Daftar isi
Ilmu sosiologi memelajari banyak hal dan sisi kehidupan masyarakat dan bahkan karakteristik masyarakat itu sendiri. Salah satu kajian yang penting untuk dibahas dan dipahami adalah anomie atau anomi, yakni suatu istilah yang menggambarkan situasi masyarakat tanpa adanya norma.
Sederhananya, anomie disebut juga sebagai perilaku penyimpangan sosial, entah oleh individu atau suatu kelompok di tengah masyarakat. Karena menyimpang, maka dampak yang diberikan dari perilaku-perilaku tersebut bagi diri pelaku sendiri maupun masyarakat luas adalah secara negatif.
Menurut Emile Durkheim sebagai salah satu pencetus sosiologi modern, anomie adalah kehidupan sosial tanpa adanya pedoman, arahan, atau norma yang mengatur perilaku individu maupun kelompok dengan baik.
Penggambaran lain olehnya adalah bahwa individu dapat mengalami keterasingan ketika berada dalam lingkup sosial masyarakat. Menurut Robert King Merton sebagai seorang ahli sosiologi dari Amerika sekaligus sosok bapak penemu sosiologi modern.
Anomie adalah perilaku menyimpang yang dapat menjadi suatu kebiasaan bagi individu agar tujuannya tercapai. Merton menggambarkan anomie sebagai kondisi sosial karena manusia menggunakan cara-cara yang kurang tepat untuk pencapaian tujuan.
Berikut ini adalah sederet contoh kasus teori anomie yang pada dasarnya mudah dijumpai di kehidupan sehari-hari.
1. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN merupakan hal terlarang yang bahkan sudah teramat umum dilakukan di Indonesia. Korupsi bukan hal baru di tanah air, mulai dari korupsi uang yang jumlahnya sedikit dan di instansi kecil hingga korupsi yang lebih besar dan terjadi di pemerintahan.
Walau dinyatakan sebagai perilaku terlarang, tercela, buruk atau negatif dan bahkan terdapat ancaman hukuman penjara, masih banyak individu maupun kelompok yang berani dan tidak kapok melakukan korupsi. Tidak sekadar merugikan diri sendiri dan keluarga sang pelaku, KKN tetap dapat memberi kerugian bagi orang lain.
Salah satu contoh nyata dan sempat menjadi berita besar adalah tindakan korupsi e-KTP. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, rakyat banyak yang tidak lagi percaya kepada anggota dewan. Melunturnya kepercayaan ini kemudian juga terjadi pada pejabat-pejabat lainnya yang mungkin saja lebih bermoral.
2. Upacara Bendera sebagai Ritualisme Semata
Baik SD, SMP, maupun SMA, setiap sekolah memberlakukan upacara bendera yang biasanya dilakukan setiap Senin pagi. Hal ini tercantum di dalam Pedoman Upacara Bendera di Sekolah menurut Permendikbud No.22 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa upacara bendera yang dilakukan rutin di sekolah bertujuan menanamkan rasa tanggung jawab, kepercayaan diri, kerja sama, serta kedisiplinan.
Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada para siswa-siswi sekolah sejak dini sebagai bagian dari tujuan pendidikan yang baik. Upacara bendera juga pada dasarnya mengajarkan anak-anak sejak kecil untuk menghormati negara tanah air kita.
Upacara bendera juga menjadi sebuah upaya peringatan akan perjuangan para pahlawan yang memerdekakan dan membentuk bangsa kita. Namun, banyak anak kurang memahami makna upacara bendera yang dilakukan rutin di sekolah dan hanya melakukan sebagai bentuk ketaatan terhadap peraturan sekolah saja.
Para siswa biasanya hanya mengikuti upacara bendera secara tertib karena ritualisme semata. Banyak yang tidak memiliki semangat nasionalisme saat melakukannya atau bahkan tidak memahaminya sama sekali. Beberapa siswa bahkan justru kerap berbohong (beralasan sakit) untuk menghindari upacara bendera.
