Daftar isi
Secara umum pers adalah media massa yang melakukan kegiatan jurnalistik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data maupun grafik dengan menggunakan media elektronik, media cetak dan media lainnya. Fungsi pers di Indonesia yaitu sebagai media informasi, media edukasi, media hiburan, media kontrol sosial, dan lembaga ekonomi.
Pers sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, Untuk penjelasan lebih lengkap tentang perkembangn pers di Indonesia sebelum Indonesia merdeka adalah sebagai berikut :
Surat kabar diperkenalkan pertama kali oleh orang-orang Belanda di Indonesia. Di tahun 1676 terbit Kort Beritcht Eropa atau berita singkat Eropa yang berisikan berita dari negara lain. Lalu di tahun 1744 terbitlah Batavia Nouvelles dan pada tahun 1778 juga terbit berita haruan Vende Nieucus.
Selanjutnya di tahun 1810 terbitlah surat kabar Batavia Koloniale courant yang merupakan surat kabar pertama di Batavia. Kemudian ketika memasuki tahun 1828 terbitlah surat kabar Javache Courant di Jakarta yang berisikan seputar berita resmi pemerintah, berita lelang serta kutipan dari harian di Eropa.
Sehingga pada tahun 1835 terbit juga Soerabajash Advertentienbland di Surabaya yang memuat berita yang sama seperti surat kabar Javache Courant di Jakarta. Namun setiap berita akan diperiksa terlebih dahulu oleh penguasa sebelum diendarkan atau disebarluaskan.
Sampai akhir abad ke 18, media massa atau berita yang terbit di Indonesia masih memakai bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Sehingga pada tahun 1985 terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda dan 12 surat kabar berbahasa Melayu. Tetapi ditahun ini juga muncul surat kabar berbahasa Cina.
Pada awal abad 19 pers mulai menyebarkan berita tentang politik serta perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat. Di tahun 1903 terbitlah surat kabar pertama yang dikendalikan oleh kaum pribumi sehingga surat kabar ini menandakan mulainya bangsa Indonesia masuk ke dalam dunia pers yang berhubungan dengan politik.
Surat kabar yang diterbitkan oleh pemerintah belanda disebut Inheemsche Pers atau Pers Bumiputra yang dipimpi oleh R.M Tirto yang merupakan pelopor kebebasan bersuara bagi kaum pribumi. Setelah itu banyak bermunculan surat kabar lain seperti Harian Oetosan Hindia, Api Halilintar dan Nyala, Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak, Benih Merdeka, Suara Rakyat Indonesia, dan Sinar Merdeka.
Pada masa penjajahan jepang beberapa surat kabar di Indonesia telah diambil alih secara perlahan oleh pihak jepang. Sehingga berbagai surat kabar tersebut digabungkan oleh pemerintah jepang untuk dapat memperketat pengawasan surat kabar yang beredar di masyarakat.
Terdapat sekitar 8 surat kabar milik jepang yang resmi terbit di Indonesia antara lain yaitu Dajawa Sjinbun, Asia Raya, Kung Jung Pao Tjahaya, Sinar Baroe, Sinar Matahari, dan Soera Asia.
Setiap berita yang disebarluaskan harus memiliki izin dan dilarang memuat berita yang memicu adanya permusuhan terhadap pemerintah jepang. Akibatnya semua bidang usaha pers harus disesuaikan dengan rencana atau tujuan-tujuan tentara jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Dari masa colonial sampai sekarang pers dan media massa menjadi bagian penting dari kehidupan bangsa Indonesia. Berikut adalah perkembangan pers di Indonesia setelah Indonesia merdeka :
Sejak teks proklamasi dicetak pada lembaran koran, keesokan harinya penduduk Indonesia memburu surat kabar. Karena minat baca serta kesadaran akan kebutuhan pers meningkat maka rakyat Indonesia ingin mengetahui perkembangan negara yang baru saja merdeka melalui pers atau berita di surat kabar.
Perkembangan pers setelah proklamasi telah meningkat dengan pesat, meskipun masih memperoleh tekanan dari penguasa peralihat Jepang dan Sekutu. Bahkan wartawan dan penyiar radio Indonesia juga giat melakukan penyebarluasan hingga pada bulan september suluruh wilayah Indonesia sampai Luar Negeri pun mengetahui tentang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 6 september 1945 terbiltlah surat kabar pertama yaitu berita Indonesia. Lalu di tanggal 8-9 September 1946 kalangan pers Indonesia mengadakan kongres di Solo dan membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang merupakan wadah untuk mempersatukan pendapat serta aspirasi, PWI diketuai oleh MR. Sumanang.
