Dalam periodisasi sastra Indonesia, dikenal angkatan ’45. Para sastrawan pada angkatan ini melahirkan karya di masa penjajahan Jepang, era kemerdekaan, dan beberapa tahun setelahnya.
Angkatan yang juga disebut sebagai Angkatan Kemerdekaan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan angkatan sebelumnya yakni Pujangga Baru.
Karya-karya yang lahir pada periode ini cenderung lebih ekspresif. Kritikus sastra H.B. Jassin menyebut para sastrawan Angkatan ’45 memiliki karakteritisk yang revolusioner dalam sikap hidup dan visi.
Karya sastra Angkatan ’45 lebih realis dibandingkan dengan karya sastra angkatan-angkatan sebelumnya. Karyanya banyak diwarnai pengalaman hidup serta gejolak sosial-politik-budaya yang terjadi pada masa itu.
Ada sejumlah sastrawan terkenal yang tergabung dalam Angkatan ’45. Karya-karya mereka masih dibaca dan dipelajari sampai saat ini. Siapa saja? Simak uraian berikut ini.
Nama Chairil Anwar tidak bisa dilepaskan dari puisi Indonesia modern. Ia merupakan pelopor lahirnya Angkatan ’45. Penyair besar ini mendapatkan julukan ‘Si Binatang Jalang’ yang dikutip dari salah satu puisinya berjudul Aku.
Ia lahir di Medan pada 26 Juli 1992 dan meninggal pada usia yang masih muda yakni 26 tahun pada tanggal 28 April 1949 di Jakarta.
Semasa hidup, ia diperkirakan menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Chairil mempublikasikan puisi pertamanya pada 1942 yang berjudul Nisan, saat itu usianya 20 tahun.
Meski sempat mengalami beberapa penolakan, namun pada akhirnya namanya dinobatkan sebagai salah satu penyair paling berpengaruh.
Puisinya mengusung banyak tema, mulai dari pemberontakan, kematian, eksistensialisme, sampai indivisualisme. Sajak-sajaknya terkumpul di antara lain dalam:
Nama Asrul Sani juga tidak bisa dilepaskan dari tokoh sastrawan berpengaruh pada Angkatan ’45. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini lahir di Rao, Sumatra Barat pada 10 Juni 1927 dan wafat di Jakarta pada 11 Januari 2004.
Namanya melejit berkat kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir yang ditulis bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin. Kemudian mereka bersama-sama mendirikan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka dan menjadi redaktur Gelanggang.
Selain sastrawan, Asrul Sani juga dikenal sebagai sutradara dan penulis skenario. Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana, dan pimpunan umum Citra Film.
Tokoh berpengaruh ini pernah menerima Anugerah Seni pada 1969 dan Medali Bintang Mahaputra pada 2000 dari Pemerintah Indonesia.
Beberapa karya sastra yang ia terbitkan selama hidupnya di antaranya yakni:
Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 30 Agustus 1927, Rivai Apin juga menjadi salah satu personil dalam tiga serangkai penyair Indonesia.
Bersama dua sastrawan lain yakni Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut serta memberikan napas baru dunia kesusastraan Indonesia melalui buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir.
Sastrawan Indonesia ini pernah menduduki kursi Komite Nasional Pusat, DPRD DKI Jakarta. Selain itu juga pernah menjadi redaktur beberapa majalah, di antaranya Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman.
Ia juga pernah menjadi salah satu pimpinan pusat Lekra. Setelah peristiwa G30S, ia ditahan di Pulau Buru selama 14 tahun.
Rivai Apin wafat di Jakarta pada April 1995. Puisi-puisinya pernah dimuat dalam Gema Tanah Air. Selain itu karya-karya puisinya dikumpulkan oleh Harry Aveling dan diberi judul Dari Dua Dunia yang Belum Sudah.
Abdullah Idrus, atau yang lebih akrab dengan nama pena Idrus merupakan sastrawan Indonesia yang berasal dari Padang, Sumatra Barat.
Pengarang yang lahir pada 21 September 1921 ini banyak melahirkan karya dengan bahasa yang ringkas dan sederhana.
Pada 1960 sampai 1964, Idrus terpaksa tinggal di Malaysia karena permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap penulis yang tidak sepaham.
Meskipun menolak dinobatkan sebagai sastrawan Angkatan ’45, namun karya-karyanya memberi warna baru dalam kesusastraan Indonesia.
Dirinya banyak menulis novel, cerpen, dan drama. Tidak sedikit juga menerjemahkan karya sastra dari luar. Beberapa judul karya sastranya yakni:
Nama Achdiat K. Mihardja memberikan kebaharuan dalam sastra Indonesia melalui novel pertamanya berjudul Atheis. Novel yang terbit pada 1949 itu menjadi karya sastra terpenting pasca Perang Dunia II.
Sebelum menjadi seorang pengarang, tokoh sastra yang lahir pada 6 Maret 1911 ini pernah menjadi seorang jurnalis. Ia juga merupakan guru besar sastra dan bahasa Indonesia di Australian National University.
Dirinya menghembuskan napas terakhir di Canberra, Australia pada 8 Juli 2010 saat berusia 99 tahun.
Kumpulan cerpennya yang berjudul Keretakan dan Ketegangan mendapat Penghargaan Sastra BMKN 1957. Sementara novel fenomenalnya Atheis menyabet Penghargaan Tahunan Pemerintah RI pada 1969.
Beberapa judul karya sastra yang ia tulis semasa hidup di antaranya: