Menurut Robert T. Craig, menidentifikasi ada 7 tradisi dalam ilmu komunikasi dan sosial. Adapun salah satu dari 7 tradisi adalah tradisi Sosiokultura.
Pengertian Tradisi Sosiokultura
Tradisi sosiokultural terhadap teori komunikasi melambangkan tentang bagaimana cara kita dalam memahami makna, aturan, dan peranan dalam komunikasi. Ide pokok dari tradisi ini memfokuskan pada bentuk-bentuk interaksi antar manusia artinya, tradisi ini lebih melihat hubungan interaksi yang ada di dalam masyarakat sebenarnya dipengaruhi oleh struktur sosial.
Kultur sosial yang ada di masyarakat sangat beragam. Hal inilah yang mempengaruhi ilmu komunikasi dan strata sosial dalam bermasyarakat.
Layaknya semua tradisi, sosiokulturalpun mempunyai sudut pandang yang mempengaruhi berbagai paham kehidupan, yaitu : paham interaksi simbolis, konstruksionisme, sosilinguistik, filosofi bahasa, etnografi dan etnometodologi.
Ciri-ciri Tradisi Sosiokultura
- Teori sosial dan kultural menunjukkan bagaimana pelaku komunikasi paham tentang makna bahwa mereka adalah makhluk sosial dengan kepribadian yang berbeda sesuai mekanisme psikologis atau biologis yang ada.
- Di dalam tradisi sosiokultural menekankan pentingnya observasi partisipan dalam kajian komunikasisebagai cara dalam mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial.
- Identitas menjadikan dorongan bagi diri kita sebagai individu dalam peranan sosial, sebagai anggota komunitas, dan sebagai makhluk berbudaya.
Contoh Tradisi Sosiokultural
Suatu contoh kasus dalam tradisi sosiokultural adalah :
Selama beberapa bulan, Davika datang ke sebuah konvensi internasional tentang teknologi. Ia memiliki banyak teman dari berbagai negara, namun setiap kali datang kembali ke acara tersebut, ia merasakan hal yang sama. Davika merupakan satu-satunya orang di konvensi tersebut yang berasal dari Indonesia.
Betapa pun tulusnya teman-teman dari Negara lain, Davika merasa, mereka melihat dirinya dengan cara tertentu. Mereka terlihat kaget saat melihat Davika merupakan wanita yang kreatif dan asertif.
Mereka menyebut Davika sebagai “kebarat-baratan” dan bukan “real Indonesian”. Kemudian, teman-teman Davika mengajaknya datang ke sebuah Festival Film Indonesia yang diadakan oleh universitas lokal setempat.
Mereka terkesan dengan karakter wanita “kuat” yang ditunjukkan oleh film tersebut. Mereka tidak menyangka wanita seperti itu eksis di Indonesia.
Apalagi wanita tersebut menggunakan hijab. Mereka pikir wanita berhijab di Indonesia (Muslim stereotipe berdasarkan image media popular) adalah wanita yang tunduk dan selalu pasif, tidak punya kekuatan. Walaupun teman-teman Davika sudah kenal dengannya, namun mereka juga tidak punya pengetahuan yang nyata tentang “kelompok” yang Davika miliki, untuk menempatkan dirinya. Mereka juga dalam situasi sulit, dan rentan terhadap stereotipe yang disajikan oleh pihak lain.
Jadi dalam contoh kasus di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa, seringkali identitas seseorang dipandang sebagai representasi budaya nasional-nya (esensialis). Padahal, cultural identity atau identitas kultural seseorang harus dibaca sebagai image atau gambaran diri yang mereka inginkan dalam waktu tertentu, bukan sebagai bukti budaya esensialis nasional.