Daftar isi
Pada zaman dahulu, sebelum menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah wilayah yang terdiri dari berbagai kerajaan-kerajaan besar dan kecil. Kini kerajaan-kerajaan tersebut sudah menyatu dan bergabung dengan NKRI. Meski mereka sudah tidak memiliki kedaulatan lagi, namun istana dan keturunan mereka masih ada lho hingga saat ini. Siapa saja kerajaan-kerajaan tersebut? simak pembahasannya berikut ini.
Mungkin kamu sudah akrab dengan nama kota ini bahkan dengan keratonnya. Iya selain terkenal dengan kuliner dan wisatanya, keraton Jogja juga sangat terkenal dengan kebudayaan dan tradisinya yang masih dijunjung tinggi hingga saat ini. Namun apakah kamu sudah mengetahui apa dan bagaimana sejarah kesultanan Yogyakarta? Kesultanan ini berawal dari salah satu kerajaan besar di Indonesia yaitu kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram merupakan kerajaan bercorak Islam yang beribukota di Kotagede yang berdiri pada abad ke 16. Mataram akhirnya memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Plered, Surakarta. Namun adanya campur tangan dari pihak koloni memicu konflik di dalam kerajaan. Konflik tersebut melibatkan Prabasuyasa atau Pakubuwana III dengan Raden Mas Said dan Mangkubumi.
Konflik internal tersebut berlangsung lama dan baru berakhir setelah diadakannya perjanjian Giyanti. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 13 Februari 1775 di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar. Perjanjian tersebut menghasilkan kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dimana Surakarta berada di bawah kekuasaan Susuhunan Paku Buwono III. Sedangkan Kasunan Ngayogyakarta Hadiningrat dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I.
Setelah itu Sultan Hamengku Buwono I pun membangun istana dan Yogyakarta. Hingga pada akhirnya Indonesia merdeka, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bagian dari NKRI pada tanggal 5 September 1945. Beliau dan Adipati Paku Alam pun dipercaya untuk memimpin kota Yogyakarta dan memberi status Istimewa sehingga menjadi DIY. Saat ini istana kasunan Ngayogyakarta difungsikan sebagai situs bersejarah yang bisa dikunjungi oleh masyarakat umum.
Kasunan Surakarta merupakan kerajaan yang lahir dari perjanjian Giyanti 1775. Kesultanan ini merupakan hasil pemecahan dari kerajaan Mataram Islam. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1744 oleh Susuhunan Pakubuwono II. Pada awalnya keraton berada di Kartasura namun dipindahkan ke Surakarta, Solo akibat adanya geger pecinan pada tahun 1733.
Pada tahun 1957 tepatnya tanggal 17 Maret, Kesultanan ini kembali terbagi menjadi dua melewati perjanjian Kalicacing Salatiga. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Keraton Surakarta terbagi menjadi dua yaitu Keraton Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Keraton yang semula merupakan pusat kekuasaan pemerintahan beralih fungsi menjadi pusat kebudayaan setelah Indonesia merdeka dan Solo merupakan bagian dari NKRI.
Berbeda dengan raja-raja kesultanan Yogyakarta yang dianggap merupakan penerus dari kerajaan Mataram, kesultanan Surakarta dianggap kerajaan yang berbeda.
Meski memiliki garis keturunan yang sama namun kedua kesultanan ini memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut terlihat dari segi budaya baik tarian, adat tradisi, musik dan lain sebagainya. Gelar yang diberikan pun berbeda jika kesultanan Yogyakarta para raja bergelar Sultan sedangkan pada kasunanan Surakarta para raja bergelar sebagai Sunan. Sedangkan pada bangunan keraton memiliki kemiripan di antara keduanya lantaran arsitek dari keraton Surakarta adalah Sultan Hamengku Buwono I.
Keraton Surakarta memiliki keunikan yaitu terdapat menara setinggi 30 meter serta ruangan-ruangannya memiliki nama dan fungsinya sendiri. Menara yang diberi nama menara Sangga Buwana tersebut digunakan untuk memantau gerak-gerik penjajah. Saat ini keraton Surakarta tau lebih dikenal sebagai keraton Solo merupakan landmark dari kota Surakarta yang dapat dikunjungi oleh wisatawan dan pusat kegiatan budaya.
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan bercorak Islam di Jawa Barat yang berdiri pada abad ke 15 hingga ke 16. Kesultanan Cirebon berpusat di keraton Pakungwati yang saat ini lebih dikenal dengan nama keraton Kasepuhan. Pada zaman dahulu Cirebon merupakan kota yang sangat strategis karena lokasinya berada di tepi pantai. Tak heran jika Cirebon dijadikan sebagai pusat perdagangan dan banyak kapal yang berlabuh di sana dari berbagai suku bangsa. Oleh sebab itulah kota ini dahulu kala diberi nama “Caruban” yang artinya percampuran.
