Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 pihak Belanda masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Kehadiran pasukan sekutu yang membonceng NICA (Netherlands Indies Civil Administration) memiliki tujuan ingin menguasai kembali wilayah Indonesia atau nusantara, sehingga Belanda melakukan dua kali agresi militer.
Agresi militer Belanda I berakhir melalui perundingan Renvile pada tahun 1947. Pada agresi militer Belanda II pihak Belanda ingin menaklukan Ibukota Yogyakarta. Namun, agresi militer tersebut ternyata menjadikan kedudukan pihak Belanda semakin tereliminasi.
Pihak Belanda dipimpin oleh Dr. J.H Van Roijen dan pihak Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem atas prakarsa dari UNCI (United NationsCommission for Indonesia) yang dilaksanakan di Hotel Des Indes, Jakarta. Isi dari perundingan Roem Royen yaitu:
Banyak dampak positif setelah tercapainya persetujuan perjanjian Roem Royen diantaranya yaitu:
1. Pemerintah negara Republik Indonesia pulih kembali dan Ibukota Yogyakarta kembali
Kedatangan presiden disambut baik oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Para pimpinan dan pejabat PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) bergegas mempersiapkan diri menuju Ibukota Yogyakarta. Di kota istimewah tersebut, pemerintahan Indonesia menjalankan roda pemerintahan dan persiapan menghadapi momentum lainnya dalam memulihkan semua aspek kehidupan bangsa.
2. Setelah pasukan Belanda meninggalkan Yogyakarta tugas pengamanan Ibukota RI dan sepenuhnya berada di TRI
TRI (Tentara Republik Indonesia) masih tetap eksis bahkan TRI sudah diinstruksikan untuk mengambil alih tugas pertahanan dan keamanan dari tentara Belanda, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) mengakui batas-batas wilayah Republik berdasarkan hasil perjanjian Renvile.
3. Membuat keresahan publik tanah air dalam menyikapi persetujuan perjanjian tersebut
Mohammad Natsir dan Masyumi mengundurkan diri sebagai seorang delegasi karena tidak menyetujui perundingan tersebut, kalangan militer juga tidak setuju terhadap persetujuan tersebut karena dianggap sebagai persetujuan atas kekalahan perang belaka.
4. Persetujuan perundingan Roem Royen juga berdampak pada situasi politik Republik Indonesia
Pada bulan Juni 1949 diadakan perundingan formal antara pihak pemerintah Belanda, pihak Republik Indonesia dan pihak BFO dibawah pengawasan komisi LBB. Sebuah konferensi politik juga dilakukan di Yogyakarta pada bulan Juli 1949.
Dalam konferensi tersebut negara federal memiliki hak yang sama dengan pihak Republik karena rasa hormat mereka atas perlawanan Republik dan rasa kecewa mereka atas kelalaian pemerintah Belanda dalam menyerahkan kekuasaan.
5. Sedikit demi sedikit akhirnya penyerahan kekuasaan militer bagi Republik Indonesia Serikat
Penyerahan kekuasaan militer diurus oleh Sultan Hamnegkubuwana ke-IX sebagai koordinator keamanan pada saat itu. Namun masih ada beberapa wilayah yang masih bergolak sehingga dalam proses penyelesaiannya pihak TRI mengalami perlawanan dari pasukan sparatis setempat.
Dalam peta politik internasional dan masyarakat di negeri Belanda beropini bahwa agresi militer Belanda II itu hanya ingin melanjutkan agresi militer pertamanya yang diberhentikan oleh Dewan Keamanan Liga Bangsa-Bangsa.
Setelah LBB mempertimbangkan hubungan antar kedua negara yaitu negara Indonesia dan negara Belanda yang semakin tidak harmonis, akhirnya LBB mendesak pemerintah Belanda untuk melakukan perundingan dengan pihak Republik Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan.
Sebelumnya LBB telah mengeluarkan sebuah resolusi pada tahun 1947 mengenai permasalahan agresi militer Belanda I dimana Dewan Keamanan menyerukan kepada kedua pihak untuk segera mengakhiri tindakan permusuhan dan menyelesaikan sengketanya dengan cara damai.
Atas dasar resolusi tersebut pada akhirnya konflik bersenjata antara pihak Belanda dengan pihak Republik Indonesia berakhir melalui jalur diplomasi yaitu dengan mengadakan perundingan Roem Royen pada tanggal 14 April 1949.