Kerajaan Gowa : Sejarah Berdiri, Masa Kejayaan dan Peninggalan

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info
Kerajaan Gowa Makasar

Kerajaan Gowa merupakan salah satu Kerajaan yang mengalami masa peralihan ke masa islam. Kerajaan ini berada di Sulawesi Selatan atau Makasar. Nama kerajaan Gowa tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Tallo.

Hal ini dikarenakan keduanya memiliki akar sejarah yang sama. Keduanya masih memilki garis keturunan dari Raja Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa termasuk Kerajaan yang memiliki pengaruh kuat di Nusantara bagian Timur pada saat itu.

Kerajaan ini tumbuh menjadi Kerajaan maritim. Kerajaan Gowa juga terkenal akan perdagangan rempah-rempah. Banyak pedagang asing yang berdatangan ke Kerajaan ini. Tidak hanya itu, Kerajaan Gowa juga memiliki seorang raja yang begitu gigih melawan penjajah. Begitu gigihnya raja Kerajaan Gowa melawan Belanda ia diberi julukan Ayam Jantan dari Timur.

Sayangnya, kegigihan Raja Gowa ini berhasil dikalahkan oleh politik adu domba yang dilakukan Belanda. Belanda berhasil meruntuhkan kekuasaan kerajaan Gowa dengan adanya perjanjian. Kerajaan Gowa memiliki banyak peninggalan. Di mana terdapat beberapa peninggalan yang masuk ke dalam benda cagar budaya nasional. Hingga saat ini, peninggalan Kerajaan Gowa masih ada dan dijadikan sebagai wisata sejarah yang banyak dikunjungi.

Sejarah Berdiri Kerajaan Gowa

Sejarah Kerajaan Gowa

Kerajaan Gowa merupakan Kerajaan yang berada di daerah Sulawesi Selatan atau lebih tepatnya ada di Kabupaten Gowa. Awal mulai berdirinya Kerajaan ini tidak terlepas dari peranan Karaeng Patingaloang. Sejarah Kerajaan Gowa terbagi menjadi dua masa yakni pra islam dan masa islam.

Awal mulanya, di Kabupaten Gowa terdapat sembilan komunitas yang dikenal dengan Bate Salapang. Di mana sembilan komunitas ini dikepalai oleh seorang penguasa kecil. Hingga pada akhirnya, Paccalaya beserta dengan raja kecil lainnya merasakan kebingungan karena tidak mempunyai seorang raja yang memerintah.

Mereka kemudian bertemu dan meminta kepada Dewata untuk diturunkan seorang raja dari Gowa. Melalui berbagai cara, kesembilan komunitas ini membentuk sebuah Kerajaan yakni Kerajaan Gowa. Kemudian Tomanurung diangkat menjadi seorang raja. Setelah habis jabatannya, ia mewariskan tahta Kerajaan kepada sang anak yang bernama Tumassalangga.

Berdasarkan beberapa penemuan, diperkirakan Kerajaan Gowa berdiri pada tahun 1300. Di mana ketika itu, masyarakat masing menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai bahwa setiap benda itu wajib dihormati agar tidak mengganggu.

Pada abad ke-15, Kerajaan Gowa terbagi menjadi dua. Perpecahan kerajaan ini terjadi saat masa pemerintahan Tonalangka Lopi. Di mana kedua anak dari Tonalangka Lopi berebut tahta kerajaan yang mengakibatkan adanya perang saudara.

Peperangan tersebut kemudian dimenangkan oleh Batara Gowa. Saudara Batara Gowa yakni Karaeng Loe ri Sero pergi ke daerah muara sungai Tallo. Ia mendirikan sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Tallo.

Hampir bertahun-tahun lamanya, Kerajaan Gowa dan Tallo tidak pernah bersahabat. Pada akhirnya, dua Kerajaan ini bersatu di bawah kesepakatan dua raja tapi satu rakyat. Kesepakatan ini terjadi pada tahun 1565.

Setelah dua Kerajaan ini bersatu, Kerajaan ini dinamakan dengan Kerajaan Gowa Tallo yang menerapkan prinsip pembagian kekuasaan. Di mana raja dipilih berdasarkan dari garis keturunan Kerajaan Gowa sedangkan perdana menteri diangkat dari garis keturunan Kerajaan Tallo.

Kerajaan Gowa berkembang menjadi pusat perdagangan di sebelah timur nusantara. Seiring dengan perkembangan perdagangan, banyak para pedagang Muslim yang berdatangan ke Kerajaan ini. Pada akhir abad ke-16, kerajaan ini berubah menjadi sebuah Kerajaan islam.