Kesultanan Cirebon didirikan oleh salah satu keturunan dari kerajaan Pajajaran yang bernama pangeran Cakrabuana. Namun ia tidak diberi tahta karena merupakan pemeluk agama Islam sedangkan kerajaan Pajajaran adalah pemeluk agama leluhur yaitu agama Sunda Wiwitan. Pangeran yang mendapat julukan sebagai Walangsungsang ini kemudian mendirikan pemerintahan bercorak Islam di Pakungwati. Beberapa tahun kemudian datang lah Syekh Syarif Hidayatullah yang kemudian menikah dengan pihak kesultanan. Islam dan kerajaan Cirebon pun semakin berkembang di sana.
Saat ini kerton Cirebon masih berdiri dengan kokoh dan terawat. Sama seperti keraton lainnya yang masih berdiri, keraton Cirebon saat ini berfungsi sebagai tempat wisata bersejarah.
Sama dengan kesultanan Cirebon, kesultanan Kanoman juga berada di kota Cirebon. Kesultanan kanoman merupakan kerajaan yang didirikan oleh pangeran Kertawijaya yang memiliki nama asli yaitu pangeran Mohammad Badridin. Sultan yang bergelar sebagai Sultan Anom I merupakan putra dari Panembahan Ratu Pakungwati II atau Pangeran Girilaya. Sultan Anom I diberi kekuasaan untuk memerintah Cirebon yang berpusat di Kanoman.
Pangeran Kertawijaya sebenarnya memiliki keturunan namun keduanya memilih untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Akibatnya kesultanan Kanoman terpecah menjadi dua bagian yaitu Kesultanan Kacirebonan dan Kesultanan Kaprabonan. Saat ini bangunan dari istana kesultanan Kanoman masih berdiri dengan kokoh dan dijadikan sebagai destinasi wisata. Meskipun tidak begitu terkenal seperti keraton Cirebon namun tetap memiliki banyak pengunjung setiap harinya.
Kesultanan Ternate merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar dan tertua di Maluku Utara. Kesultanan ini dibangun oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257 dengan nama asli sebagai kerajaan Gapi. Kerajaan ini termasuk kerajaan yang kaya dan makmur. Raja-rajanya berhasil menjalin hubungan baik dengan orang-orang luar terutama bangsa Arab. Kejayaannya semakin terlihat pada abad ke 16 hingga 17.
Pada saat itu kekuasaan Ternate meliputi Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Timur, Sulawesi Tengah, bagian selatan Kepulauan Filipina, dan Kepulauan Marshall di Pasifik. Wilayah Ternate semakin ramai karena Maluku merupakan tanah yang kaya akan rempah-rempah. Tak salah jika pada saat itu Maluku Utara menjadi pusat perdagangan.
Kesultanan Ternate terus bertahan hingga abad ke 19 bahkan turut serta dalam mengusir penjajah. Raja yang turun langsung ialah Sultan Haji Muhammad Usman Syah sekaligus menjadi raja terakhir Ternate yang memiliki kekuasaan politik. Setelah itu, ia diasingkan ke Bandung karena dianggap sebagai pemberontak oleh kompeni. Kerajaan Ternate pun berada di bawah kekuasaan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Kerajaan Ternate menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI. Saat ini istana Kerajaan Ternate menjadi tempat wisata dan simbol adat budaya Maluku Utara.
Kesultanan Deli merupakan kerajaan yang dahulu berkuasa di wilayah Deli yang kini bernama Medan. Menurut sejarah pendiri dari kesultanan Deli adalah seorang Laksamana Muhammad Delik yang berasal dari Aceh. Awalnya kerajaan ini bernama kerajaan Haru atau Aru dan bergabung dengan kerajaan Aceh. Namun setelah Muhammad Delik wafat dan digantikan oleh anaknya yaitu Tuanku Panglima Perunggit, kerajaan Aru memisahkan diri dan berganti nama menjadi kerajaan Dali pada tahun 1700an.
Daerah kekuasaan kesultanan Deli cukup luas yaitu mencakup Langkat, Sukapiring, Buluh Cina dan sebagian wilayah di pesisir timur pulau Sumatera. Pada zaman dahulu kesultanan Deli terkenal dengan hasil pertaniannya hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak heran jika Deli dijadikan pusat perdagangan di Malaka. Kejayaannya berlangsung hingga abad ke 19 dan akhirnya melebur dengan NKRI.
Istana kesultanan Deli masih berdiri dengan megah dan kokoh hingga saat ini. Senasib dengan keraton-keraton di pulau Jawa, Istana yang diberi nama Maimun ini difungsikan sebagai tempat wisata sejarah.