Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak serta merta terjadi begitu saja. Untuk melaksanakan peristiwa bersejarah bagi Indonesia ini memerlukan waktu yang cukup lama. Setelah dijajah oleh beberapa bangsa Eropa, akhirnya Indonesia dapat menghirup udara kemerdekaan meskipun tak sepenuhnya bebas dari belenggu penjajahan.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tak lepas dari adanya peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa remgasdengklok turut mendorong terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam peristiwa ini terjadinya penculikan dua tokoh penting yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka diasingkan ke sebuah desa yang berada di Karawang Jawa Barat.

Pengasingan ini dilakukan untuk menghindari pengaruh Jepang. Lalu bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok ?

Berita Jepang Menyerah pada Sekutu

Jepang dan Sekutu terlibat dalam sebuah perang besar yang kemudian dikenal perang Asia Pasifik Raya. Perang inilah yang kemudian mengantarkan terjadinya kasus pemboman pada dua kota yang ada di Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki.

Pemboman tersebut dilakukan pada hari yang berbeda yakni pada tanggal 6 Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945. Adanya peristiwa pemboman tersebut membuat Jepang dilanda banyak kerugian baik dari segi materi maupun hilangnya banyak nyawa.

Peristiwa dibomnya dua kota yang ada di Jepang membuat Jepang mengalah pada sekutu. Berita kekalahan Jepang pada Sekutu kemudian terdengar oleh orang-orang Indonesia terkhusus para golongan muda.

Mereka mendengar kabar kekalahan tersebut lewat radio. Dengan kekalahan Jepang pada sekutu, di mana jepang yang saat itu menjajah Indonesia, membuat keadaan Indonesia menjadi vacum of power. Sebab, mereka menilai dengan adanya vacum of power inilah menjadi kesempatan untuk Indonesia merdeka.

Selama ini, merdeka adalah hal yang dinanti-nantikan oleh golongan muda. Begitu melihat ada kesempatan dengan kalahnya Jepang pada sekutu mereka segera bergerak untuk merancang kemerdekaan.

Pendapat mengenai rencana kemerdekaan Indonesia kemudian disampaikan kepada Soekarno dan Haffa begitu dia tiba di Kemayoran golongan muda yang terdiri dari Asmara Hasi, Sayuti Melik dan Chaerul aaleh kemudian memberitahukan hal tersebut.

Sayangnya, usulan tersebut ditolak oleh Soekarno. Ia bersikukuh pada apa yang dikatakan oleh Marsekal Terauchi saat mereka tiba di Dalat. Marsekal Terauchi mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pasa tanggal 24 Agustus 1945. Namun, hal ini bertentangan dengan prinsip golongan tua.

Mereka menginginkan kemerdekaan dilaksanakan secepatnya dan tanpa adanya campur tangan Jepang. Hal inilah yang lantas membuat hubungan kedua golongan menegang. Perbedaan pendapat antara keduanya menjadi cikal bakal adanya peristiwa Rengasdengklok.

Perbedaan Pendapat Mengenai Waktu Proklamasi

Pertemuan di lapangan terbang Kemayoran, menjadi awal mula benih silang pendapat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan muda terus mendesak memproklamasikan kemerdekaan secepatnya dan tanpa bantuan dari Jepang.

Sementara itu, golongan tua, masih berpegang teguh terhadap apa yang dikatakan oleh Jendral Terauchi. Mereka akan menunggu kemerdekaan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Jepang. Namun, bagi para pemuda, kemerdekaan bukanlah hadiah dari tangan penjajah.

Kita tidak perlu menunggu restu dari Jepang untuk segera memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Sebab, kemerdekaan adalah hasil perjuangan rakyat Indonesia selama ini. Pendapat yang disampaikan oleh Soekarno tentu bukan sebagai bentuk tunduk pada penjajahan Jepang.

Soekarno menghawatirkan kondisi Indonesia jika tetap memaksakan kehendak untuk melaksanakan kemerdekaan. Sebab, memproklamasikan kemerdekaan dalam keadaan status quo adalah sebuah pelanggaran. Soekarno-Hatta tidak mau ada pertumpahan darah nantinya. Sekalipun Jepang sudah menyerah pada sekutu, namun antek-antek Jepang masih ada di Indonesia.

Berbeda halnya dengan para golongan muda, mereka berpendapat bahwa terjadinya pertumpahan darah merupakan sebuah risiko yang harus ditanggung. Kita tidak perlu takut kehilangan nyawa demi kemerdekaan yang sudah lama diimpikan.

Mereka siap mengorbankan jiwa demi kemerdekaan. Kemudian, di sisi lain, pada tanggal 15 Agustus 1945, kelompok Menteng 31 mengadakan rapat di lembaga bakteriologi yang ada di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.

Selain para anggota kelompok Menteng 31, hadir pula Djohan Nur, Kusnandar, Wikana, Margono, Subiantoro, Armansyah, dan Subadio. Dalam pertemuan tersebut para tokoh yang hadir menghendaki adanya proklamasi untuk segera dilakukan serta harus terlepas dari bayang-bayang Jepang.

Menurut mereka dengan melibatkan PPKI, itu berarti proklamasi masih berada di bawah pengaruh Jepang. Sebab, PPKI merupakan organisasi bentukan Jepang. Mereka juga tidak percaya akan janji kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang.

