Daftar isi
Andi Depu atau yang bergelar Ibu Agung Hajjah Andi Depu merupakan pejuang perempuan dari Sulawesi Barat. Ia dikenal atas keberhasilannya mempertahankan Tinambung, Polewali Mandar dari serangan Belanda.
Berikut akan diuraikan dengan lebih lengkap mengenai riwayat hidup dari Pahlawan Nasional yang pernah mendapat anugerah Bintang Mahaputra tingkat IV dari Presiden Soekarno ini.
Andi Depu lahir dengan nama Sugiranna Andi Sura pada bulan Agustus 1907 di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ayahnya adalah seorang Raja Balanipa ke-50 yang bernama La’u Kanna Idoro. Sementara ibunya bernama Samaturu. Andi Depu sendiri tercatat sebagai raja Balanipa ke-52.
Sebagaimana umumnya putri raja, Andi Depu juga mendapat pendidikan adat istiadat dan kebiasan di istana, seperti cara menjamu tamu dan pembesar kerajaan, cara bergaul dengan orang banyak, dan juga dalam upacara-upacara kerajaan.
Andi Depu sendiri baru keluar dari istana setelah ia menginjak usia 11 tahun. Ketika bergaul dengan orang di luar istana, Andi Depu tidak pernah membeda-bedakan orang. Sifatnya yang baik dan terpuji membuatnya sangat dicintai oleh masyarakat disekitarnya.
Meski lahir dari keluarga bangsawan kerajaan, akan tetapi Andi Depu hanya menyelesaikan pendidikannya pada tingkat VolkSchoal (Sekolah Rakyat) karena kondisi waktu itu di Balanipa hanya ada sekolah VolkSchoal sampai kelas 3 saja. Hal ini dimanfaatkan oleh Andi Depu untuk lebih banyak menghabiskan waktu luangnya dengan memperdalam agama dan bergaul dengan gadis-gadis sebayanya.
Pada tahun 1923, Andi Depu yang menginjak usia 15 tahun dinikahkan dengan Andi Baso Pawiseang dengan adat kerajaan yang disebut Mallari Ada. Dari pernikahan tersebut, Andi Depu dikaruniai seorang putera yang diberi nama Andi Parenrengi yang kelak mendampingi Andi Depu dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Ketika suami Andi Depu, Andi Baso, menjabat sebagai Mara’dia, Andi Depu semakin dekat dan perhatian kepada rakyatnya. Ia menjadi bangsawan yang sangat merakyat dan senantiasa mementingkan kepentingan rakyatnya dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini tentu saja menambah penghormatan rakyat kepadanya.
Sampai suatu ketika terjadi perselisihan paham dan prinsip mendorong Andi Depu untuk memutuskan bercerai dengan suaminya. Hal ini disebabkan karena suaminya tidak sejalan dengan Andi Depu tentang perjuangan kemerdekaan. Bagi sang suami kaum penjajah mustahil untuk dilawan apalagi dikalahkan hanya dengan semangat. Disisi lain, Andi Depu sangat berpihak pada perjuangan bangsa karena keyakinannya akan kemerdekaan.
Pada tahun 1942, ketika pemerintahan kolonial Jepang mendatar di Mandar, Andi Depu justru menyambut mereka dengan mengibarkan bendera merah putih. Setahun kemudian, yakni pada 1943, Andi Depu mempelopori berdirinya Fujinkai atau Barisan Wanita untuk wilayah Mandar.
Pada bulan April 1945, kondisi Jepang tengah terdesak oleh sekutu. Andi Depu kemudian ikut terlibat dalam pembentukan organisasi Islam Muda. Dan ketika Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, Andi Depu berserta rekan-rekannya memiliki andil besar dalam menyebarkan berita proklamasi ke seluruh pelosok Mandar dan sekitarnya.
Kedatangan sekutu pasca proklamasi membuat kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan termasuk wilayah Mandar dan sekitarnya kembali terancam. Menghadapi hal ini, Andi Depu segera menyusun kekuatan bersama rakyat dengan menggunakan istana Balanipa sebagai markas besarnya.
Andi Depu kemudian ditunjuk sebagai ketua dari organisasi Islam Muda yang telah dibentuknya. Bersama-sama dengan laskar dan rakyat Mandar, ia menolak kedatangan kembali Belanda di wilayah Mandar.
Suatu ketika terjadi sebuah peristiwa dimana seorang tentara Belanda menurunkan bendera merah putih dari tiangnya. Hal tersebut menyulut amarah Andi Depu. Berkali-kali Andi Depu dan pasukannya terlibat kontak senjata dengan Belanda, namun berkali-kali pula ia berhasil meloloskan diri.
Pada tahun 1946, Andi Depu berhasil ditangkap oleh pihak Belanda. Ia kemudian dimasukkan ke dalam sel penjara yang lokasinya berpindah-pindah hingga kurang lebih 28 kali. Sampai akhirnya pada tahun 1949, setelah tercapainya kesepakatan penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar (KMB), Andi Depu dibebaskan dari tahanannya.
Setelah dibebaskan dari penjara, Andi Depu kembali ke Mandar dan memimpin kembali bekas wilayah kerajaan Balanipa. Ia mengemban tugas tersebut sampai tahun 1956 sebelum kemudian mengundurkan diri dengan alasan kesehatannya yang terus menurun.
Setelah mundur dari jabatannya, Andi Depu menetap di Makassar agar mudah untuk mendapatkan perawatan. Selama menjalani perawatan dan pemulihan kesehatan tersebut Andi Depu banyak melakukan kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa jabatan yang diembannya tatkala berada di Makassar, seperti:
Selah beberapa hari setelah dirawat di rumah sakit Pelamonia, pada tanggal 18 Juni 1985 Andi Depu menghembuskan napas terakhirnya . Ia kemudian dimakankan di Taman Makan Pahlawan Panaikang Makassar, Sulawesi Selatan.
Atas jasa-jasanya, maka pada tanggal 8 November 2018, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar jasa Pahlawan Nasional yang ditetapkan melalui Keppres No. 123 tahun 2018.
Selain itu, beberapa tanda jasa lain yang pernah diterima Andi Depu, antara lain: