Sosiologi

5 Contoh Sosiologi Bersifat Empiris dalam Kehidupan

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Sosiologi sebagai ilmu yang memelajari manusia dan berbagai sisi dan seluk-beluk kehidupan sosial masyarakat memiliki beberapa ciri khusus. Dikenal dengan sifat kumulatif, teoretis, dan nonetis, ciri lain yang khas dari sosiologi adalah sifat empirisnya.

Sifat empiris menggambarkan sosiologi sebagai ilmu yang mengedepankan observasi dan logika, bukan sekadar asumsi dan spekulasi belaka. Ilmu sosiologi bersifat empiris berfokus pada kenyataan yang ada di tengah masyarakat, baik kehidupan individu maupun kelompok tertentu dan pada observasinya lebih mengandalkan akal sehat.

Karena observasi berdasarkan kenyataan dan logika, hasil kajian menjadi lebih spesifik. Dan karena obyek kajian bukan hanya asumsi, hasilnya bisa dipertanggungjawabkan di masa mendatang. Berikut contoh sosiologi bersifat empiris dalam kehidupan sehari-hari yang mudah dijumpai di sekeliling kita.

1. Fenomena Kemiskinan

Menurut data Badan Pusat Statistik per Maret 2023, dilaporkan adanya 26,36 juta total jumlah penduduk yang berada dalam kemiskinan yang diketahui telah menurun bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin September tahun 2022.

Dari data tersebut maka dapat disimpulkan secara jelas bahwa contoh nyata bukti sosiologi bersifat empiris adalah fenomena kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi saat individu, keluarga atau kelompok tertentu hidup dalam kekurangan, baik itu dari segi sandang, pangan maupun papan (dari mulai pakaian, makanan, sampai dengan tempat tinggal).

Kemiskinan dapat ditunjukkan dari bagaimana seseorang atau sebuah kelompok tidak memiliki kehidupan yang layak dari ketiga hal wajib yang harus dipenuhi tersebut. Selain dari ketidakmampuan dalam memenuhi ketiga faktor tersebut, kemiskinan juga erat kaitannya dengan kesehatan yang kurang layak dan pendidikan yang rendah.

Kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh harga barang-barang pokok yang kini semakin melambung, melainkan juga dapat didasari oleh faktor sifat malas, pendidikan rendah, dan sedikitnya lowongan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan individu.

2. Negara Demokrasi

Menurut catatan sejarah Indonesia, masa-masa kemerdekaan Republik Indonesia belum mengenal proses demokratisasi. Usai masa revolusi kemerdekaan RI di tahun 1945 hingga 1949, Indonesia memasuki masa pemerintahan parlementer sampai dengan tahun 1959.

Dari tahun 1959, Indonesia berada di bawah sistem pemerintaah demokrasi terpimpin sebelum akhirnya beralih ke pemerintahan order baru (zaman Presiden Soeharto) tahun 1965 sampai 1998. Sistem politik Indonesia mengalami sebuah transisi atau peralihan sejak peristiwa 1998 di mana kekuasaan Soeharto berakhir dan berpindah tangan ke B.J. Habibie.

J. Habibie yang sebelumnya merupakan wakil presiden Soeharto kemudian menjabat sebagai presiden menggantikan Soeharto pada 21 Mei 1998. Masa ini merupakan proses Indonesia memasuki masa pemerintahan orde reformasi yang menjunjung demokrasi.

Yakni masa ketika sebagian besar warga Indonesia usia dewasa memiliki hak untuk turut campur tangan dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemerintahan Indonesia.

3. Budaya Gotong-royong

Masyarakat Indonesia tidak hanya terkenal karena keramah-tamahannya, tapi juga karena budaya dan tradisi gotong-royong yang tidak pernah luntur. Gotong-royong termasuk karakter kuat dari masyarakat Indonesia demi memperoleh hasil yang diinginkan menjadi salah satu bukti atau contoh empiris.

Contoh spesifik dari tradisi gotong-royong sebagai sosiologi bersifat empiris adalah tradisi “rewang” yang terkenal di Jawa. “Rewang” adalah suatu tradisi bantu-membantu antar tetangga, khususnya yang masih tinggal di pedesaan atau perkampungan.

Jika tetangga ada yang menggelar acara besar, seperti pesta pernikahan atau bahkan ada yang meninggal, tetangga-tetangga lain yang tinggal di sekitar akan membantu proses acara tersebut, mulai dari memasak, menata kursi dan meja, atau pekerjaan lain yang sekiranya dapat membantu tetangga yang punya acara.

4. Perdagangan Orang

Tindak pidana satu ini lebih banyak memakan korban perempuan dan anak-anak yang berkaitan dengan eksploitasi seksual maupun eksploitasi seperti perbudakan dan kerja paksa. Walau pria juga turut menjadi korban perdagangan orang.

Menurut laporan tahun 2015-2019 oleh GTPP-TPPO (Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang), jumlah korban pria adalah 329 orang dan jumlah korban wanita jauh lebih banyak dengan angka mencapai 2.319 orang.

Dari hasil laporan tersebut menunjukkan bahwa jumlah korban perempuan dalam tindak pidana perdagangan orang sempat semakin meningkat di Indonesia. Namun di tahun 2021, terlihat adanya pengurangan jumlah kasus ini menurut data laporan Penyusunan Program, Laporan, dan Penilaian-Pidana Umum Kejaksaan Republik Indonesia.

Lagi-lagi faktor seperti pendidikan rendah, pengangguran dan kemiskinan menjadi alasan dibalik maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak. Terlebih kasus sempat berpotensi meningkat karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman korban, bagaimana dan ke mana harus melapor bila mengalami kasus tersebut secara langsung.

Banyak korban mengaku tidak tahu-menahu perihal hukum dan ketakutan mereka atas ancaman yang ada membuat para korban memilih berdiam diri.

5. Tingkat Kriminalitas

Walaupun setiap negara memiliki masalah kriminalitas yang tergolong umum, nyatanya Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia dalam kategori negara dengan tingkat kriminalitas paling tinggi. Tingginya angka kriminalitas kerap dikaitkan dengan kehidupan ekonomi yang kurang, atau dengan kata lain disebut dengan kemiskinan.

Namun untuk lebih tepatnya, faktor penyebab tingkat kriminalitas di Indonesia yang tinggi adalah pengangguran dan pendidikan. Tingkat pengangguran yang tinggi dan tingkat pendidikan rendah menjadi suatu alasan seseorang menipu dan mencuri untuk bertahan hidup.

6. Kemacetan

Kemacetan bukan hal baru yang dijumpai di Indonesia, khususnya jika datang ke Daerah Khusus Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Selain dikarenakan pertumbuhan penduduk yang angkanya terus meningkat drastis hingga penduduk di sana terkesan membludak, faktor banyaknya pendatang juga sangat memengaruhi.

Hal ini turut menjadi salah satu contoh sosiologi bersifat empiris karena merupakan kejadian yang terbukti nyata; kini kemacetan bahkan tidak hanya dijumpai di Jakarta, tapi juga kota-kota besar lainnya di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Sosiologi bersifat empiris dalam kehidupan masyarakat sangat mudah dijumpai, mulai dari kemiskinan hingga perihal kemacetan.