3. Pelanggaran APILL
Contoh anomie lainnya yang secara nyata bisa dijumpai di sekitar kita adalah orang-orang yang melanggar Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL). APILL dengan kata lain yang lebih awam adalah rambu lalu lintas, yakni meliputi rambu larangan, rambu peringatan, rambu petunjuk, rambu perintah, rambu nomor rute, serta rambu papan tambahan.
APILL secara keseluruhan mengatur dan mengendalikan ketertiban setiap pejalan kaki maupun pengemudi roda dua dan roda empat. Namun kenyataannya, rambu lalu lintas justru kerap diabaikan sekalipun masyarakat tahu betapa pentingnya menaati peraturan lalu lintas.
Mematuhi rambu-rambu lalu lintas tidak hanya menjamin keselamatan diri sendiri saat berjalan kaki atau berkendara, tapi juga menjaga keselamatan orang lain (setidaknya agar tidak merugikan pihak lain) di jalan. Namun, bahkan lampu merah saja kerap diterobos padahal lampu belum berubah hijau dan kendaraan belum boleh jalan.
Bukan hanya lampu lalu lintas, pelanggaran APILL yang merupakan contoh anomie nyata adalah ketika seseorang justru memarkir kendaraannya di area yang sudah dipasang rambu larangan parkir. Atau pada kasus lain, seperti pengendara sepeda, motor, maupun mobil yang justru berada di jalur busway dengan tujuan menghindari kemacetan di jalur biasa.
4. Tawuran dan Penggunaan Narkoba di Kalangan Pelajar
Perilaku penyimpangan sosial juga kerap terjadi pada pelajar, khususnya dalam bentuk tawuran antar pelajar (baik satu sekolah maupun berbeda sekolah). Anak-anak remaja yang umumnya sedang mencari jati diri, namun ketika kehilangan pedoman atau panduan (khususnya dari orang tua), mereka dapat mengalami krisis identitas.
Walau tidak semua, pelajar yang melakukan tawuran umumnya didasari oleh faktor ketidakharmonisan keluarga. Lingkungan keluarga yang tidak sehat di mana ia tidak memperoleh perhatian, dukungan dan arahan yang cukup dan seharusnya dari orang tua, maka ia akan mudah mencari perhatian di luar dengan cara-cara negatif.
Tidak adanya komunikasi yang baik antar anak remaja dengan orang tuanya juga sangat berisiko membuat anak salah pergaulan dan berakhir menggunakan obat-obatan terlarang. Penggunaan narkoba bukan hanya karena kontrol diri yang lemah, tapi alasan dibalik itu bisa berakar dari lingkungan keluarga.
5. Pernikahan Usia Muda
Pernikahan dini atau usia muda kini bukan lagi zamannya dan ketika dijumpai kasus seperti ini, maka hal ini termasuk di dalam contoh kasus teori anomie. Ketentuan mengenai pernikahan usia muda, khususnya di bawah umur kini telah tercantum di dalam Undang-Undang hukum di Indonesia.
Tidak seperti zaman dulu kakek-nenek kita yang menikah di usia belasan tahun, bahkan belum mencapai 17 tahun dan dianggap normal. Kini UU No.16 tahun 2019 telah mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pria maupun wanita minimal sudah berusia 19 tahun.
Maka ketika melanggar UU tersebut, akan ada sanksi berupa denda yang jumlahnya tidak sedikit. Meski begitu, pernikahan usia muda masih banyak ditemukan di Indonesia, khususnya di pedesaan dan daerah-daerah terpencil karena meneruskan adat istiadat yang sudah ada.
Unsur budaya yang kuat dan masih dilestarikan oleh warga lokal tidak mudah dipecah dan hal ini menjadi suatu alasan yang seolah tak bisa dibantah atau diabaikan untuk menikahkan anak di bawah umur. Selain itu, pernikahan usia muda karena sang perempuan hamil lebih dulu juga memicu pernikahan dini yang tidak dapat terhindarkan.
Seringkali pasangan remaja yang dimabuk cinta dapat melakukan hal-hal di luar norma. Dan demi menutupi aib kedua pihak keluarga pasangan remaja, sekalipun pria dan wanitanya masih di bawah umur, keduanya harus dinikahkan.