Di masa ini media massa menyebarkan berita yang memuat tentang pertempuran, perundingan, pembangunan dan peristiwa suka maupun duka. Masuk ke tahun 2948 media massa mengalami perpecahan antara golongan kanan dan golongan ekstrim kiri yang mengakibatkan pengehentian koran atau penghentian pers secara paksa.
Pada tanggal 15 maret 1950 dibentuklah panitia pers untuk mempererat hubungan antara pemerintah dan pers, namun tanpa ikatan apapun yang mengurangi kebebesan pers, Di tanggal 14 september 1956 kepala staff Angkatan darat mengeluarkan peraturan PKM/001/0/1956 yang menegaskan tentang larangan menerbitkan atau menyebarkan informasi yang memuat kecaman atau penghinaan terhadap presiden maupun wakil presiden.
Kemudian di tanggal 14 maret 1957 diberlakukan Situasi Darurat Perang atau SOB yang mengakibatkan banyak pers yang dihentikan paksa dan terdapat penahanan wartawan di masa ini. Sampai di tanggal 1 oktober 1958 penguasa militer daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit.
Pada masa demokrasi terpimpin di Jakarta berlaku larangan berpolitik dalam bentuk pers ataupun bentuk lainnya sehingga bagi masyarakat yang melanggar aturan tersebut harus dihukum atau disingkirkan. Di tahun 1960 penerbit tidak hanya wajib mengajukan Surat Ijin Terbit (SIT) saja melainkan juga wajib mengajukan Surat Ijin Cetak (SIC).
Namun untuk memperoleh SIT penerbiy juga harus menyetujui pernyataan kalau penerbit mematuhi pedoman dari pengauasa atau pemerintah. Pernyataan ini digunakan pemerintah sebagai alat untuk menekan atau mengendalikan surat kabar.
Tetapi pada masa ini surat kabar yang beredar hanya bersumber dari satu suara yaitu suara PKI. Oleh sebab itu untuk menghindari bahaya yang terjadi karena masyarakat hanya memiliki satu sumber saja maka didirikanlah Badan Penyebar Soekarnoisme (BPS).
Pada masa order baru masih terdapat aturan yang menekan atau menjerat pers karena banyak koran yang memuat berita yang dianggap bertentangan dengan pemerintah antara lain yaitu majalah sendi, sinar harapan, Pada tahun 1974 terdapat 12 penerbitan yang dihentikan aktivitasnya secara paksa.
Lalu di tahun 1978 Kompas Sinar Harapan, Merdeka, Pelitia, The Indonesia Time, Sinar Pagi, Pos Sore, dan Pelita dihentikan untuk sementara waktu karena banyaknya aksi mahasiswa yang menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden Kemudian di tahun 1970 hingga 1998 pers yang berlaku ialah pers Pancasila. Pada tahun tersebut pers hanya dianggap sebagai alat pemerintah sehingga pers kehilangan kebebasan dan kehilangan fungsi kontrolnya.
Terdapat sistem perizinan terhadap pers seperti Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan ada juga organisasi wartawan di Indonesia seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Selanjutnya di tanggal 7 agustus 1994 terbentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dianggap sebagai wujud sikap menolak PWI.
Karena keberadaan AJI ditentang sehingga wartawan yang menjadi anggota AJI diberhentikan dan tidak boleh dipekerjakan sebagai wartawan. Sampai pada tahun 1995 banyak informasi yang tersebar di internet bahkan informasi yang sulit disebarkan lewat media cetak pun juga tersedia di internet.
Pers pada reformasi di tahun 1998 melahirkan adanya perubahan UU Pers No.21 tahun 1982. Namun munculnya undang-undang tersebut juga tidak membuat pers menjadi bebas sepenuhnya melainkan pers masih dapat dijerat dengan pasal-pasal KUHP dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Selain itu masa reformasi juga dapat memberi kebebasan untuk berekspresi dan menibuat media diekspolitasi. Media yang dieksploitasi akhirnya menyebarkan informasi yang bernilai jual tinggi, mengumbar sensasi bahkan memuat isu atau rumor yang hanya diguaan, serta menyebarkan informasi untuk tujuan politis yang dapat memperngaruhi pembaca.
Hal ini mengakibatkan masyarakay umum kemudian menghukum pers dengan standar pembaca seperti kasus beredarnya karikatur nabi Muhammad yang mengakibatkan media tersebut mendapat perlawanan dari kelompok tertentu atau kelompok radikal islam.