Kali ini kita akan membahas tentang Ekonomi Institusional. Apakah itu? Berikut penjelasannya.
Pengertian Ekonomi Institusional
Ekonomi institusional secara umum adalah sebuah mazhab pemikiran dalam ilmu ekonomi yang berisi pandangan bahwa perilaku ekonomi (economic behavior) seseorang atau suatu pihak sangat dipengaruhi oleh institusi tertentu.
Institusi sendiri dalam hal ini memiliki arti yang cukup luas dan secara singkat dapat didefinisikan sebagai “aturan main” dalam suatu kelompok masyarakat, baik yang sifatnya formal maupun informal, yang sengaja disusun untuk membatasi atau mengatur hubungan antar manusia yang ada dalam kelompok masyarakat tersebut.
Institusi formal dapat berupa peraturan, regulasi, hukum perundangan dll; sementara institusi informal dapat berupa konvensi, tren, budaya, dsb. Dengan demikian institusi di sini tidak sama dengan organisasi.
Mazhab Institusional pada awalnya muncul sebagai sanggahan terhadap pandangan atau mazhab ekonomi neo-klassik yang menyatakan bahwa perilaku ekonomi seseorang adalah semata-mata didasarkan pada keinginan setiap individu untuk memaksimalkan keuntungan (maximizing profit behaviour).
Tokoh Ekonomi Institusional
Istilah “ekonomi institusional” (institutional economics) pertama kali diperkenalkan oleh Walton Hamilton pada tahun 1919. Namun tokoh-tokoh awal yang secara konvensional dianggap sebagai pendiri mazhab institusional dalam ekonomi diantaranya adalah Thorstein Veblen, Wesley Mitchell, dan John R. Commons (Rutherford, 2001).
Pandangan tokoh-tokoh awal mazhab institusional tersebut menekankan beberapa isu antara lain: perubahan teknologi (technological change), aspek psikologi dan aspek hukum adalah aspek-aspek yang harus diikutsertakan dalam analisis ekonomi.
Pada awalnya pandangan ini cukup berkembang karena dianggap lebih merepresentasikan dunia nyata (karena memiliki bukti empiris).
Namun dalam perjalanannya, perkembangan mazhab ini mengalami kemandekan (stagnation) bahkan cenderung ditinggalkan karena tidak adanya pembahasan lebih lanjut dari para pendukung mazhab ini yang pada akhirnya mampu membentuk dan memberikan landasan teori yang kuat.
Disamping itu, perkembangan mazhab neo-klassik yang secara luas mulai mengembangkan alat ekonometrik dalam analisisnya serta perkembangan mazhab ekonomi kesejahteraan (Welfare Economics) yang diusung oleh J.M. Keynes, membuat mazhab institusional menjadi semakin tertinggal karena dengan alat-alat analisis tersebut mazhab neo-klassik menjadi dianggap mampu untuk memberikan penjelasan secara empirik.
Meski demikian, semenjak tahun 1970-an, mazhab ekonomi institusional mengalami kebangkitan lagi. Namun mazhab ekonomi institusional yang bangkit belakangan tersebut tidak sepenuhnya sama dengan mazhab ekonomi institusional yang dibawa oleh Veblen dkk.
Hal ini menyebabkan mazhab institusional yang muncul belakangan tersebut sering dinamakan sebagai mazhab institusional baru (New Institutional Economics) sementara pandangan Veblen dkk selanjutnya sering disebut sebagai mazhab institusional lama (Old institutional economics).
Tokoh-tokoh yang mengembangkan mazhab institusional baru ini di antaranya adalah: Ronald Coase, Oliver Williamson, Doughlas North, dan Harold Demsetz.
Contoh Ekonomi Institusional
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dalam pemikiran ekonomi Institusional Veblen mengatakan bahwa pola perilaku masyarakat mengalami perubahan baik itu dalam berproduksi maupun mengkonsumsi, di mana dalam mengkonsumsi mereka memprioritaskan kesenangan dan foya-foya dalam konsumsi sehingga menyebabkan munculnya kelompok leisure class.
Kemudian dalam berproduksi menurut Veblen pengusaha cenderung bersifat absentee ownership, di mana dalam mengembangkan usahanya mereka hanya berdiam diri sedangkan yang menjalankan usahanya tenaga professional yang digaji.
Pola perilaku seperti di atas terjadi pada masyarakat Amerika, tetapi tidak menutup kemungkinan pola perilaku seperti itu juga terjadi pada masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dengan adanya teori dari Veblen itu, sehingga kita tahu bahwa sebenarnya pola perilaku masyarakat juga perlu diatur baik itu dalam berproduksi maupun dalam mengkonsumsi.
Sedangkan menurut pendapat Imam asy-Syatibi maqashid al syariah (kemaslahatan) akan terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat terwujud dan terpelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kemaslahatan mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Di mana konsep motivasi itu lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berperilaku.
Motivasi itu didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dan dorongan.
Bila dikaitkan dengan konsep maqashid al- syariah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam motivasi dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi.
Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.
Apabila manusia termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras, maka hal itu akan mampu meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Jadi, terdapat perbedaan pandangan antara Veblen dengan Imam asy- Syatibi mengenai perilaku konsumen dan perilaku produsen.
Kalau menurut Veblen tujuan hidup manusia untuk kesenangan dan kesejahteraan dunia belaka, sedangkan menurut Imam asy-Syatibi dalam Islam kita tidak hanya memikirkan kesejahteraan dunia semata, tetapi kita juga memikirkan kesejahteraan untuk akhirat.