Penyebaran agama islam di Kerajaan ini dilakukan oleh Dato Ribandang. Setelah berganti corak kebudayaan, nama Kerajaan pun diganti menjadi Kesultanan. Raja Kerajaan Gowa yang pertama kali masuk islam adalah I Mangarangi Daeng Manrabbia. Di mana ia memiliki gelar Sultan Alauddin I.

Kemudian Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katan juga ikut masuk agama islam. Ia mendapatkan gelar Sultan Awwalul Islam atau Sultan yang awal masuk islam. Ia mengenalkan shalat jum’at di lingkungan Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa telah mengalami 36 kali pergantian kepemimpinan dari Tumanurung Bainea sampai Sultan Hasanuddin.

Masa Kejayaan Kerajaan Gowa (1653 sampai 1669 Masehi)

Kerajaan Gowa mencapai pundak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin diberi julukan Ayam Jantan dari Timur berkat keberaniannya. Ia menjadi raja Kerajaan Gowa pada tahun 1653. Banyak kerajaan kecil di sekitar Sulawesi Selatan yang berada di bawah kepemimpinan Kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa dikenal sebagai kerajaan maritim dengan menjadi pusat perdagangan di timur nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, ia memajukan bidang pendidikan serta kebudayaan islam. Hal ini mengakibatkan banyak orang yang berdatangan ke daerah ini untuk belajar agama islam.

Sultan Hasanuddin memiliki keinginan menjadikan Kerajaan Gowa sebagai penguasa satu-satunya di jalur perdagangan timur nusantara. Namun, untuk mewujudkan keinginannya, Kerajaan Gowa harus siap berhadapan dengan VOC.

Hal ini dikarenakan pada saat itu Maluku berada di bawah kekuasaan VOC Belanda. Maluku ketika itu terkenal dengan perdagangan lada namun sayangnya berada di cengkraman VOC. Untuk mewujudkan keinginan Sultan Hasanuddin maka terjadilah pertempuran dengan Belanda.

Sultan Hasanuddin merupakan seorang raja yang melawan keberadaan kolonialisme. Maka dari itu, saat VOC menguasai Maluku ia begitu menentangnya. Ia juga menjadi pemimpin dalam peperangan melawan penjajah di daerah Makasar. Namun, sayangnya Belanda menggunakan siasat politik adu domba saat keadaannya semakin terdesak.

Ia mengadu domba antara Makasar dengan Kerajaan Bone. Siasat adu domba ini berhasil memecah belah keduanya. Pada akhirnya raja Bone mau bekerja sana dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Oleh karena itu, terjadilah sebuah peperangan yang dinamakan dengan Perang Makasar.

Perang pun berlangsung selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, Makasar harus mengakui kekalahan dengan menandatangani perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Di dalam perjanjian tersebut tentunya banyak merugikan pihak Sultan Hasanuddin dan terpaksa harus menerima isi perjanjian karena telah mengalami kekalahan.

Keberadaan Perjanjian Bongaya pada akhirnya meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Gowa. Salah satu isi dari Perjanjian Bongaya adalah Belanda berhak melakukan monopoli perdagangan di timur nusantara. Kecuali Belanda, semua bangsa barat yang ada di Makasar harus meninggalkan daerah itu.

Tidak hanya itu, Kerajaan Gowa diwajibkan untuk membayar denda atas ganti rugi yang disebabkan oleh adanya peperangan. Akibat adanya perjanjian Bongaya, perlawanan pun sempat muncul kembali namun tidak menemukan hasil yang baik. VOC Belanda masih menguasai daerah Belanda terlebih lagi ketika Sultan Hasanuddin meninggal dunia pada tahun 1670.

Peninggalan Kerajaan Gowa

  1. Balla Lompoa
Balla Lampoa, Peninggalan Kerajaan Gowa

Salah satu peninggalan dari Kerajaan Gowa adalah Balla Lompoa. Balla Lompoa merupakan istana atau tempat tinggal bagi para raja Kerajaan Gowa. Balla Lompoa sendiri memiliki arti rumah besar.

Balla Lompoa dibangun pada tahun 1936 atau setelah adanya pengangkatan Karaeng Botonompo. Karaeng Botonompo memiliki gelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin.

Selain sebagai tempat tinggal para raja, Balla Lompoa juga menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa pada masa itu. Letak Balla Lompoa ada di Desa Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa.

Di dalam Balla Lompoa terdapat 54 pilar dan memiliki 10 buah jendela. Di mana enam buah jendela yang berada di sebelah kiri dan empat jendela di bagian depan. Saat ini keberadaan Balla Lompoa dijadikan sebagai museum yang menyimpan benda-benda bersejarah milik Kerajaan Gowa.

