Daftar isi
Siapa yang tidak mengenal Sultan Ageng Tirtayasa, yang merupakan pahlawan nasional di Indonesia asal Banten tersebut. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan Sultan ke 6 dari Kesultanan Banten, yang merupakan kerajaan Indonesia yang beragama Islam. Dimana Kesultanan ini terletak di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Jawa Barat.
Cerita kisah hidup dan perjuangan dari Sultan ini, sangatlah terkenal di rakyat Indonesia. Dimana Sultan Ageng Tirtayasa sangat getol dalam memperjuangkan kesejahteraan dari rakyatnya, terhadap penjajahan dari negara Kerajaan Belanda. Sehingga dapat membuat dia menjadi tokoh pahlawan nasional.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah anak dari Sultan Muda terdahulu yaitu Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (Sultan Banten ke 5 dengan memerintah dari tahun 1647-1650) yang merupakan pewaris tahta Kesultanan Banten dan dari ibu bernama Ratu Martakusuma. Dia lahir di Kesultanan Banten, tahun 1631.
Masa kecil Sultan ini diberi gelar Pangeran Surya dan ketika ayahnya wafat dia diangkat menjadi Sultan Muda (Gelar yang diberikan kepada pewaris tahta, dia akan memerintah bersama-sama dengan Sultan) dengan gelar bernama Pangeran Dipati. Setalah kakeknya wafat pada tahun 1651, dia diangkat menjadi Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sulthan ‘Abdul-Fattah al-Mafaqih.
Sedangkan untuk nama Sultan Ageng Tirtayasa sendiri merupakan berasal dari tindakan dia dalam mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (sekarang Kabupaten Serang). Inilah yang membuat dia sekarang terkenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Abdul Fattah merupakan nama asli dari Sultan Ageng Tirtayasa. Ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad bin Sultan Abdul Mufakhir bin Sultan Maulana Muhammad Nashrudin bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yang merupakan Sultan Banten Kelima.
Jadi dapat dikatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa merupakan turunan dari Sunan Gunung Jati. Sultan Ageng Tirtayasa juga merupakan cucu dari Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul yang merupakan Sultan Banten Keempat yang memerintah pada tahun 1596–1651.
Sedangkan ibu dari Sultan Ageng Tirtayasa adalah Ratu Marta Kusuma, yang merupakan anak dari Pangeran Jayakarta. Dia memiliki 4 saudara dari ibu yang sama yaitu Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Radja. Sedangkan saudara dari ibu yang berbeda yang bernama Ratu Wetan adalah Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten, dan Ratu Tinumpuk.
Tirtayasa sendiri lahir pada tahun 1637, yang diberi nama Pangeran Surya. Nama itu memiliki arti “Matahari Terbit”. Serta dia terkenal mempunyai wajah yang tampan dan juga cerdas, lincah, mudah bergaul, dan sopan. Sehingga dia terlihat berbeda dari saudara-saudaranya yang lain.
Oleh karena itulah dia dianggap orang tuanya, cocok untuk menjadi calon pewaris tahta dari Kesultanan Banten. Tetapi menurut hukum ahli waris dari Kesultanan Banten, dia tidak bisa naik tahta sebelum ayahnya Sultan Abu Al-Mu’ali naik tahta.
Namun, ketika ayahnya wafat tahun 1650 sebelum naik tahta, maka secara otomatis menurut garis suksesi yang menjadi Sultan Banten berikutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Karena itulah Tirtayasa diangkat menjadi Sultan Banten berikutnya dengan gelar bernama Sultan Abdul Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau Pangeran Ratu Ing Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan penguasa Kesultanan Banten yang berkuasa tahun 1651-1683. Dia merupakan Sultan yang banyak melakukan perlawanan terhadap penjajahan Kerajaan Belanda. Karena pada saat itu VOC perusahaan Kerajaan Belanda menerapkan perjanjian monopoli terhadap perdagangan yang ada di Kesultanan Banten.
Hal ini tentu saja sangat merugikan perdagangan Kesultanan Banten. Karena itulah Sultan Ageng Tirtayasa sangat menolak perjanjian tersebut, sehingga dia membuat Kesultanan Banten menjadi pelabuhan terbuka.
