Daftar isi
Perjuangan dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia dan tidak memandang laki-laki atau perempuan, tua atau muda, rakyat biasa atau bangsawan bahkan ada pula yang sebenarnya bukan lah asli keturunan Indonesia. Mereka adalah orang-orang asing yang memihak kepada Indonesia.
Nama aslinya adalah Ernest François Eugène Douwes Dekker dan memiliki nama Indonesia Danudirja Setiabudi. Lahir pada tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan dan meninggal pada tanggal 28 Agustus 1950 saat berusia 70 tahun. Douwes Dekker meski keturunan bangsa Belanda namun ia turut membantu kemerdekaan Indonesia.
Ayahnya adalah Auguste Henri Edouard Douwes Dekker yang memiliki darah Belanda dari ayahnya. Sementara ibunya adalah Louisa Neumann seorang keturunan Jawa-Jerman. Douwes Dekker adalah satu dari tiga anggota Tiga Serangkai bersama dengan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat. Jasa beliau di antaranya adalah meletakkan dasar nasionalisme, mengkritisi kebijakan-kebijakan Belanda, terlibat dalam pembentukan Boedi Oetomo namun keluar dan mendirikan Indische Partij di tahun 1912.
Shigeru Uno juga dikenal dengan nama Rahmat Shigeru Ono adalah seorang pejuang berkebangsaan Jepang yang memihak Indonesia. Lahir di Furano, Hokkaido pada 26 September 1919 dan menghabiskan sisa waktunya di Indonesia sampai akhir hidupnya yakni pada 25 Agustus 2014. Ia datang ke Indonesia bersama dengan tentara Jepang lainnya pada tahun 1942 di Jawa Barat.
Kala itu dirinya ditunjuk sebagai pemimpin batalyon 153 yang ditugaskan di daerah Cilacap. Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, Shigeru Ono bersama dengan beberapa tentara lain memilih untuk tidak pulang ke negeri asalnya. Saat Belanda kembali untuk menguasai ia justru membantu Indonesia.
Alasannya adalah karena ia merasa ada janji yang belum ditepati yakni memerdekakan Indonesia dan juga ingin melepaskan Asia dari penjajah kulit putih. Kisahnya tersebut ia tulis dalam bukunya yang berjudul Memoar Rahmat Shigeru Ono: Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik.
Laksamana Muda Maeda Tadashi sering disebut karena rumahnya menjadi tempat perumusan teks proklamasi sekaligus menjamin keamanan. Beliau adalah seorang keturunan Jepang yang lahir di Kagoshima pada 3 Maret 1989.
Bahkan ia adalah seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang pada masa PD II dan ketika datang ke Indonesia ia menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang.
Meski asli keturunan Jepang namun ia tak segan untuk membenarkan berita kekalahan Jepang atas peristiwa pengeboman Nagasaki dan Hiroshima. Beliau juga yang meyakinkan agar PPKI segera melaksanakan rapat menjelang kemerdekaan. Maeda wafat pada 13 Desember 1977 dan kini rumahnya yang berada di Jl. Imam Bonjol No. 1 Jakarta Pusat dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya ada dua sosok Douwes Dekker yang berbeda namun keduanya sama-sama pejuang berdarah asing yang membela Indonesia. Douwes Dekker yang lainnya dikenal dengan nama pena Multatuli dan nama lengkapnya adalah Eduard Douwes Dekker. Ia merupakan seorang penulis yang memuat tentang segala perlakuan kejam Belanda terhadap bangsa Indonesia. Karya tersebut ada dalam buku berjudul Max Havelaar tahun 1860.
Ia lahir di Amsterdam pada 2 Maret 1820 dan wafat pada 19 Februari 1897 di Jerman. Ia datang ke Batavia atau saat ini Jakarta pada tahun 1839 bersama dengan ayahnya. Saat itu ia bekerja sebagai pegawai pengawasan keuangan Batavia. Karya-karya dari Multatuli ini lah yang menginspirasi RA Kartini.
