Daftar isi
Pahlawan nasional Indonesia hingga saat ini berjumlah 191 orang. Namun tidak semua pahlawan bangsa tersebut dikenal masyarakat luas mungkin ada juga yang belum pernah mendengar namanya sama sekali. Untuk itu mari mengenal pahlawan nasional dari Bali beserta biogarafi dan kisah perjuangannya dalam rangkuman berikut ini.
1. I Gusti Ketut Jelantik
I Gusti Ketut Jelantik merupakan Patih Agung dari Kerajaan Buleleng yang berada di Bali. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1800 an di Karangasem Bali dan wafat tahun 1849. Ia mendapatkan gelar patih pada tahun 1828 atas dasar kecerdasannya dalam strategi perang dan kegigihannya.
Perjuangannya dimulai ketika pemerintah Belanda menghapus hak tawan karang yang dimiliki oleh para raja di Bali. Akibat dari penghapusan tersebut mereka tidak bisa mengambil kapal yang karam di wilayah perairan Bali.
Pada saat itu Belanda sudah membuat kesepakatan dengan kerajaan lainnya namun kerajaan Buleleng menolak kebijakan tersebut. I Gusti Ketut Jelantik dan kerajaan bahkan tidak mau mengakui kekuasaan Belanda di Bali. Hal ini lah yang akhirnya menyebabkan perang habis-habisan antara Bali dengan Belanda pada tahun 1846. Peperangan tersebut dimenangkan oleh Belanda yang dipimpin oleh Jendral Michiels.
Para Patih yang selamat berusaha bersembunyi ke benteng-benteng yang ada di pegunungan Batur Kintamani. Belanda yang tak puas setelah menguasai Jagaraga, kembali mengincar Patih I Gusti Ketut Jelantik di tahun berikutnya. Hingga akhirnya persembunyian putra dari I Gusti Nyoman Jelantik Raya diketahui Belanda dan gugur dalam membela kerajaannya.
Perjuangan I Gusti Ketut Jelantik diakui oleh pemerintah Indonesia hingga akhirnya mendapat gelar Pahlawan Nasional. Gelar tersebut disematkan pada tanggal 19 Agustus 1993 dalam SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993.
2. Untung Surapati
Untung Surapati atau sering disebut juga dengan nama Untung Suropati merupakan Pahlawan Nasional asal Bali yang lahir pada tahun 1660. Pemilik nama asli Surawiroaji ini tercatat dalam naskah Babad Tanah Jawi yaitu sebuah kitab yang mengisah tentang raja-raja penguasa tanah Jawa zaman dahulu.
Dikisahkan Untung Suropati dijual kepada pimpinan VOC yang dikenal dengan nama Tuan Moor. Ia dianggap sebagai anak yang membawa keberuntungan sehingga diberi nama “Untung”. Di Kediaman rumah Tuan Moor, bocah yang masih berusia 7 tahun tersebut diberi tugas membersihkan rumah dan juga menjaga Suzanne yang merupakan putri majikannya. Setelah dewasa Untung dan Suzanne saling jatuh cinta dan menikah. Status kasta yang berbeda yang dimiliki mereka mengharuskan pernikahan dilangsungkan secara rahasia.
Nahasnya pernikahan tersebut terbongkar dan Untung pun harus mendekam di penjara dengan penuh siksaan. Dengan bantuan sang istri, Suropati berhasil meloloskan diri. Sejak saat itulah Suropati menjadi buronan Belanda dan kebencian terhadap mereka pun semakin menjadi. Untung diberi tawaran untuk menjadi tentara VOC dan diberi tugas untuk menangkap Pangeran Purbaya di Gunung Gede.
3. I Gusti Ngurah Made Agung
I Gusti Ngurah Made Agung adalah seorang pemimpin dari Kerajaan Badung Bali yang lahir pada 5 April 1876 di Denpasar. Beliau resmi menjadi Raja pada tahun 1902 dengan nama Raja Badung VII. Ia dikenal sebagai raja yang pantang menyerah dalam melawan Belanda hingga akhir hayatnya yaitu pada 22 September 1906.
Sebelum I Gusti Ngurah Made Agung menjabat sebagai raja, leluhurnya menandatangani perjanjian dengan Belanda yaitu perjanjian Kuta. Perjanjian tersebut dinilai merugikan Bali sehingga ia tidak ingin melanjutkannya. Ia kerap melanggar kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama Belanda seperti tetap menjalankan tradisi-tradisi Bali dan juga menjalankan aturan Tawan Karang. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dimanfaatkan Belanda untuk menyerang kerajaan Badung.
