Suku Tamiang: Sejarah – Ciri Khas dan Kebudayaannya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Provinsi Aceh adalah salah satu wilayah yang ada di Pulau Sumatera dengan segala kekayaan alam, suku dan budayanya. Dari banyaknya suku yang mendiami Aceh salah satunya adalah suku Tamiang. Untuk mengenal lebih jauh tentang siapa itu suku Tamiang, bagaimana asal mulanya dan apa saja budayanya simak pembahasannya berikut ini. 

Siapa itu Suku Tamiang?

Suku Tamiang yang sering disebut juga dengan etnik Melayu Tamiang adalah mereka yang menghuni Kabupaten Tamiang Aceh. Jumlah mereka cukup banyak yakni mencapai 125.000 jiwa oleh sebab itu lah suku ini berdiri menjadi sebuah kabupaten sendiri. Jumlah tersebut tersebar ke berbagai kecamatan di Kabupaten Tamiang sepert Kecamatan Bendahara, Kejeruan Muda, Seruway, Karang Baru, Tamiang Hulu dan Kuala Simpang. Meski termasuk ke dalam suku Melayu namun bahasa suku Tamiang lebih mirip dengan suku di Sumatera Utara. 

Asal Usul Suku Tamiang

Sejarah kemunculan suku Tamiang sendiri hingga saat ini belum ditemukan bukti fisik yang kuat. Asal mula kemunculannya didapat dari cerita-cerita antar masyarakat yang menyebar secara lisan. Sebuah teori mengatakan bahwa suku Tamiang merupakan orang-orang dari Kerajaan Melayu Raya yang meloloskan diri sewaktu tanah mereka di serang kerajaan Sriwijaya

Mereka yang berhasil lolos kemudian mendirikan sebuah kerajaan sendiri yang berjaya pada tahun 1330-1366 M dengan Rajanya yaitu Raja Muda Sedia. Kisah lainnya mengatakan bahwa Suku Tamiang berawal dari salah satu Pulau di Kepulauan Riau. Mereka kemudian berpindah tempat dan menghuni wilayah di Aceh. Ada pula legenda yang mengisahkan nenek moyang Tamiang adalah anak keturunan dari Kerajaan Aru di Timur Pulau Sumatera yang mendirikan kerajaan sendiri yang dipimpin oleh Raja Pucuk Suluh. 

Sedangkan asal usul nama Tamiang diambil dari kata “Hitam” dan “Miyeng” yang memiliki makna “Pipi Hitam” Pipi Hitam ini dimaksudkan untuk raja pertama Kerajaan Tamiang yang memiliki tahi lalat di pipinya. Teori lain mengatakan bahwa Tamiang diambil dari kata “Te Miyeng” yang maknanya “Tidak Gatal” Kata tersebut merujuk kepada Raja Pucuk Suluh yang sewaktu bayi ditemukan di rerumputan namun tidak terserang gatal-gatal. 

Ciri Khas Suku Tamiang 

Suku Tamiang memiliki kenampakan fisik yang serupa dengan suku Melayu pada umumnya. Orang-orangnya memiliki postur tubuh tidak begitu tinggi dengan kulit sawo matang atau kuning langsat. Memiliki rambut hitam pekat serta lurus dan hidung cenderung pesek. 

Bahasa Suku Tamiang

Bahasa yang digunakan oleh suku Tamiang adalah bahasa yang masih termasuk kedalam golongan rumpun bahasa Austronesia. Sementara itu dialek yang digunakan oleh orang-orang Tamiang yaitu dialek Melayu dengan ciri khas huruf “R” diucapkan dengan bunyi “gh”, huruf “T” diucapkan dengan bunyi “C”. Untuk sistem penulisan huruf suku Tamiang menggunakan huruf Arab-Melayu yang sudah berlaku sejak Islam datang ke tanah Aceh. 

Bahasa yang digunakan masyarakat Tamiang dalam kesehariannya banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu Deli. Oleh sebab itu kedua bahasa Tamiang lebih mirip dengan bahasa Melayu daripada bahasa Aceh sendiri. Selain itu Terdapat perbedaan dialek antara suku Tamiang Hulu dengan Suku Tamiang Hilir. 

