949 yang membuat dunia terkejut seakan mengisyaratkan bahwa negara Republik Indonesia masih ada dan layak mendapat kedaulatan penuh.

Pertempuran tersebut membuat posisi Belanda tertekan, hingga pada akhirnya Belanda menyetujui usulan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) untuk kembali berunding dengan Indonesia.

Perundingan tersebut dimaksud untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan, serta menghentikan seluruh operasi militer yang mengakibatkan banyak pertumpahan darah antara kedua negara.

Sehingga terjadilah perundingan tersebut di Hotel Des Indies Jakarta yang dimulai sejak 14 April 1949 hingga penandatanganan hasil perjanjian pada tanggal 07 Mei 1949.

Dan pada akhirnya dilaksanakan perundingan formal pada tanggal 22 Juni 1949 untuk mendapatkan hasil keputusan terakhir secara resmi serta untuk mengkaji ulang kesepakatan yang telah dibuat bersama.

Hasil dari Perjanjian Roem-Royen banyak menguntungkan pihak Indonesia.

Salah satunya adalah terlaksananya sidang kabinet Republik Indonesia yang pertama sepanjang sejarah.

Tokoh-tokoh dalam Perjanjian Roem-Royen

  • Delegasi Indonesia Dalam Perjanjian Roem-Royen:
    • Mohammad Roem (Ketua)
    • Ali Sastroamidjojo (Wakil Ketua)
    • Dr. Leimena
    • Ir. Joeanda
    • Prof. Soepomo
    • Johannes Latuharhary
    • Tim Penasehat (Soetan Sjahrir, M. Natsir, Dr. Darma Setiawan, Soemarto, Dr. A. Koesoemaatmadja, dan A.K. Pringgodigdo).
  • Delegasi Belanda Dalam Perjanjian Roem-Royen:
    • Herman Van Roijen (Ketua)
    • N.S. Blom
    • A. Jacob
    • Dr. J.J. Van Der Velde
    • Dr. P.J.Koets
    • Van Hoogstratendan
    • Dr. Geiben
    • Elink Schuurman
    • Kolonel Thompson.

Kronologi Perjanjian Roem-Royen

Pada tanggal 01 Desember 1948 Belanda memutuskan secara sepihak hasil kesepakatan dari perjanjian Renville, dan menyatakan tidak lagi terikat dengan perjanjian tersebut.

Akibatnya, pada tanggal 19 Desember 1948 Agresi Militer Belanda Jilid II pun terjadi.

Belanda menyerang dan menghancurkan Ibu Kota Republik Indonesia saat itu, yakni Yogyakarta.

Disaat yang bersamaan, Belanda menangkap dan membawa Presiden Indonesia (Soekarno) dan Wakil Presiden Indonesia (Moh. Hatta).

Tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden, namun Soetan Sjahrir, Agus Salim dan Mohammad Roem juga ikut ditawan lantas diasingkan ke luar Jawa, tepatnya di Bangka.

Kemudian, atas izin dari para pemimpin Indonesia saat itu, didirikanlah Pemerintahan Darurat Indonesia (PDRI) oleh Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat pada tanggal 22 Desember 1948.

Pada tanggal 04 Januari 1949 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam operasi agresif dari Belanda.

Sehingga pada tanggal 28 Januari 1949 PBB mengeluarkan resolusi untuk menghentikan operasi militer dari kedua pihak.

Pihak Indonesia tak tinggal diam dan merespon Agresi Militer Belanda dengan serangan massal di Yogyakarta pada tanggal 01 Maret 1949.

Serangan ini meyakinkan dunia internasional bahwa negara Republik Indonesia masih ada.

Pada tanggal 14 April 1949, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) yang berusaha menengahi konflik tersebut, akhirnya membawa perwakilan kedua negara ke meja perundingan.

Namun, karena di perundingan pertama tersebut belum menemui titik terang, akhirnya United Nations Commission for Indonesia (UNCI) mengusulkan untuk mendatangkan Moh. Hatta di pertemuan selanjutnya.

Hatta yang kala itu diasingkan di Bangka pun setuju dan terbang ke Jakarta pada tanggal 24 April 1949 untuk berunding dengan Van Roijen.

Keesokan harinya, tanggal 25 April 1949 Hatta dan Van Roijen bertemu. Dari hasil pertemuan tersebut, Van Roijen berkata setuju untuk mengembalikan Yogyakarta ke Republik Indonesia.

Setelah perundingan berjalan begitu sengit, pada tanggal 07 Mei 1949 secara resmi perwakilan dari kedua negara menandatangani hasil kesepakatan Perjanjian Roem-Royen.

Akhirnya, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan formal antara Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg BFO) dibawah pengawasan Critchley (Australia).

Tujuan dari perundingan formal tersebut adalah untuk menindaklanjuti perjanjian Roem-Royen dan menghasilkan beberapa keputusan penting bagi Indonesia dan Belanda.

Hasil dari perundingan tersebut adalah mengembalikan Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1949, serta menarik mundur seluruh pasukan Belanda dari Yogyakarta mulai dari 29 Juni 1949 sampai dengan tanggal 01 Juli 1949.

Sementara itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta baru dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 06 Juli 1949.

Jenderal Sudirman yang kala itu memimpin pasukan gerilya Indonesia juga kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949 setelah hampir tujuh bulan berjuang lewat gerilya.

Pada akhirnya, setelah keadaan membaik dan Pemerintahan kembali pulih, sidang kabinet Republik Indonesia yang pertama dapat dilaksanakan tanggal 13 Juli 1949.

Isi Perjanjian Roem-Royen

Isi Perjanjian Roem-Royen Bagi Indonesia

  • Bekerjasama untuk mengembalikan perdamaian serta menjaga ketertiban dan keamanan
  • Seruan kepada seluruh pengikut Republik Indonesia Serikat yang memegang senjata untuk menghentikan perang gerilya
  • Pihak Indonesia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda. Ini bertujuan untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sesungguhnya kepada Indonesia.

Isi Perjanjian Roem-Royen Bagi Belanda

  • Belanda setuju untuk mengembalikan ibukota Indonesia ke Yogyakarta
  • Belanda bersedia untuk melepas seluruh tahanan politik
  • Belanda menjamin untuk menarik pasukan dan menghentikan seluruh operasi militer
  • Pihak Belanda tidak memperluas wilayah kekuasaan yang dapat merugikan Indonesia
  • Segera mengadakan Konferensi Meja Bundar tepat setelah Yogyakarta kembali menjadi ibukota Indonesia .

Dampak Perjanjian Roem-Royen

Berikut ini beberapa dampak dari diadakannya perjanjian roem royen:

  • Ibukota Republik Indonesia kembali dipindahkan ke Yogyakarta
  • Pasukan Belanda menarik diri serta meninggalkan wilayah Yogyakarta
  • Konferensi Meja Bundar (KMB) diusulkan agar berlangsung di Den Haag, Belanda
  • Pembebasan Soekarno dan Hatta serta dikembalikan ke Yogyakarta untuk memimpin Republik Indonesia
  • Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia secara utuh dan tanpa syarat
  • Terlaksananya sidang kabinet Republik Indonesia yang pertama.
fbWhatsappTwitterLinkedIn