Meriam Kesultanan Aceh yang Tidak Terawat

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Meriam Kesultanan Aceh merupakan salah satu peninggalan sejarah dari kerajaan Aceh. Peninggalan sejarah ini konon katanya merupakan berasal dari pemerintahan salah satu Sultan Aceh yakni Sultan Iskandar Muda.

Pada saat itu, terdapat 5 buah meriam yang digunakan untuk kepentingan penjagaan kerajaan. Lalu, bagaimana kondisi meriam tersebut saat ini? Selengkapnya akan di bahas berikut ini.

Meriam, Peninggalan Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh telah meninggalkan jejak peninggalan sejarah. Salah satunya yakni 3 buah meriam Aceh. Meriam itu diperkirakan berasal dari abad ke-17 dan konon katanya dipesan khusus dari Kesultanan Turki. Ada 3 meriam yang berdekatan dan semuanya menghadap ke arah timur laut.

Hal ini seolah menandakan bahwa meriam tersebut sedang menunggu musuh yang datang menyerbu. Meriam tersebut kini sudah tak segagah dulu karena sudah dilapisi lumut dan berkarat. Selain itu, pada bagian lubang tempat mengisi mesiu sudah tersumbat oleh tanah.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ia meninggalkan benda sejarah berupa meriam. Meriam tersebut kini berada di Desa Arongan, Kecamatan Lambalek Kabupaten Aceh Barat. Sayangnya, keberadaan meriam tersebut justru terbengkalai begitu saja.

Meriam itu tergeletak di sebuah tempat yang dikelilingi oleh semak-semak. Wujud meriam tersebut sudah dimakan usia dan berwarna kusam karena tidak dirawat. Meriam itu diduga digunakan untuk menjaga kedaulatan Aceh dari incaran kapal-kapal penjajah. Sebab, saat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kerajaan Aceh berhasil menguasai jalur perdagangan barat.

Sultan Iskandar memimpin kerajaan Aceh menggantikan sepupunya yakni Sultan Ali Riayat Syah. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Aceh mencapai masa kejayaan. Banyak wilayah yang berhasil diduduki oleh Sultan Iskandar Muda yakni Pasai, Pedir, Deli dan Aru. Selain itu wilayah barat juga berhasil dikuasainya seperti Dya, Labu, Singkel, Priaman, Padang.

Tidak hanya berhasil menguasai daerah sekitar saja, Kerajaan Aceh juga berhasil menaklukkan negara-negara yang berada di Semenanjung Melayu seperti Johor, Pahang, Perak dan Kedah. Negara-negara tersebut merupakan negara yang pernah menyerang kerajaan Aceh.

Namun, di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, negara tersebut berhasil ditaklukkan. Tidak hanya menaklukkan wilayah saja, Sultan Iskandar Muda juga melanjutkan perjuangan melawan bangsa Portugis dan menguasai jalur perdagangan barat.

Sultan Iskandar Muda menjabat sebagai pemimpin kerajaan Aceh selama 29 tahun. Banyak sekali pencapaian yang telah berhasil didapatkannya sehingga ia diberikan gelar Marhom Mahkota Alam.

Kerajaan Aceh sendiri berdiri bermula dari Kerajaan Indra Purba yang ada di Lamuri. Sekitar tahun 1059-1069 Masehi, Kerajaan Indra Purba diserang oleh tentara China. Saat itu, kerajaan Indra Pura dipimpin oleh Maharaja Indra Sakti. Saat perang terjadi, Kerajaan Indra Pura bekerja sama dengan Kerajaan Perak.

Sebagai sekutu dari Kerajaan Indra Pura, Kerajaan Perak mengirimkan sebanyak 300 pasukan yang di antaranya terdapat para pemuda kuat bernama Meurah Johan. Meurah Johan sendiri yang nantinya akan memimpin pertempuran. Dengan bantuan pasukan dari Kerajaan Perlak, Kerajaan Indra Pura dapat memukul mundur tentara China.

Untuk membalas kebaikan Meurah Johan, Maharaja Indra Sakti menikahkan anaknya dengan pemuda itu. Kemudian, setelah proses pernikahan, Meurah Johan memiliki gelar Sultan Alaidin Johan Shah dan menggantikan mertuanya sebagai raja di Kerajaan Indra Purba karena Indra Sakti telah meninggal dunia.

Di bawah kepemimpinannya, kerajaan Indra Purba berganti nama menjadi Kerajaan Darussalam karena berada di Bandar Darussalam. Kerajaan ini terus berdiri hingga generasi ke sebelas yakni Sultan Ali Mughayat Shah. Sultan Ali Mughayat Shah merubah nama kerajaan Darussalam menjadi Aceh Darussalam. Sehingga ia merupakan pendiri dari kerajaan Aceh Darussalam.

Selain itu juga, di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughyat Shah, kerajaan-kerajaan kecil yang berada di sekitar Kerajaan Aceh berhasil disatukan di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh. Saat masa pemerintahannya, Portugis tiba di Malaka.

Sultan Ali Mughayat Shah melakukan perlawanan atas kedatangan Portugis. Ia membentuk sebuah angkatan laut dan angkatan darat dan menanamkan dasar-dasar politik luar negeri pada kerajaan Aceh. Sultan Ali Mughayat Shah meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 1530.

Kepemimpinannya digantikan oleh Sultan Salahuddin. Namun, tak berlangsung lama karena akhirnya Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Shah yang merupakan anak dari Sultan Mughayat Shah.

