6 Fakta Menarik Hutan Adat Papua

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Hutan Adat adalah istilah untuk hutan yang terletak di dalam wilayah masyarakat hukum adat, maka hutan ini merupakan tanggung jawab masyarakat setempat secara turun-temurun. Hutan Adat bukan milik pemerintah dan bukan milik negara, melainkan hak masyarakat di wilayah tempat hutan itu tumbuh.

Sebagai satu dari lima skema perhutanan sosial, terdapat 65 unit hutan adat yang tersebar di seluruh Indonesia sesuai ketetapan Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada tahun 2019.  Hutan adat menurut undang-undang kehutanan adalah kawasan yang ada di bawah pengelolaan masyarakat adat dengan berpegang pada pedoman institusi adat.

Salah satu wilayah dengan hutan adat adalah Papua dan berikut ini adalah sejumlah fakta menarik Hutan Adat Papua yang dapat diketahui.

1. Menjadi Harapan Terakhir untuk Hutan Indonesia

Dahulu jika melihat pada peta Indonesia, Pulau Kalimantan menjadi yang paling hijau karena penuh dengan hutan. Hal ini menjadi alasan mengapa pulau ini termasuk paru-paru dunia karena luas wilayahnya saja sampai kurang lebih 40,8 juta hektar walaupun kini diketahui semakin menyempit.

Deforestasi menjadi alasan mengapa Kalimantan kehilangan sebagian besar wilayah hutannya. Dari 40,8 juta hektar, pada tahun 2010 luas wilayahnya menjadi kurang lebih 25,5 juta hektar saja karena proses deforestasi setiap hari sehingga harapan terakhir bagi hutan Indonesia beralih pada wilayah hutan di Papua.

Papua Nugini yang dikenal sebagai pulau paling besar kedua di dunia dengan dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat menyumbang wilayah hutan yang sangat luas. Terdapat 7 hutan adat yang sejak dulu sudah ditetapkan di Papua, lalu pada tahun 2023 perwakilan sekaligus pemimpin masyarakat adat menyampaikan adanya 10 usulan hutan adat lainnya.

2. Mengalami Kehilangan Hutan Secara Legal

Deforestasi adalah hal serius yang meskipun legal mampu menghabisi jumlah hutan di Indonesia secara perlahan namun pasti. Meski terdapat batasan konsesi legal, deforestasi sangat dapat dilakukan di luar izin yang telah disetujui, terutama bila ada kesepakatan tertentu pada pemilik konsesi yang tidak diketahui.

Walau menjadi harapan terakhir bagi hutan Indonesia, Papua Barat sendiri mengalami lonjakan tingkat kehilangan hutan di tahun 2015. Pencurian dan penggusuran hutan secara ilegal meski meresahkan setidaknya hanya kasus sebagian kecil saja, sedangkan rata-rata terjadi secara legal.

Deforestasi baik secara legal maupun ilegal pada dasarnya sama-sama dapat merugikan. Deforestasi yang direncanakan dan diterapkan pada luas wilayah hutan yang terlalu besar tetap mampu mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang bahayanya bahkan bersifat permanen.

3. Melakukan Perlindungan Lahan Gambut Mendukung Pengurangan Emisi Karbon

Kasus kehilangan hutan di Papua Barat terjadi lebih serius di lahan non-gambut daripada hutan di lahan gambut. Walau hutan di lahan gambut masih berpeluang mengalami deforestasi, setidaknya jumlah kasusnya masih lebih rendah dan artinya ada pelepasan jumlah besar karbon oleh lahan gambut.

Kehilangan hutan yang ada di lahan gambut semakin melonjak tingkatnya maka dapat memperburuk emisi karbon yang juga semakin banyak. Oleh sebab itu, lahan gambut memerlukan perlindungan agar tingkat kehilangan hutan tidak semakin bertambah dan emisi karbon dapat ditekan.