Karena Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai cita-cita membuat Kesultanan Banten menjadi Kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Untuk urusan bidang ekonomi sendiri, Tirtayasa sangat ingin meningkatkan kesejahteraan dari rakyatnya dengan cara membuka area persawahan baru dan membangun saluran irigasi yang lebih baik.
Untuk bidang keagamaan sendiri, dia menunjuk Syekh Yusuf menjadi mufti Kesultanan Banten dan juga penasehat dia. Saat terjadi konflik antara dia dengan Putera Mahkota yaitu Sultan Haji. Pihak Belanda ikut campur dengan cara membuat aliansi dengan Sultan Haji, yang bertujuan untuk menurunkan Sultan Ageng Tirtayasa dari tahta Kesultanan Banten.
Saat Tirtayasa melakukan pengepungan terhadap pasukan Sultan Haji di wilayah Sorosowan atau Banten, pihak Belanda memberikan bantuan dengan mengirim pasukan diatas komando dari Kapten Tack dan Saint-Martin
Tirtayasa diangkat menjadi Sultan pada tahun 1651, dia menggantikan kakeknya karena ayahnya meninggal sebelum bertahta. Karena kekuasaan Kesultanan Banten yang cukup luas, mencangkup daerah Banten sampai lampung, Solebar, Bengkulu, dll. D
ia membuat para penggawa-penggawa untuk mengawasi wilayah tersebut. Dimana para penggawa ini pada waktu tertentu akan diwajibkan untuk datang ke Kesultanan Banten. Dimana mereka akan berkumpul di tempat kediaman Mangkubumi di daerah Kemuning di seberang sungai, untuk melaporkan kondisi dan keadaan daerah mereka masing-masing.
Setelah itu mereka akan menghadap Sultan Banten di Istana Surosowan, untuk diberikan wejangan dan pesan kepada rakyat di daerah masing-masing. Untuk pengaturan pelatihan terhadap angkatan perang sendiri, dia menyerahkannya kepada Mangkubumi dan Pangeran Madura untuk mengatur dan mengawasi pelatihan dan prajurit Banten itu sendiri.
Dimana senjata yang dipakai adalah senapan, meriam, keris, dan tombak. Selain itu dia juga membeli senjata dari Batavia dan wilayah lainnya. Untuk rumah para senopati dan penggawa dia akan menempatkannya sedemikian rupa, agar pada saat terjadi serangan, mereka bisa dengan cepat mengontrol prajuritnya untuk menyerang balik.
Inilah kenapa yang membuat letak rumahnya tak terlalu jauh dari Istana, agar Sultan bisa dengan cepat menyampaikan intruksinya. Apabila terjadi serangan terhadap Kesultanan Banten. Karena hal inilah yang membuat bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah ahli strategi yang baik.
Dimana dia sudah terbukti, karena dia mengatur strategi gerilya pada saat perang dengan Belanda di Batavia. Tirtayasa juga tidak akan melupakan hubungan diplomatik dengan negara lain. Dimana dia berhubungan diplomatik dengan Muttasharifat Hejaz yang merupakan perwakilan dari Kesultanan Utsmaniyah.
Tirtayasa menyadari hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk memperkokoh kekuatan umay Islam dalam melawan ekspansi dari dunia Barat ke wilayah Timur Jauh. Tirtayasa juga sering membuat musyawarah dengan para pembesar Kesultanan, seperti Pangeran Madura, Pangeran Mangunjaya, dan Mas Dipaningrat.
Salah satunya adalah musyawarah untuk menentukan utusan perwakilan Kesultanan Banten ke Kesultanan Utsmaniyah. Dimana Santri Betot dipilih untuk menjadi perwakilan Kesultanan Banten ke ibu kota dari Muttasharifat Hejaz.
Delegasi Kesultanan Banten memiliki tujuan untuk melaporkan pergantian Sultan dan menceritakan hubungan yang tegang antara Kesultanan Banten dengan VOC Belanda. Tirtayasa juga meminta dikirimnya guru agama ke Banten kepada Sharif Makkah, yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan Islam kepada rakyat Banten.
Dimana permintaan Tirtayasa kepada Sharif Makkah disetujui, dengan mengirimkan utusan bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Karena hal inilah Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Abdul Fattah dari Sharif Makkah. Agar Tirtayasa lebih memantapkan kekuasaannya, dia melakukan pembaruan terhadap Dewan Agung yang merupakan organisasi penasihat Sultan.