Agama dan Kepercayaan Suku Tamiang

Suku Tamiang pada umumnya menganut agama Islam seperti suku-suku pada umumnya di Aceh. Meski sudah memeluk agama Islam namun masyarakat Tamiang tidak lantas meninggalkan budaya mereka sebelum Islam menyebar. Budaya-budaya tersebut seperti upacara tradisional Tulak Bala, Kenduri Blang. 

Sistem Kekerabatan Suku Tamiang 

Masyarakat dalam kehidupan sehari-sehari menggunakan prinsip bilateral yaitu sistem yang menganut garis keturunan berdasarkan dua sisi yaitu pihak ibu dan pihak ayah. Namun dalam hal pewarisan diterapkan sistem patrilineal yang artinya berdasarkan pada pihak laki-laki. Pada umumnya satu keluarga suku Tamiang akan bermukim di tempat yang berdekatan atau di lingkungan yang sama dengan anggota keluarga lainnya. 

Mata Pencaharian Suku Tamiang

Masyarakat suku Tamiang pada zaman dahulu menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian. Namun saat ini seiring perkembangan zaman, mata pencaharian mereka kian beragam. Sebagian dari mereka ada yang tetap mengolah ladang di sawah sebagian dari mereka bekerja di kantor, guru maupun bidang industri lainnya. 

Rumah Adat Suku Tamiang 

Rumah Adat Suku Tamiang 

Nama untuk rumah adat suku Tamiang disesuaikan dengan jumlah tiang penyangga rumah tersebut namun secara umum disebut dengan Rumoh Aceh atau Krong Bade. Rumah dengan enam tiang penyangga disebut dengan rumah Tiang Enam, rumah yang tersusun dari sembilan tiang penyangga diberi nama rumah Tiang Sembilan dan rumah yang terdapat dua belas tiang disebut dengan rumah Tiang Dua Belas. Pada zaman dahulu masyarakat Tamiang pada umumnya mendirikan rumah di dekat hutan atau di dekat sungaI. Oleh sebab itu rumah mereka pada umumnya berbentuk rumah panggung. 

Jarang kolong rumah panggung dengan tiang penyangga biasanya setinggi 2-4 meter. Selain itu apabila rumah dibangun dengan sungai maka arah rumah harus menghadap ke sungai tersebut. Bentuk atap yang digunakan sangat bervariasi seperti bentuk rabung panjang, rabung lima, rabung kombinasi dan bubungan piramida. Bahan yang digunakan memanfaatkan bahan alam yang ada seperti bambu yang kemudian dianyam.

Keunikan rumah suku Tamiang terletak pada jumlah anak tangga yang selalu ganjil. Jumlah tersebut mengisyaratkan sisi religius masyarakat Tamiang. 

Pakaian Adat Suku Tamiang 

Pakaian Adat Suku Tamiang 

Serupa dengan suku lainnya yang memiliki budaya dalam segala aspek suku Tamiang juga memiliki kebudayaannya sendiri. Salah satunya adalah pakaian adat yang sering kali digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk acara tertentu. Pada dasarnya pakaian tersebut memiliki bentuk serupa namun dalam acara tertentu dilengkapi dengan aksesoris lagi. 

Masyarakat Tamiang laki-laki menggunakan pakaian adat berupa celana panjang, sarung,  baju dan tengkulak. Begitu juga dengan kaum wanitanya hanya saja dilengkapi dengan kerudung dan juga selendang. Adapun pakaian adat antara anak-anak dan orang dewasa memiliki bentuk yang berbeda. Pada pakaian anak-anak bentuk tengkulak tidak begitu runcing dan tidak memiliki ikat pinggang. 