4. Memiliki Hutan Adat Perempuan

Di Kampung Enggros, Teluk Youtefa, Papua, terdapat Hutan Adat Perempuan yang merupakan wilayah khusus bagi para perempuan untuk mengumpulkan bahan pangan. Jenis hutan bakau ini adalah tempat berkumpulnya pada perempuan Enggros dan Tobati tanpa ada pria.

Hutan ini dinamai Hutan Perempuan dan merupakan salah satu hutan adat di Papua sebagai tempat perempuan mencari bahan pangan lalu mengumpulkannya tanpa bantuan atau keterlibatan laki-laki. Hutan ini diperuntukkan hanya bagi perempuan, sesuai dengan nama hutan, sebab laki-laki memasukinya dianggap keramat.

Khusus para lelaki, tugas pengumpulan bahan pangan dilakukan di para-para, yakni tempat berkumpul seperti balai kampung. Apabila ada laki-laki yang dengan berani memasuki area hutan adat secara sengaja maupun tanpa disengaja, denda yang dikenakan akan sangat tinggi, terutama bila saat masih ada perempuan di dalam hutan.

Terdapat denda adat yang berlaku untuk para lelaki, yakni mengharuskan laki-laki memberikan manik-manik (barang berharga untuk warga Enggros sehingga nilainya sangat tinggi). Pembayaran denda ini hanya berlaku saat laki-laki masuk ke Hutan Perempuan terutama bila ada perempuan di sana.

Pengenaan denda sangat penting karena kegiatan mengumpulkan kerang di hutan dilakukan oleh para perempuan tanpa memakai busana sehingga tidak aman pula bila dilewati atau dimasuki laki-laki. Para perempuan tidak sekadar mencari kerang, tapi juga biasanya mengobrol satu sama lain di hutan ini.

5. Melindungi Hutan Adat Papua sebagai Cara Pemenuhan Perjanjian Paris

Menteri LHK pada tahun 2016 menandatangani Perjanjian Paris sebagai wakil dari presiden, yakni kesepakatan global monumental yang bertujuan menghadapi perubahan iklim. Terdapat 195 negara yang berpartisipasi dalam perjanjian ini dan Indonesia sebagai salah satunya berupaya dengan cara memberi perlindungan terhadap hutan Papua.

Sebanyak 2,8 hingga 3,3 gigaton emisi karbon dioksida dapat dihindari melalui upaya menjaga 70% wilayah Papua dan menjadikannya sebagai kawasan konservasi. Seluas 29 juta hektar yang dilindungi otomatis mendukung pula pemulihan lahan yang sempat mengalami degradasi di kawasan lindung.

Komitmen dari Perjanjian Paris terpenuhi ketika hutan adat Papua terjaga dengan baik oleh peran pemerintah sekaligus masyarakat adat. Sebab langkah ini merupakan bagian penting juga dari usaha melindungi kearifan lokal sekaligus jati diri masyarakat Papua di Indonesia.

6. Status Hutan Adat Melindungi Hutan Warga dari Berbagai Ancaman

Dengan pemerintah mengakui masyarakat adat dan hutan adat sehingga masyarakat adat diberi izin untuk pengelolaan penuh kawasan hutan, maka ini merupakan sebuah cara untuk melindungi hutan dari sejumlah potensi ancaman berbahaya bagi hutan, termasuk ancaman alih fungsi lahan.

Hutan adat yang tidak berstatus dapat dengan mudah dialihfungsikan, salah satunya adalah melalui pembangunan kebun kelapa sawit. Selain itu, kehidupan masyarakat juga akan lebih terjamin dengan menjaga keberadaan hutan adat alih-alih melepaskannya demi uang investasi perkebunan.

Adanya status hutan adat pun bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat yang hidup pada masa itu, tapi juga untuk generasi-generasi di Papua selanjutnya. Oleh sebab itu, ada 10 usulan hutan adat yang diajukan pada tahun 2023 demi kelangsungan warga di sejumlah daerah di Papua.

fbWhatsappTwitterLinkedIn