  1. Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu, Peninggalan Kerajaan Gowa

Peninggalan Kerajaan Gowa Selanjutnya adalah Benteng Somba Opu. Bangunan ini dibangun pada tahun 1525 pada masa pemerintahan Raja Kerajaan Gowa yang ke-9. Namun, sampai akhir masa jabatan Raja Gowa ke-9 ini, pembangunan Benteng Somba Opu belum juga selesai.

Pembangunan Benteng Somba Opu baru selesai pada masa pemerintahan Raja Kerajaan Gowa yang ke-12 yakni Karaeng Tunijallo dan Sultan Alauddin. Setelah selesai pembangunan, Benteng ini dijadikan sebagai pusat perdagangan serta pelabuhan rempah-rempah. Pada pertengahan abad ke-16, Benteng ini banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara seperti Asia dan Eropa.

Namun, pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Benteng Somba Opu dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Ketika terjadi penyerangan yang dilakukan VOC, benteng ini dihancurkan. Selama beberapa ratusan tahun, benteng ini terendam oleh air laut.

Kemudian pada tahun 1989, Benteng ini ditemukan kembali oleh para ahli. Setelah ditemukan pada tahun 1990, benteng ini dilakukan rekonstruksi. Benteng ini terus dilakukan renovasi hingga sama seperti bentuk sebelum dihancurkan.

Saat ini keberadaan benteng ini dijadikan sebagai objek wisata sejarah. Di mana di dalam benteng akan ditemukan banyak rumah adat yang berasal dari Sulawesi Selatan. Terdapat pula sebuah meriam yang memiliki panjang 9 meter dengan berat sekitar 9.500 kilo gram. Di daerah ini juga terdapat sebuah museum yang menyimpan benda-benda bersejarah.

  1. Benteng Rotterdam
Benteng Rotterdam, Peninggalan Kerajaan Gowa

Selain Benteng Somba Opu terdapat pula Benteng Rotterdam. Di mana dulunya benteng ini bernama Benteng Jumpandang. Benteng Rotterdam terletak di pesisir barat Kota Makassar. Benteng Rotterdam dibangun oleh Raja Kerajaan Gowa yang ke sepuluh yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Semula benteng ini memiliki denah segi empat. Hampir sama dengan bentuk benteng-benteng Portugis.

Pada tahun 1634, salah seorang raja Kerajaan Gowa membangun sebuah tembok dengan batu padas yang berwarna hitam. Di mana batu ini didatangkan dari Gowa langsung. Selain itu, sebagai perekat tembok digunakan kapur serta pasir. Satu tahun selanjutnya, dibangun lagi tembok yang berada di pintu gerbang.

Pada tahun 1669 Benteng ini mengalami kerusakan karena adanya serangan yang dilakukan oleh VOC. Penyerangan ini terjadi ketika masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yang mengakibatkan diserahkannya Benteng kepada pihak VOC Belanda. Nama Benteng ini kemudian diganti menjadi Fort Rotterdam.

Fort Rotterdam merupakan kota kelahiran dari pimpinan pasukan VOC yang menyerang benteng ini. Benteng ini dihancurkan dan dibangun kembali dengan gaya Belanda. Hingga saat ini benteng Rotterdam masih berdiri. Benteng ini difungsikan sebagai museum yang menyimpan benda-benda bersejarah.

Selain itu, benteng ini juga menjadi destinasi wisata sejarah yang ada di Makasar. Pada tahun 2010, keberadaan Benteng Rotterdam dijadikan sebagai benda cagar budaya. Hal ini sebagaimana yang terdapat pada keputusan Menteri Kebudayaan serta Pariwisata Republik Indonesia pada tanggal 22 Juni 2010.

  1. Masjid Tua Katangka
Masjid Tua Katangka, Peninggalan Kerajaan Gowa

Peninggalan selanjutnya dari Kerajaan Gowa adalah Masjid Tua Katangka atau Masjid Al-Hilal. Masjid Tua Katangka dibangun oleh Sultan Alauddin I yakni pada tahun 1605. Masjid Tua Katangka termasuk masjid tertua di Sulawesi Selatan. Masjid Tua Katangka terletak di
Jalan Syech Yusuf, Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Letaknya tidak jauh dari Makam Sultan Hasanuddin.

Nama masjid ini diambil dari nama seorang Sufi yang ternama di kalangan masyarakat Makasar yakni Syekh Yusuf Al-Makassari. Di mana ia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kerajaan Gowa. Seperti Benteng Rotterdam, Masjid Tua Katangka termasuk ke dalam benda Cagar Budaya Nasional.

fbWhatsappTwitterLinkedIn