Tahta pemerintahan kerajaan Aceh terus mengalami pergantian. Setelah Sultan Husein Ali Riayat Shah, tahta diberikan kepada anaknya yang masih kecil yakni Sultan Moeba. Sultan Moeba dianggap sebagai Sultan bayangan karena hanya memerintah dalam kurun waktu yang sebentar.

Kemudian, Kerajaan Aceh mengalami pergantian beberapa kali. Sayangnya pergantian Sultan tersebut justru menyebabkan Aceh mengalami krisis. Hal ini dikarenakan beberapa Sultan yang memerintah sangat kejam seperti Sultan Sri Alam dan Sultan Zain Al Abidin.

Setelah meninggalnya Sultan Zain Al Abidun, Sultan Alaudin Mansur Shah naik tahta. Ia adalah anak dari Sultan Ahmad yang berasal dari Kerajaan Perlak. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh diserang oleh Kerajaan Johor. Selain itu, kerajaan Aceh juga mengalami masalah internal sehingga Sultan tidak mampu menangkal berbagai serangan dari luar.

Hal ini mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami kekalahan karena armadanya berhasil dihancurkan. Setelah itu, Sultan Alauddin Mansur meninggal dunia karena dibunuh oleh prajuritnya sendiri yang bernama Sri Pada. Tahta kerajaan pun dipimpin oleh Sultan Buyong.

Saat Sultan Buyong memerintah, ia mengajak Kerajaan Johor untuk berdamai dan menjadi sekutu. Namun, tak berselang lama, Sultan Buyong meninggal dan digantikan Sultan Alauddin Riayat Shah Al Mukhammil.

Di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Shah Al Mukhammil mulai sedikit mengalami kebangkitan. Banyak diterbitkan buku-buku Islam dan karya sastra Melayu seperti Murat Al-Muminin karangan Syams ud-din dan mahkota pada Raja karangan Bukhari Al-Johari.

Setelah ia wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Sultan Ali Riayat Shah. Pada masa pemerintahan inilah Kerajaan Aceh banyak mengalami masalah. Saat itu, Aceh sedang mengalami krisis pangan sehingga banyak rakyat yang menderita kelaparan. Tidak hanya itu, pada masa ini Portugis melakukan serangan secara tiba-tiba dengan menggunakan armada Martin.

Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Shah kerajaan Aceh diserang oleh Portugis yang bekerja sama dengan Kerajaan Johor, Perak dan Pahang. Penyerangan ini terus dilakukan hingga Sultan Alauddin meninggal dunia. Kemudian digantikan oleh Sultan Husein Ali Riayat Shah.

Di bawah kepemimpinannya, ia melakukan penyerangan kepada Malaka yang saat itu duduki oleh Portugis. Pasukan Aceh berhasil membakar Malaka bagaian selatan. Sayangnya penyerangan yang dilakukan kepada Malaka ini sia-sia karena Malaka tetap bertahan. Setelah Sultan Ali Riayat Syah mundur dari kekuasaan, kursi jabatan diisi oleh Sultan Iskandar Muda.

Di bawah Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan. Sultan Iskandar Muda membangun angkatan darat yang kokoh untuk menguasai jalur perdagangan darat. Salah satu bukti kekokohan angkatan darat ini adalah adanya meriam yang digunakan untuk menyerang musuh.

Berdasarkan salah satu keturunan ke-16 Ulee Balang Woyla mengatakan bahwa semula meriam itu terdapat lima buah. Sayangnya, kedua meriam hilang saat adanya musibah gelombang tsunami yang menghantam Aceh pada tanggal 25 Desember 2004 silam.

Sebelum tsunami Aceh, meriam tersebut berada terpisah. Namun, setelah tsunami Aceh, keberadaan sisa meriam tersebut disatukan di sebuah tempat. Awalnya ada meriam yang memiliki panjang tiga meter dan ada yang memiliki panjang satu meter.

Meskipun, kondisi meriam sudah tidak terawat, namun benda bersejarah tersebut tercatat sebagai benda pusaka adat Aceh atau MAA Kabupaten Aceh Barat. Semula sempat ada wacana akan dilakukan pemugaran pada lokasi tersebut. Sayangnya, hal tersebut tak terealisasi karena kekurangan dana.

Pada saat adanya konflik Gerakan Aceh Merdeka, pihak Brunei Darussalam sempat mempunyai niatan menjadikan tempat tersebut sebagai monumen bersejarah. Sayangnya, hal tersebut tidak terealisasikan kembali.

Bencana Tsunami Aceh tak hanya melenyapkan dua buah meriam peninggalan Sultan Iskandar Muda saja melainkan juga benda pusaka milik kerajaan Aceh. Seperti meja perak, cawan emas, hingga peralatan tempur prajurit Sultan Aceh. Sayangnya, keberadaan benda bersejarah tersebut saat ini tidak diketahui di mana keberadaannya.

Di sekitar lokasi ditemukannya meriam, berada sebuah rumah permanen yang tidak berpenghuni. Di samping rumah itu terdapat puing-puing fondasi bangunan rumah Ulee Balang atau bangsawan perwakilan Sultan Aceh. Pada setiap tapak bangunan terdapat corak coretan bunga. Bunga tersebut merupakan hiasan raja sebab zaman dulu di depan rumah tidak ada taman bunga.

Menurut Abu Sa’id, dulu puing-puing fondasi tersebut merupakan sebuah rumah Aceh dengan bentuk panggung. Pada bagian atapnya terbuat dari daun Rumbia. Sedangkan dindingnya berupa papan tebal dengan ketebalan 20 sentimeter.

fbWhatsappTwitterLinkedIn