Janji tersebut hanyalah sebuah muslihat agar rakyat mau membantu Jepang dalam perang melawan sekutu. Hasil rapat tersebut kemudian dibawa oleh Wikana dan Darwis untuk disampaikan kepada Bung Karno di kediamannya yakni di jalan Pegangsaan Timur no 56.

Selain membawa hasil rapat, Wikana dan Darwis juga mengancam Soekarno jika proklamasi tidak disampaikan pada tanggal 16 Agustus atau esok hari, maka akan terjadi pertumpahan darah. Mendengar hal ini Soekarno tentu saja marah.

Ia mengatakan bahwa “ini adalah leher saya, seret saya ke pojok dan habisi saja sekarang. Tidak perlu menunggu waktu besok untuk menghabisinya. Saya masih mempunyai tanggungjawab sebagai ketua PPKI. Nanti akan saya bicarakan dengan wakil-wakil PPKI.”

Hasil dari Pertemuan di Asrama Cikini

Setelah memberikan hasil rapat kepada Soekarno dan terjadi ketegangan, pada malam itu juga, Wikana dan Darwis kembali ke asrama Cikini 71. Mereka menyampaikan hasil pertemuan dengan Soekarno, yang masih sama dan tidak membuahkan hasil.

Kemudian, diadakannya rapat untuk menindaklanjuti hasil pertemuan dengan Soekarno. Rapat ini dipimpin oleh Chaerul Saleh. Pada saat rapat Djohan Nur mengajukan usulan untuk mengamankan Soekarno dan Hatta.

Setelah mendapatkan kesepakatan maka rapat memutuskan untuk mengamankan Soekarno dan Hatta agar tak terpengaruh oleh perintah Jepang. Selain itu, mereka juga sepakat agar proklamasi dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus 1945. Hasil rapat inilah yang menjadi awal adanya peristiwa Rengasdengklok.

Rencana pengasingan Soekarno dan Hatta diserahkan kepada Shudanco Singgih dengan dibantu pasukan tentara dari Shudanco Latief Hendradiningrat yang ketika itu menggantikan Daidancho Kasman Singodimedjo.

Setelah semua siap, rencana pengasingan Soekarno dan Hatta dilaksanakan. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Sebuah desa yang ada di Karawang Jawa Barat. Pemilihan tempat pengasingan di Rengasdengklok karena daerah ini jauh dari jangkauan Jepang sehingga kecil kemungkinan untuk keberadaannya terendus tentara Jepang. Selain itu, di wilayah ini terdapat kantor PETA yang akan membantu mengamankan jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.

Soekarno dan Hatta dibawa ke kantor PETA untuk kemudian mengajak keduanya diskusi terkait waktu proklamasi. Sukarni sebagai sosok yang menanyakan dan mendesak Soekarno dan Hatta untuk melaksanakan kemerdekaan.

Ia menjelaskan keuntungan adanya kekalahan Jepang pada sekutu. Menurutnya, kekosongan kekuasaan harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Sebab, kesempatan ini tidak akan datang dua kali.

Sayangnya, Soekarno dan Hatta masih ragu, apakah Jepang sudah benar-benar kalah atau tidak. Sukarni kembali meyakinkan keduanya bahwa PETA siap menjadi pelindung bagi rakyat jika terjadi pertempuran darah nantinya. Upaya pembujukan yang dilakukan oleh Sukarni tidak membuahkan hasil.

Sudah satu hari penuh Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok, namun keduanya tetap tidak mau dengan usulan yang diajukan golongan muda. Setelah melakukan beberapa kali pendesakan, Sukarni pun merasa segan untuk kembali mendesak keduanya. Mengingat kedudukan keduanya. Akhirnya, ia hanya menunggu kabar dari Jakarta untuk proses selanjutnya.

4. Gelora Semangat Golongan Muda

Pemuda adalah sosok yang terkenal dengan semangat yang membara. Hal ini pun yang terlihat pada tokoh golongan muda saat itu. Saat mendengar berita kekalahan Jepang pada sekutu, mereka langsung berfikir cepat untuk mengadakan proklamasi.

Tanpa berpikir panjang, mereka siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi sekalipun mengorbankan nyawa. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi terjadinya peristiwa Rengasdengklok.

Jika semangat para pemuda saat itu tidak begitu membara, tentunya proklamasi kemerdekaan tidak akan segera dilaksanakan. Mereka akan manut dengan apa yang diucapkan oleh golongan tua selaku sosok yang dituakan. Namun, hal ini berbeda dengan yang terjadi pada golongan muda. Mereka tak segan untuk mengajukan pandangan sekalipun itu bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh golongan tua.

Sikap yang ditunjukkan oleh golongan muda ini tentunya adalah buah dari apa yang selama ini diajarkan saat di asrama Menteng no 31. Saat itu, mereka digembleng dengan latihan fisik dan pendidikan langsung dari para tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Achmad Subardjo, Mr Subardjo, Dr Muwardi dan para tokoh lainnya.

Dari penggemblengan inilah yang kemudian melahirkan para tokoh yang turut andil dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan.

fbWhatsappTwitterLinkedIn