Kain yang digunakan untuk membuat pakaian suku Tamiang adalah kain sulam dengan motif pucuk rebung dan awan bergerak. Selain itu warna pakaian yang digunakan memiliki makna yaitu menunjukkan status sosial mereka. Pakaian adat laki-laki disebut dengan Linto Baro sementara itu pakaian adat wanita disebut dengan Daro Baro. 

Kebudayaan Suku Tamiang 

Suku Tamiang memiliki sejumlah kebudayaan yang masih terus terjaga hingga saat ini. Kebudayaan tersebut contohnya adalah Upacara Troen Bak Tanoeh yaitu upacara yang diselenggarakan untuk orang tua yang baru saja memiliki bayi. Upacara ini diadakan ketika bayi berusia 1-3 bulan. Sebelum upacara ini dilakukan si ibu dengan bayinya tidak boleh keluar rumah kecuali kepentingan mendesak. 

Kebudayaan lainnya yang terkenal dari suku Tamiang adalah Tari Elang Ngelekak. Tarian ini mengisahkan cerita rakyat yang beredar di kalangan masyarakat Tamiang tentang seorang raja yang memiliki nasib buruk apabila memiliki seorang putri. Sang permaisuri pun berusaha menyelamatkan anaknya dengan menyembunyikannya di atas pohon. 

Sayangnya sejumlah elang terus berterbangan di dekat pohon tersebut hingga membuat sang raja curiga. Akhirnya Raja pun mengetahui hal tersebut dan segera membunuh sang putri. Setelah putri mungil tersebut meninggal, Raja menyadari bahwa bayi tersebut memiliki raut wajah keberuntungan. Raja pun sangat menyesal sepanjang hidupnya. 

Gerakan burung elang tersebut menginspirasi gerakan tarian ini. Oleh sebab itu seni tari suku Tamiang ini disebut dengan Tari Elang Ngelekak. 

Kesimpulan Pembahasan

Suku Tamiang merupakan salah satu suku yang mendominasi di wilayah Aceh tepatnya di bagian Timur. Jumlah suku ini cukup banyak sehingga didirikan sebuah kabupaten tersendiri. Bagaimana awal kemunculan suku ini belum diketahui secara pasti. Sumber yang dipercaya masih berasal dari cerita-cerita lisan yang turun temurun dikisahkan kepada anak cucu mereka. 

Ciri fisik suku Tamiang umumnya seperti suku-suku asli di Indonesia lainnya yaitu berkulit sawo matang dan postur tubuh cenderung pendek. Masyarakat Tamiang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa Aceh lainnya. Bahasa Tamiang lebih dekat dengan bahasa suku Melayu Deli di Sumatera Utara. Tulisan yang digunakan adalah huruf-huruf Arab Melayu. 

Masyarakat Tamiang memiliki kepercayaan dan keagamaan yang sama dengan kepercayaan mayoritas di Aceh yakni beragama Islam. Meski Islam sudah mendarah daging dalam jiwa suku Tamiang namun mereka tetap mempertahankan budaya yang sudah ada dari nenek moyang mereka. Budaya tersebut seperti upacara-upacara tradisional Tulak Bala dan lain sebagainya. 

Suku Tamiang menganut sistem kekerabatan bilateral dan patrilineal. Sistem bilateral digunakan untuk menentukan garis keturunan sedangkan patrilineal diterapkan untuk menentukan hukum waris. Suku Tamiang umumnya bekerja sebagai petani namun saat ini semakin berkembang menyesuaikan zaman. Rumah tradisional mereka disebut dengan Rumoh Aceh atau Krong Bade. Rumah tersebut berbentuk rumah panggung karena pada zaman dahulu dibangun di dekat sungai atau hutan. 

Pakaian adat mereka disebut dengan Linto Baro dan Daro Baro dimana antara anak-anak dan orang dewasa memiliki perbedaan bentuk pakaian adat. Selain pakaian dan rumah adat, kebudayan mereka juga terlihat pada seni tari yang masih ada hingga saat ini. Tarian Suku Tamiang yang terkenal adalah Tari Elang Ngelekak yang memiliki gerakan mirip elang ketika terbang. 

fbWhatsappTwitterLinkedIn