Dengan cara mengurangi kekuasaan dari Dewan Agung itu sendiri. Sehingga segala keputusan pemerintahan akan dikeluarkan oleh dia dan dibantu oleh para penasihat terpercayanya. Pada tahun 1674 dia memindahkan para anggota Dewan Agung ke Istana Surasowan, dekat dengan pantai di wilayah Teluk Banten, dengan alasan keamanan. Hal ini memiliki arti politik yaitu bahwa Sultan Ageng Tirtayasa siap dan matang untuk memerintah.
Karena hal inilah, membuat Kesultanan Banten menjadi lebih baik dari segi bidang politik, sosial budaya, dan perekonomian. Terutama dalam bidang perdagangan, dimana Kesultanan Banten mengalami perkembangan yang signifikan. Sehingga membuat VOC merasa terancam.
Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan berbagai strategi untuk melakukan pemulihan terhadap Banten dari segi perdagangan Internasional, seperti:
Sultan Ageng Tirtayasa juga adalah orang yang antipati dengan Kerajaan Belanda. Sehingga dia tak segan-segan untuk melakukan penyerangan secara gerilya dari darat maupun laut untuk menghancurkan pertahanan Belanda di Batavia. Aksi ini dia lakukan terhadap kapal-kapal perdagangan dari Belanda.
Pada saat tua, Tirtayasa membangun Istana di daerah Pontang dekat dengan Tirtayasa. Dengan tujuan untuk tempat peristirahatan, serta benteng pengintaian terhadap wilayah Belanda di Tangerang dan Batavia.
Pada saat memerintah Sultan Ageng Tirtayasa aktif dalam melakukan hubungan diplomatik untuk mengajak kerjasama dengan berbagai Kerajaan yang ada disekitarnya, baik di dalam negeri Indonesia maupun negara asing, seperti: Utsmaniyah, Inggris, Aceh, Prancis, Makassar, Arab, dan Kerajaan lainnya.
Pada tahun 1677, Kesultanan Banten bekerja sama dengan Trunojoyo dalam melawan Kesultanan Mataram. Tirtayasa juga melakukan hubungan diplomatik dengan Kerajaan seperti Makassar, Bangka, Cirebon, dan Inderapura.
Tirtayasa juga melakukan hubungan perdagangan dengan Kerajaan Eropa lainnya, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.
Dimana pada saat itu tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengirim Francois Caron untuk melakukan ekspedisi perdagangan ke Kesultanan Banten dan misi tersebut berhasil. Sehingga membuat terjadi hubungan perdagangan yang menguntungkan antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Prancis.
Dimana Kesultanan Banten ternyata mempunyai hubungan yang baik dengan Kerajaan Inggris, hal itu sudah terjadi sejak jaman Sultan Abdul Mafakhir. Karena Sultan Abdul Mafakhir mengirim surat ucapan selamat atas penobatan dari Raja Charles I sebagai Raja Inggris.
Hal itulah yang membuat Kesultanan Banten mempunyai hubungan persahabatan dengan Kerajaan Inggris. Serta saat pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pun Kesultanan Banten masih berhubungan baik dengan Kerajaan Inggris.
Untuk urusan keluarga, Sultan Ageng Tirtayasa menurut banyak cerita bahwa dia memiliki banyak Istri. Tetapi yang paling terkenal adalah Nyai Ratu Gede dan Ratu Nengah. Dimana Nyai Ratu Gede adalah anak dari salah satu penggawa dari Kesultanan Banten.
Sedangkan untuk Ratu Nengah merupakan anak dari Pangeran Kasunyatan. Dimana dia menikah dengan Ratu Nengah saat istri pertama Tirtayasa meninggal. Serta Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 30 orang anak, sebagai berikut:
Sultan Ageng Tirtayasa meninggal pada tahun 1683 di dalam penjara. Dimana dia tertangkap oleh VOC dan dipenjara di Batavia. Dia dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-Raja Banten di sebalah utara dari Masjid Agung Banten, Banten Lama.
Karena jasa-jasanya dalam melawan penjajahan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa diberikan gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan Republik Indonesia dengan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.
Nama dia juga diabadikan menjadi nama dari perguruan tinggi di Indonesia, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.