Nama Familiar dari H.J.C Princen adalah Poncke Princen. Ia adalah seorang pria berkebangsaan Belanda yang kemudian pindah menjadi WNI. Lahir pada 21 November 1925 ia datang ke Indonesia dan bergabung dengan divisi Siliwangi pada tahun 1948. Artinya kala itu Poncke berperang melawan bangsanya sendiri.
Pengalamannya ditangkap oleh Nazi dan hampir saja dihukum mati tidak membuatnya jera untuk melakukan hal-hal yang mengancam jiwanya. Ia justru memilih untuk menjadi buruh lebih dari pada harus berperang dan menjajah Indonesia.
Namanya semakin dikenal karena aktif menyuarakan HAM selama era revolusi, orde lama, hingga orde baru. Salah satu jasanya adalah membela korban kasus Tanjung Priok dan juga kasus Mahasiswa yang ditahan pada saat demo 1998. Beliau wafat di Jakarta pada usianya yang ke 76.
Kali ini pahlawan asing yang datang dari negara lain dan bukan penjajah Indonesia. Dia adalah Abdul Sattar Edhi yang lahir di Gujarat, India Britania. Kala itu ia dan pasukannya dikirim oleh British Indian Army (BIA) ke Jalan Serdang namun tak disangka ternyata ia menerima perintah untuk menghancurkan sebuah masjid.
Abdullah Sattar sendiri merupakan seorang muslim sehingga ia mengubah niatnya dan balik menyerang Inggris. Sattar ternyata tidak sendiri, diperkirakan ada 300 pasukan BIA yang merasa harus membela Indonesia dengan alasan saudara sesama muslim. Mereka kemudian mendirikan laskar sendiri bernama Young Sattar atau Kesatuan Abdul Sattar di Medan.
Laksamana Maeda Tadashi bukanlah satu-satunya pasukan Jepang yang membelot melainkan ada juga Ichiki Tatsuo. Beliau lahir di kota Taraki pada tahun 1906 dan meninggal di Malang pada tahun 1949. Setelah Jepang kalah dari sekutu pada Perang Dunia II, Ichiki justru membela dan memperjuangkan kemerdekaan NKRI.
Ia bekerja di media koran Jawa Nippo atau Toindo Nippo yang dikenal sangat anti Belanda. Ichiki bahkan sempat tidak bisa kembali ke Jawa karena dianggap ancaman bagi Belanda. Ichiki juga pernah menjadi penasehat Divisi Pendidikan Peta dan diberi nama Abdul Rachman oleh K.H Agus Salim.
Satu lagi pembelot Jepang yang justru membela Indonesia adalah Tomegoro Yoshizumi. Ia merupakan seorang Intel yang lahir di 9 Februari 1911 di Yamagata. Ia dikirim ke Indonesia untuk menjadi mata-mata dengan menyamar menjadi pegawai toko.
Pendiri dari Tohindo Nippo ini justru bergabung dengan Tan Malaka bersama kawannya yakni Nishijima. Keduanya justru meminta nama Indonesia dan diberikan lah nama Arif untuk Yoshizumi dan Hakim untuk Nashijima. Yoshizumi bahkan turut serta dalam gerilya Blitar pada 10 Agustus 1948 sayang ia harus gugur. Beliau pun diberi penghormatan tertinggi yakni sebagai Pahlawan Nasional.
Kali ini adalah seorang pejuang wanita dari bangsa asing yang membela Indonesia. Dia adalah K’tut Tantri atau memiliki nama asli Muriel Stuart Walker. Penyiar radio ini merupakan keturunan Amerika-Skotlandia yang lahir di Glasgow pada 19 Februari 1898 dan wafat pada 27 Juli 1997 di Sydney. Ia terinspirasi untuk datang ke Indonesia tepatnya ke Bali setelah menonton film Bali the Last Paradise pada tahun 1932.
Di Bali ia diangkat sebagai anak oleh keluarga Kerajaan Klungkung. Dia lah yang pertama kali menuliskan pidato Soekarno dalam bahasa Inggris dan menyiarkan kabar Indonesia ke dunia barat. Ketika situasi kembali memanas pada 10 November 1945, K’tut Tantri melalui pidatonya justru berjanji tetap bersama dengan Indonesia baik kalah ataupun menang.