Belanda menuntut ganti rugi berupa denda atas pelanggaran tersebut namun selalu dihiraukan oleh pihak kerajaan. Puncak kemarahan Belanda meletus pada 20 September 1906 dengan melakukan pengeboman Denpasar. Melihat hal ini Raja Badung VII tidak gentar sedikitpun justru mengeluarkan titah untuk berperang habis-habisan atau sering disebut dengan “Puputan”.
Raja Badung VII tak segan turun langsung dalam perang kemudian dikenal sebagai “Puputan Badung” Peperangan tersebut mengakibatkan gugurnya sang Raja, pasukan dan juga rakyatnya. Selain dengan perang, Raja Badung VII juga membangkitkan semangat perjuangan dengan beberapa karya sastra seperti Geguritan Dharma Sasana
Geguritan Niti Raja Sesana, Geguritan Nengah Jimbaran, Kidung Loda, Kakawin Atlas, Geguritan Hredaya Sastra, Geguritan Purwanegara.
Atas perjuangannya I Gusti Ngurah Made Agung dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 4 November 2015. Pemerintah Bali juga mengabadikan sosok sang Raja menjadi sebuah patung yang terletak Jalan Veteran Denpasar-Jalan Patimura, Denpasar.
4. I Gusti Ketut Pudja
Sebelum dibentuk menjadi Provinsi sendiri Bali dan Nusa Tenggara dahulunya merupakan satu kesatuan dengan nama Sunda Kecil. Provinsi ini dipimpin oleh I Gusti Ketut Pudja yang sekaligus menjadi Gubernur pertama dan terakhir. Ia dilahirkan di Singaraja Bali pada tanggal 19 Mei 1908.
Anak kelima dari I Gusti Nyoman Raka ini tumbuh menjadi sosok yang cerdas hingga dipercaya untuk mewakili wilayahnya dalam perumusan negara bersama dengan PPKI. Ia terlibat dalam perumusan proklamasi kemerdekaan RI dan turut mewakili suara rakyat Indonesia Timur yang menginginkan adanya perubahan pada sila pertama Pancasila.
Setelah diangkat menjadi Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Pudja menyebarluaskan berita kemerdekaan dan juga mensosialisasikan struktur pemerintahan. Selain itu ia juga mengomandani rakyat Sunda Kecil untuk melucuti senjata tentara Jepang yang tersisa. Dalam menjalankan tugasnya ini, Ia sempat diculik dan dipenjara oleh Jepang.
Hingga pada akhirnya, I Gusti Ketut Pudja menghembuskan nafas terakhirnya di RS. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1977 yaitu pada usia 69 tahun. Pemerintah Indonesia pun menghadiahkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.
5. Mayor I Gusti Putu Wisnu
I Gusti Putu Wisnu adalah seorang pejuang yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2017. Ia adalah seorang anak dari pasangan Mayor I Gusti Putu Wisnu dan i Gusti Ayu Raka yang lahir pada tahun 1916 di Klungkung. Sahabat I Gusti Ngurah Rai ini menempuh pendidikan dasarnya di Hollands Inlandsche School yaitu sekolah milik pemerintah Belanda pada saat itu.
Setelah lulus ia melanjutkan pendidikannya di sekolah MULO yang ada di Malang. Namun sekolahnya tersebut harus berakhir setelah ibunya wafat dan kembali ke Pulau Bali. Wisnu kemudian bergabung dengan sekolah militer di Gianyar bersama dengan sahabatnya yaitu I Gusti Ngurah Rai.
Pada masa pendudukan Jepang, pria yang akrab disapa dengan sebutan “Pak Wisnu” ini bergabung dengan pendidikan militer milik Jepang untuk yakni Pribumi yakni PETA. Pasca proklamasi kemerdekaan RI, Wisnu bergabung dengan TKR dengan mengemban amanat sebagai Komandan Batalyon I TKR Sunda Kecil. Ia bersama dengan Rai menyusun strategi untuk melawan Belanda yang ada di Bali. Perang tersebut meletus pada Februari 1946 yang kemudian dikenal dengan nama “Puputan Margarana”.
Perang hingga titik darah penghabisan ini adalah perjuangan terakhir I Gusti Putu Wisnu. Beliau dan Rai gugur dalam merebut kemerdekaan. Untuk mengabadikan perjuangannya, nama I Gusti Putu Wisnu digunakan untuk sebuah bandara di Buleleng dan nama jalan di Denpasar.